Lima

663 52 7
                                    

"Udah dong, jangan cemberutnya," pinta Beri, namun aku tetap saja menampakkan wajah cemberutku. Jujur, aku gak suka dengan perbuatan Beri pekan lalu yang ngerjain aku seenaknya.

"Soal itu aku minta maaf ya, Ra," ucapnya penuh sesal.

Aku terus berjalan tanpa menghiraukannya, melewati gedung perpustakaan dan laboratorium MIPA. Meninggalkan Beri beberapa langkah di belakangku.

"Sebagai gantinya, selama sepekan ini aku teraktir kamu di kantin," tawar Beri berusaha menyejajarkan langkahnya denganku. Seketika aku terhenti, menatap wajahnya dengan penuh curiga. Namun yang kudapat hanyalah wajah penuh penyesalan.

Seperempat menit kemudian aku mengiakan tawaran Beri. Siapa sih yang gak mau makan gratis selama sepekan. "Tapi ada syaratnya," ucapku.

"Apa, Ra?"

"Janji gak bakal ngulangin lagi."

"Janji." Beri menjawab dengan antusias. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju halte menunggu angkutan umum.

Hari ini, tepat jarum jam menunjukkan angka dua lewat enam belas menit. Angkutan umum yang kami tumpangi berhenti tepat di tepi jalan depan lorong masuk tempat RL berada. Pertama, Beri yang keluar disusul aku setelah membayar ongkos.

Seketika aku merasakan terpaan angin begitu keluar dari angkutan, hawa di desa ini benar-benar menyejukkan meski matahari masihlah tidak jauh meninggalkan tepat di atas kepala. Aku berjalan santai menikmati setapak jalan dengan pepohonan yang rindang, tak berniat menyusul Beri yang sudah beberapa meter di depanku.

RL binaan aku dan Beri memang terletak belasan kilometer dari ibukota, di sebuah desa yang harus ditempuh selama setengah jam dari jalan besar. Meski lumayan jauh, tapi tak membuat aku ataupun Beri menyerah dan meninggalkan RL. Justru membuat kami semakin semangat dalam mengembangkan RL.

RL binaan yang kami buat setahun lalu sebagai bentuk kepedulian kami terhadap anak-anak yang masih membutuhkan binaan tambahan dalam membaca ataupun menulis. Khususnya anak-anak yang tak secepat teman-temannya yang lain dalam merespon pembelajaran di sekolah.

"Lambat banget, Ra," ejek Beri yang sudah tiba di RL beberapa menit lalu.

"Lagi menikmati udara segar, Ber," jawabku seraya menaiki tangga.

Di atas sana sudah ada beberapa anak-anak RL yang kukenal sejak tahun lalu, juga satu atau dua anak yang asing kulihat. Aku menyandarkan punggungku disalah satu kursi yang terbuat dari ban mobil. Menyaksikan kerusuhan anak-anak yang berebutan buku bacaan atau lari-larian, membuat rumah-rumahan ini bergoyang. Ya, tempat kami mengajar adalah sebuah rumah-rumahan yang dibangun masyarakat dengan suka rela untuk kami. Luasnya tak seberapa, hanya kisaran 4x5 meter berdiri di samping persawahan. Beri dengan sabar menegur mereka agar tidak berisik dan lari-lari. Tak butuh lama, anak-anak itu akhirnya diam juga.

Aku segera bangkit. Pandanganku menyapu seluruh anak-anak RL yang duduk rapi di depanku. Ada hampir dua puluhan anak yang kami bina secara suka rela di sini. Dan sejak tadi, aku belum mendapati anggota baru yang direkrut Beri.

"Anggota baru yang kamu maksud mana, Ber?" tanyaku pada Beri yang sibuk memberi intruksi pada anak-anak.

"Katanya masih diperjalanan," jelasnya.

"Oh."

Segera aku bantu Beri mengajar. Aku sudah tak berselera lagi bertanya pada Beri, bisa-bisa aku kena semprot.

Sesaat kemudian, anggota baru yang direkrut Beri telah tiba. Beri segera menghampiri mereka, sedang aku masih membantu anak-anak RL dalam mengerjakan tugas mereka. Ya, barusan Beri memberi mereka tugas perkalian.

"Ra!" Beri mencolek bahuku, aku segera bangkit begitu paham isyarat yang Beri berikan padaku.

"Kenalin ini anggota baru yang kumaksud, Ra," ucap Beri.

"Maya," kata relawan cewek itu mengulurkan tangannya.

Dengan senang hati aku membalas uluran tangan Maya, "Kejora," kataku.

"Nada," ucap yang satunya lagi.

"Kejora." Aku meraih uluran tangannya setelah melepaskan uluran tangan Maya seraya tersenyum.

Setelah perkenalan singkat itu, kami kembali ke aktivitas semula.

♥♥♥

Usai memakai sepatu, aku langsung meninggalkan teras masjid kembali ke Rumah Literasi. Matahari telah berada di posisi 140 derajat, membuat hawa di desa ini semakin sejuk. Saat melewati warung, entah kenapa timbul keinginan untuk membeli beberapa camilan untuk anak literasi.

"Berapa, Bu?"

"85 ribu, Nak."

Aku memberikan uang pas kepadanya, lalu melanjutkan perjalanan menuju Rumah Literasi. Tiba-tiba aku berpapasan dengan sosok yang aku kenal.

"Samudra?" tanyaku tak percaya.

"Hei, kita ketemu lagi," ucapnya sama kagetnya dengan aku.

Aku tersenyum menanggapi.

"Ternyata dunia benar-benar sempit, ya?"

Aku tertawa pelan, "Kupikir bukan dunianya yang sempit, melainkan rencana Semesta yang begitu baik hingga kita bertemu untuk ketiga kalinya," jelasku.

"Waahh, definisi yang menarik. Bagus-bagus."

"Kamu ngapain di sini?"

"Aku?" tanyanya tak percaya. Lalu dilanjutkan dengan tawa yang pelan. "Aku tinggal di sini," jelasnya.

"Oh ya?"

Dia mengangkat kedua bahunya.

"Tapi kok gak pernah aku lihat?"

"Aku baru beberapa hari ini datang dari Bandung, jadinya baru terlihat. Kamu sendiri ngapain di sini?" tanyanya.

"Aku ngajar anak-anak di sini. Emm, relawan maksudnya. Sejak tahun lalu, aku sama rekan aku mendirikan sebuah rumah literasi buat anak-anak. Khususnya anak-anak yang pemahamannya rendah dari teman-temannya yang lain."

"Oh. Pantas aku gak tahu, jarang pulang kampung, soalnya. Hehehe."

"Ya sudah. Kalau gitu aku duluan. Sampai jumpa," pamitku.

"Iya. Eh, Rumah binaan kamu di mana emang?"

"Di dekat persawahan sana!" jawabku menunjuk ke depan. "Kamu lihat, kan?"

"Iya, aku lihat kok."

Aku tersenyum, usai mengucapkan salam aku meninggalkan dia yang sepertinya membeli sesuatu.

Hai, Semesta! Lagi, dengan skenario terbaikmu. Kau pertemukan aku dengan dia, sosok yang tak pernah aku sangkah. Sedang sosok yang selama ini aku harapkan tak pernah Kau berikan peran yang bersinggungan dengan kisahku. Apa mungkin dalam kisah ini perannya memang tak ada? Apa mungkin dalam skenario ini memang bukan dialah lawan mainku? Jika memang begitu, kenapa dalam alur ini aku masih keras kepala memaksanya menjadi lawan mainku? Sedang pada kenyataannya, dia tak pernah bersinggungan denganku. Apa memang dia adalah peran yang kupaksakan? Bila memang begitu bisakah aku hilang ingatan? Melupanya? Mungkin itu adalah pilihan terbaik.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang