Dua Belas

277 25 0
                                    

"Kamu masih ingat, Ra, perkataan aku di halte? Jika kita bertemu lagi, aku akan menagihmu tentang definisi hujan, bukan?" Samudra bersuara setelah beberapa menit tadi kami disibukan dengan pikiran masing-masing.

"Tentu saja aku ingat," jawabku masih menggosok kedua telapak tanganku berusaha mengusir dingin.

"Lantas apa menurutmu?" Dia menoleh ke arahku, bergeser beberapa langkah ke sampingku lantas menyelimutiku dengan sweternya yang baru saja ia lepas.

Aku tak bisa berbuat banyak, karena jujur saja aku kedinginan. Sangat kedinginan. Mungkin dengan sweter Samudra yang kini aku kenakan dapat membuatku lebih hangat dari sebelumnya. Usai menyelimutiku, ia bergeser kembali ke tempat semula memberi jarak di antara kami berdua.

"Jika menurutmu hujan adalah kerinduan, yang mana setiap rintiknya adalah pesan rindu yang tersampaikan lewat awan mendung hingga berakhir menjadi tetesan air yang jatuh dari langit. Maka, menurutku hujan adalah keikhlasan."

"Keikhlasan," gumamnya. Tatapannya lurus ke atas, memperhatikan titik-titik air yang jatuh membasahi bumi.

Di seberang sana sorot lampu kendaran dari kiri ke kanan mewarnai jalanan. Tak lama kemudian, lampu jalanan pun menyala hampir bersamaan membuat pandangan sedikit jelas di tengah derasnya hujan.

Petang telah sempurna menyelimuti, samar-samar kudengar suara azan berkumandang. Aku semakin merapatkan sweter milik Samudra, hujan semakin deras.

"Kau tak bertanya kenapa aku memaknai hujan sebagai keikhlasan?" Aku membuka suara setelah lama menunggu berharap ia balik bertanya.

Mau tak mau Samudra tertawa kencang mendengar kejujuranku. "Jadi dari tadi kamu nungguin aku bertanya? Aduh, Ra, kamu lucu banget sih. Hahaha."

Bugh! Satu pukulan mengenai lengan Samudra. "Aduh, sakit, Ra." Ia mengaduh kesakitan.

"Biarin." Aku memalingkan wajahku kembali menatap rintik hujan.

"Cie yang ngambek."

Aku tak merespon berkataan Samudra, malah aku sibuk dengan pekerjaan konyolku. Menghitung rintik hujan yang jatuh.

"Kenapa Ra memaknai hujan sebagai keikhlasan?" Pertanyaan itu akhirnya terucap juga dari bibir Sam sangat pelan.

"Karena hujan selalu datang tanpa mengharapkan apa-apa. Ia hadir membasahi bumi, meski sebagian orang terkadang tak menyambutnya dengan baik bahkan malah mengeluh jika ia datang. Padahal hujan hanya datang memberi kehidupan, mengisi sungai yang mulai kering dan menyuburkan tumbuhan yang telah layu. Meski kehadirannya tak dihargai, namun ia tetap peduli."

Aku kembali beralih ke arahnya, kudapati sepasang mata itu menatapku dengan sungguh, sedetik kemudian garis lengkung pun kini tercipta dari bibirnya yang manis. Aku membalas senyumnya.

Tak terasa, hujan telah reda menyisakan gerimis yang masih senang menimbulkan keributan di atap.

"Kamu pulang naik apa, Ra?"

"Emm, belum tahu. Angkutan umum kayaknya udah gak ada deh."

"Udah hubungin orang di rumah?"

"Iya. Tadi udah kabarin Mama kalau aku kejebak hujan, entahlah sepupu aku mau jemput atau tidak."

"Mau diantar?" tawar Samudra.

"Eh?! Gak usah, Sam. Lagi pula rumah kamu juga jauh kan?"

Sam merogoh saku celananya mengambil gawainya, kemudian mengetik sesuatu membuat aku bingung.

"Kamu sudah salat?" Begitu memasukkan kembali gawainya ke saku celananya.

"Gak, Sam. Biasa cewek."

"Oh."

"Kamu belum salat juga kan?"

Sam hanya tersenyum, "Ojeknya udah tiba, Ra. Sekarang kamu pulang gih, orang di rumah pasti sudah nungguin kamu."

"Tapi kan ojeknya—"

"Tenang, Ra. Dia cewek kok, kamu aman." Sam menenangkanku, tahu dengan apa yang aku takutkan.

Aku melangkah ke arah ojek yang dipesan Sam untukku, Mbak ojeknya memberikan aku helm. Aku segera memasangnya. Setelah itu aku melepas sweter Sam yang sejak tadi membungkus tubuhku.

"Udah, Ra. Kamu pakai pulang aja, kasian nanti kamu kedinginan."

"Tapi, Sam, kamu?"

"Aku gak apa-apa, Ra. Lagian, aku rencananya mau bermalam di salah satu kos teman."

"Sweter kamu bagaimana?"

"Kembaliannya kapan-kapan saja, kamu percaya dengan skenario pemilik semesta kan? Kita sudah bertemu empat kali tanpa rencana, kupikir Semesta akan berbaik hati mempertemukan kita kembali."

"Terima kasih, Sam. Assalamualaikum."

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang