Sebelas

318 26 0
                                    

Matahari semakin condong ke barat, terpaan angin yang lembut kian membuat udara semakin sejuk tak seperti siang tadi. Kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya pun semakin ramai dengan penumpang yang pulang dari kerjaan masing-masing. Wajah mereka menggambarkan secercah kelelahan, hilir-mudik mesin beroda empat itu berhenti di depan halte, menurunkan dan menaikkan penumpang. Mesin beroda dua pun tak mau kalah, semakin lama bertambah banyak di jalanan. Macet. Ya, sudah terbiasa di kota ini. Bahkan setiap hari seperti ini, meramaikan jalanan hingga petang tiba.

Aku baru saja keluar dari kelas, berjalan menuruni tangga hingga lantai dasar menuju gerbang kampus. Di seberang jalan sana seorang gadis berbaju abu-abu dengan rok hiasan bunga-bunga, berpadu dengan jilbab merah muda yang lembut. Sangat anggun menungguku yang berjalan ke arahnya.

"Udah lama?" tanyaku.

"Nggak, Kak. Aku baru juga nyampainya."

"Ini, buku yang kamu maksud kan?" Aku menyerahkan sebuah buku besar dengan tebal lima ratus halaman.

"Iya. Terima kasih, Kak. Maaf udah merepotkan," katanya menerima buku itu.

"Udah, santai aja, Dik. Lagian aku udah baca, isinya keren. Aku suka," jelasku.

"Benarkah? Aku baru baca sinopsisnya di google."

"Benarlah, malah aku udah baca dua kali sangking sukanya."

"Wah, makin penasaran nih. Jadi gak sabar ingin baca."

"Hehehe."

"Oh iya, Kak. Ini buku yang aku pinjam lewat Kak Beri, sekali lagi makasih ya, Kak. Nanti aku kembaliin kalau udah kelar," ucap Seruni.

"Iya, Dik. Sama-sama."

"Assalamualaikum," pamitnya begitu sebuah angkutan berhenti di hadapan kami.

"Waalaikumussalam."

Aku memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, masih pukul 05.19 sore. Sepertinya aku masih sempat ke toko buku langgananku sebelum pulang ke rumah, entah kenapa aku berniat ke sana. Ya, memang sudah lama aku gak pernah berkunjung ke toko buku itu, sejak masuk kuliah sudah jarang ke sana, ditambah dengan semakin naik semester semakin tugas bertambah membuat aku tak pernah lagi menampakkan batang hidungku. Aku yakin Mbak Penjaga Toko pasti mencariku.

"Dik Kejora tumben datang kemari? Sudah lama Mbak gak ngeliat kamu, apa kabar?" sapa Mbak Penjaga Toko begitu aku masuk.

Aku tersenyum menanggapi, "Alhamdulillah, Ra baik, Mbak. Beberapa bulan ini Ra memang gak pernah ke sini, maklum banyak tugas."

"Oh gitu, ya. Kejora mau cari apa? Novel? Sejarah sastra? atau kamus linguistik?"

"Hmm, Ra mau liat-liat dulu, Mbak."

"Oh ya sudah, di bagian depan samping itu ada banyak novel yang promo, loh."

Aku hanya mengiyakan lalu berjalan menyusuri rak-rak yang penuh dengan novel dan karya fiksi lainnya. Membaca satu demi satu judul buku yang terpajang di sana, tak lupa juga aku mengecek harganya. Beberapa bulan gak pernah berkunjung, ternyata ada banyak sekali buku terbaru dari penulis pemula yang terpajang di sini. Gak nyangka, dalam waktu cepat sastra di Indonesia semakin meningkat peminatnya, terutama usia remaja.

Aku bergeser ke rak selanjutnya, berbeda dengan rak sebelumnya yang penuh dengan novel. Di sini, aku disuguhkan dengan buku kumpulan cerpen. Menarik. Ada beberapa judul cerpen yang menarik perhatianku. Terlebih lagi—

"Defini Patah Hati?!"

Aku menoleh, tampak sosok yang kukenal berdiri di sampingku menatap buku yang kupegang.

"Sepertinya kita bertemu lagi," ucapku.

Ia mengangkat bahunya, "Aku rasa begitu."

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku.

"Cari makan."

"Eh?"

"Cari bukulah, masa cari makan. Emang di sini warung?"

"Hehehehe. Iya juga, ya."

"Aku suka baca buku itu," katanya menunjuk buku yang kupegang.

"Ini?" tanyaku memperlihatkannya.

"Ya. Definisi Patah Hati salah satu karya dari Sri Wahyuni alumni FKIP kampus kamu," jelasnya seakan tahu.

"Benarkah?"

"Ya. Buku itu menarik, hampir isinya bicara soal patah hati."

Aku membolak-balikkan buku yang kugenggam, sampulnya memang menarik. Gambar hati yang berdarah, mungkin selaras dengan judul dari buku tersebut. Definisi Patah Hati. Di belakang sampul buku itu terdapat tulisan 'Karena patah hati adalah cara Tuhan memisahkanku dengan cinta yang salah dan mempertemukanku dengan cinta yang sesungguhnya.' Seketika aku tertegun, sepertinya kalimat ini tidak asing bagiku.

"Kau ingat pertemuan kita di halte beberapa minggu lalu? Perihal definisi patah hati? Aku mengambilnya dari buku itu, lebih tepatnya copy," jelas Samudra seakan mengerti dengan jalan pikiranku.

"Oh. Pantesan tidak asing," kataku berjalan menuju Mbak Penjaga Toko. Samudra mengikutiku dari belakang.

"Kau ingin membelinya?" Samudra bertanya padaku begitu melihat aku menyerahkan buku itu kepada Mbak Penjaga Toko untuk mengemasnya.

"Menurutmu?" Aku balik bertanya.

"Kau membelinya."

"Kamu sudah beli buku?" tanyaku lagi setelah menerima belanjaanku.

Dia memperlihatkan sebuah buku dengan sampul luar angkasa, sebelum menyerahkannya juga kepada Mbak Penjaga Toko. Aku mengangguk paham, lalu keluar dari toko buku. Sempat aku mengecek jam tanganku, 05.47 sore. Hari hampir gelap. Aku harus buru-buru. Namun, nyatanya tak seperti dugaanku.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang