Dua Puluh Tujuh

81 17 0
                                    

"Terima kasih, Kak, atas waktunya."

"Sama-sama," ucapku membalas uluran tangan mahasiswi tersebut yang menurut pengamatanku, dialah yang menjadi ketua panitia acara kepenulisan hari ini.

Dia lalu mengantarkanku ke depan.

Hari ini, acara kepenulisan berjalan dengan lancar. Beberapa peserta bertanya padaku mengenai kepenulisan yang dengan senang hati aku menjawabnya. Namun, aku tak bisa berlama-lama. Sebab, aku harus segera bertolak ke Bone.

Begitu sampai di parkiran, mahasiswi tadi segera membukakan pintu mobil untukku. Aku tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.

"Kak, boleh minta tanda tangannya sama foto bareng?" pinta salah satu mahasiswa yang berhasil menyusul aku dan mahasiswi tadi. Aku terhenti, tidak jadi masuk ke dalam mobil.

"Boleh," ucapku.

Kulihat senyum merekah terbit dari bibirnya, akhirnya aku berfoto bareng dengan mereka. Tak lupa memberikan tanda tangaku pada buku milik mereka—buku perdanaku yang terbit tahun lalu.

"Terima kasih, Kak."

"Iya."

"Semoga bisa bertemu lagi," ucap salah satu dari mereka.

"Aamiin." Aku masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan kepada mereka.

Satu lagi yang aku dapat hari ini, kebersamaan. Dulu, saat berumur seperti mereka. Aku sering kali hadir dalam acara kepenulisan, dan setiap menghadiri acara seperti itu aku selalu menatap orang-orang yang menjadi narasumber sembari mengucapkan doa semoga aku bisa seperti mereka. Alhamdulillah, Allah mendengar doaku. Aku akhirnya menjadi narasumber persis yang dulu aku impikan.

Mobil melaju membela jalanan, sore ini aku kembali bertolak ke Bone—kabupaten seberang. Tempat kelahiran Musafir itu. Ah! Apa aku masih pantas menyebut dirinya? Aku tersenyum kecut begitu memikirkan perihal dirinya, dengan cepat kutepiskan bayangannya, aku tidak boleh memikirkannya. Astagfirullah! Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku.

Aku melihat ke samping, lampu-lampu jalanan mulai menyala. Kumandang azan pun mulai terdengar dari segala penjuru. Begitu mendapat masjid, Pak Mamang segera menepikan mobil—berhenti.

"Kita salat Magrib dulu, ya, Nak," ucap Pak Mamang membuka pintu mobil.

"Bapak saja, Ra masih dapat," kataku.

Sementara salat berlangsung, aku keluar dari mobil. Berjalan-jalan menikmati pemandangan di pinggir jalan. Satu dua kendaran lalu-lalang, entah itu motor, mobil, atau sepeda. Aku memperhatikan satu-satu.

Kruckk kruckk.

Aku memegang perutku, suara itu berasal dari sana. Huft, sepertinya santap siang yang diberikan panitia tadi tidak cukup atau aku yang bekerja terlalu keras hingga memerlukan banyak asupan. Ah, dari pada memikirkan hal yang tidak penting lebih baik aku mencari penjual.

Aku melangkah menyusuri pinggiran masjid, tak terasa aku sampai di sebuah mini mart yang ternyata hanya terletak di samping masjid. Aku mendorong pintu masuk mini mart tersebut, dan segera menjelajah isinya mencari makanan pengganjal sebelum akhirnya aku tiba di hotel.

Tidak banyak yang kubeli, hanya beberapa kerupuk, biskuit, dan 4 botol minuman dingin. Usai membayar, aku kembali ke dalam mobil. Kudengar dari luar masjid, imam salat telah mengucapkan salam. Itu artinya sebentar lagi para jamaah akan keluar dari masjid.

Aku menaruh sembarang sekantong besar pengganjal tersebut, dan kueksekusi satu per satu. Tak lama aku meneguk air mineral, Pak Mamang masuk ke dalam mobil.

"Makan, Pak. Lumayan buat pengganjal sebelum sampai," kataku meletakkan beberapa camilan dan dua botol minuman di depan.

"Iya, Nak," ucapnya menyalakan mesin.

Mobil kembali melaju, agar tidak mengantuk, Pak Mamang memutar lagu kesukaanku sambil menikmati camilan sepanjang perjalanan. Aku pun mendengarnya dengan suka-cita, sesekali bersenandung mengikuti lirik lagu yang dinyanyikan sang penyanyi.

Sebelum mengambil sebungkus kerupuk yang kedua, kulihat layar gawaiku menyala. Di sana tertulis nama Mama, segera kuraih dan menjawab panggilan masuk Mama.

"Halo!"

"Bagaimana kegiatannya?"

"Alhamdulillah, berjalan lancar, Ma," jawabku. Kudengar di sana Mama juga mengucapkan kalimat syukur atas kabar yang baru saja kukatakan.

"Sekarang sudah di mana, Nak?" tanyanya lagi.

"Ra sekarang di jalan, Ma, menuju hotel."

"Oh iya, hati-hati di sana, Nak."

"Iya, Ma."

Usai mengucap salam, panggilan telepon pun terputus. Aku meletakkan kembali gawaiku di samping, kemudian melanjutkan acara ngemilku. Di luar sana, gelap telah menyelimuti alam.

♥♥♥

Filosofi Penantian || TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang