Tiga Puluh Enam

128 14 6
                                    

"Kamu yakin, Ra?" tanya Mama.

"Iya, Ma. Ra sudah memikirkannya matang-matang," ucapku.

"Apa tidak buru-buru? Karirmu di sini bagaimana?"

"Ra akan vakum beberapa waktu menghadiri undangan seminar, lagi pula keputusan Ra ini untuk menunaikan wasiat almarhum Ayah. Firman sementara menunaikannya, sementara Ra? Sama sekali belum melakukan apa-apa, bahkan mencobanya saja belum."

Mata Mama berkaca-kaca, entahlah aku tak tahu pasti apakah karena bahagia atau sebaliknya sebab itu berarti aku akan meninggalkannya sendiri di rumah.

"Mama bangga padamu, Nak. Akhirnya Tuhan membukakan hatimu guna menunaikan wasiat almarhum ayahmu. Mama mendukungmu, Nak. Lakukanlah apa yang terbaik menurutmu," ucap Mama.

Tak kusangka tanggapan Mama akan seperti itu, mau tak mau aku memeluk Mama. Tangisku kembali pecah, bukan karena restu Mama melainkan karena keputusanku ini sebenarnya adalah pelarianku dari segala kecewa yang kudapat.

Aku ingin menenangkan pikiranku, atau lebih tepatnya mencari inspirasi baru untuk novel keduaku yang setengah perjalanan.

Keesokan harinya, aku sibuk menyiapkan barang-barangku. Mama ikut membantu pun dengan Firman. Ia sudah kembali dari pesantren, sedang mempersiapkan keberangkatannya juga ke India tiga hari setelah keberangkatanku nanti. Mungkin ia juga heran melihat diriku yang tiba-tiba berubah dan memutuskan untuk menunaikan wasiat almarhum ayah. Tapi bodoh amat! Aku tetap menyiapkan barang-barangku tanpa menanggapi pertanyaannya, biarlah Mama yang akan menjelaskannya nanti setelah aku berangkat toh dia masih tinggal di sini tiga hari lagi.

"Kak, soal biodata itu gi—"

"Udah ya, Firman. Kamu gak usah bahas itu lagi."

"Tapi, Kak?"

"Keputusan Kakak udah bulat, terserah kamu ngasih alasan apa ke Gurutta," ucapku masih sibuk dengan koperku.

"Kak in—"

"FIRMAN!" suaraku naik satu oktaf.

Ia kaget mendengar perubahan suaraku yang tak biasa, "Baiklah!" Firman akhirnya menyerah dan meninggalkanku di kamar.

Sepeninggalannya, aku mengusap air mataku yang kembali jatuh. Lagi aku menyadari bahwa ternyata selama ini, semua rasa sesak, kecewa yang kurasakan berasal dari diriku sendiri atas harapan semua. Dan rasanya begitu menyakitkan, ya Allah.

Setelah semuanya selesai, aku pamit pada Mama dan Firman.

"Ra, berangkat dulu, Ma." Aku mencium punggung tangan Mama.

"Fir, jaga Mama ya sebelum ke India," titipku pada Firman tanpa melihat wajahnya.

"Iya, Kak."

"Assalamualaikum," ucapku.

"Waalaikumussalam," jawab mereka hampir bersamaan.

Aku melangkah menuju mobil, barang-barangku sudah dimasukkan oleh Pak Mamang sejak tadi. Aku membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalamnya. Sebelum melaju, aku sempat melambai tangan kepada mereka berdua.

Aku sudah memutuskan hal besar bagi hidupku, kurasa keputusan ini sudah tepat. Kuharap aku tidak akan menyesal lagi, seperti yang telah lalu.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang