Dua Puluh Empat

79 17 1
                                        

"Hei! Sepertinya kamu tidak percaya dengan kedatanganku."

Aku berbalik, "Tentu saja, kupikir siapa yang datang. Rupanya dirimu," ucapku.

Dia terkekeh, melangkah berdiri di sampingku dengan memberi jarak beberapa langkah. Menatap pematangan sawah yang sebentar lagi akan menguning.

"Andai kutahu dirimu yang dimaksud Maya dan Nada, mungkin aku akan membawa swetermu kemari."

"Astaga, Ra. Bahkan di Rumah Literasi ini pun kau masih saja membahas perihal sweter itu. Ayolah, Ra. Santai saja, lagi pula aku tak memintanya. Hanya kau yang terlalu buru-buru ingin mengembalikannya."

"Tentu saja, Sam. Sweter itu milikmu."

"Hahaha. Tak apa, Ra. Boleh jadi Semesta masih ingin kita bertemu, bahkan kalau pun kita tak ada alasan lagi untuk bertemu. Semoga dengan sweter itu, kita akan bertemu kembali. Kau percaya dengan itu, kan?"

"Tentu saja. Dalam hidup ini semuanya telah diatur bahkan jauh sebelum kita lahir, pertemuan kita misalnya."

"Ya, aku harap Semesta tak bosan mengatur skenario kita berdua, Ra."

Allahu akbar allahu akbar.

Belum sempat aku menanggapi perkataan Sam, suara azan Zuhur telah berkumandang. Seketika aku berbalik ingin menunaikan penggilan-Nya. Sepertinya Beri sudah menunggu di sana, sebab kini kulihat hanya Maya dan Nada yang berjalan ke Rumah Literasi membawa nasi kotak.

"Kau tak ikut denganku, Sam?" tanyaku menyadari Sam tak beranjak dari tempatnya.

"Ke mana?"

Aku keheranan, ia malah balik bertanya padaku. "Masjid, sudah azan. Kau tak ingin salat Zuhur?"

"Ah, kukira kau sudah tahu, Ra."

"Tahu apa, Sam?"

"Kak Sam non-muslim, Kak." Nada tetiba menjawab, sepertinya ia mendengar pembicaraanku dengan Sam.

"Oh, maaf." Seketika raut wajahku berubah, jadi selama ini aku tak tahu kalau sebenarnya Sam itu non-muslim.

"Kak Kejora kenapa diam? Sebentar lagi salat loh," tegur Maya.

"Eh, iya. Aku ke masjid dulu, ya."

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang