Dua Puluh Delapan

74 14 0
                                    

Untuk kesekian kalinya aku tersenyum, sebab acara yang kuhadiri berjalan dengan lancar. Aku kembali bersalaman dengan mahasiswa dan kembali mengantariku sampai di depan mobil seraya membukakan pintu.

Hari ini, aku cukup terkesan sebab peserta yang hadir di salah satu kampus di Pare-pare terbilang cukup banyak sekitar seribu peserta. Antusiasnya dalam mengikuti seminar kepenulisan perlu diacungin jempol, bahkan saat sesi tanya-jawab pun tak mau kalah. Ada banyak peserta yang mengajukan tangan, hanya saja panitia harus memilih 5 dari puluhan peserta yang bertanya.

"Terima kasih, Kak."

"Sama-sama," ucapku memasuki mobil.

Mobil pun melaju, kembali ke titik awal. Kotaku.

Aku menyandarkan punggungku, memilih untuk tertidur dari pada menikmati pemandangan yang tersaji di pinggir jalan. Lagu yang diputar Pak Mamang benar-benar membantuku tertidur. Rasa letih yang menyerangku kini harus kumusnahkan dengan cara memulihkan tenaga.

Sayup-sayup kudengar suara klakson kendaraan, dan sesekali kurasakan mobil ini berhenti. Entah karena lampu merah atau hewan yang menyeberang, aku tidak tahu. Aku baru tersadar saat Pak Mamang memberitahukanku bahwa kini aku telah sampai di depan rumah. Aku segera keluar dari mobil.

Di depan rumah, sudah ada Mama yang menungguku dengan seutas senyumnya bersama seseorang. Hei! Tunggu dulu! Aku mengucek mataku, seakan tidak percaya dengan sosok yang ada di depanku.

"Firman?"

Sosok yang kusebut namanya tertawa, segera kujitak kepalanya. "Auuhh.." pekiknya. "Bahkan setelah pisah selama setahun, Kakak tidak ada berubahnya. Masih galak," jujurnya.

Aku melotot. Lalu meraih tangan ibu, menciumnya. "Assalaamualaikum," ucapku.

"Waalaikumussalam." Keduanya hampir bersamaan menjawab.

"Firman kapan datang, Ma?" tanyaku begitu masuk rumah.

"Dua hari yang lalu, Kak." Firman langsung menjawab.

"Kenapa pulang? Bukannya masih tiga tahun lagi? Ngabisin uang tahu," ucapku.

"Emang ada aturannya ya, kalau kuliah di luar negeri itu pulangnya harus sudah lulus, gitu?"

"Ya, enggak sih. Cuma masalahnya, biaya pulang-pergimu itu loh, Dik." Aku meletakkan tasku sembarangan tempat, kemudian menghempaskan tubuhku di sofa yang empuk. Mama sudah masuk ke dalam, entah kerja apa.

"Tenang aja, Kak. Soal biaya itu, aman kok. Pengurus pondok pesantren Firman dulu yang biayain, sehubung untuk beberapa waktu ini Firman akan ke sana konsul dengan beliau," jelasnya duduk di sofa berhadapan denganku.

"Oh."

"Ngomong-ngomong, Kak Bulan udah nikah ya?"

"Iya dong, udah hamil malah."

"Masyaallah. Terus Kak Kejora kapan nikah?"

Seketika kujitak kepalanya untuk kedua kalinya. "Auuhh.." pekiknya, "Ihh, Kakak galak banget," katanya mengusap-usap kepalanya.

"Pertanyaanmu itu loh."

"Lah, kenapa dengan pertanyaanku, Kak? Memangnya salah kalau aku sebagai adikmu bertanya hal demikian?"

Aku diam, sudah tak ingin meladenin Firman. Bersandar dan pura-pura tertidur.

"Kakak masih nungguin Musafir itu?"

Astaga ini anak, sejak pulang dari India kenapa tiba-tiba begitu menyebalkan.

"Udahlah, Kak. Ini udah 7 tahun loh, gak usah ngarepin orang yang gak ngarepin kita. Lagi pula dia belum tentu jodoh Kakak. Dan perlu Kakak tahu, memikirkan seseorang yang bukan mahram kita dan berkeinginan untuk memiliki itu dosa loh."

"Bawel banget sih." Aku melemparinya bantal.

"Atau Kakak mau aku kenalin dengan senior aku? Ada beberapa yang belum nikah sih, dan cari-cari calon. Bisa jadi jodoh Kakak salah satu dari mereka." Firman berusaha menahan tawanya.

"Bodoh!" Aku beranjak masuk ke kamar, meninggalkan Firman yang tak bosan menjahiliku.

"Kak!" Suara Firman terdengar memanggilku.

Prak!

Pintu kamar sudah kututup rapat-rapat. Duduk di atas kasur sembari menatap kalender di atas nakas. Benar kata Firman, ini sudah 7 tahun. Anak itu, meski aku jarang bicara dengannya tapi ia ingat betul yang pernah kuucapkan padanya.

Entahlah, apa aku bodoh ataukah teguh dalam pendirian? Yang aku tahu adalah sampai saat ini hatiku masih belum enggan untuk membuka pada sosok yang baru. Sosok itu memang tak memberikan komitmen, namun keyakinan yang membuatku seperti ini. Aku terjebak pada keputusan yang telah kubuat sendiri. Namun, aku tak peduli. Aku yakin, semuanya akan berakhir, entah berakhir indah dengan sosok yang kutunggu atau dengan sosok yang lain. Satu hal yang kumengerti bahwa, tak ada usaha yang sia-sia. Termasuk usaha untuk menantinya—Musafir.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang