10. Ego-isme

54 13 31
                                    

Sepanjang perjalanan, Adela dan Alvito hanya diam. Sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Hanya musik dari radio yang bersuara.

Mobil Adela akhirnya sampai di rumah yang berada di komplek cemara itu. Alvito mengambil tasnya, lalu menghela nafas.

"Thanks ya, lo udah anterin gue terus juga lo udah ngajakin gue ke taman belajar itu" Ujar Alvito pelan. Adela hanya mengangguk pelan.

"Gue udah lama ga merasakan rasanya jadi 'keluarga'" Tambahnya lagi. Adela mengerutkan dahinya.

"hah?"

Alvito tersenyum. Lalu membuka pintu mobil Adela.

"besok gue aja yang jemput"

**

Entah mengapa, Adela merasa janggal dari perkataan Alvito tadi. Adela menghela nafas berat. Ia melihat kursi penumpang di sebelahnya.

Usaha lo ga sia-sia vit. Lo menang lawan ego gue.

Adela menatap jalanan yang ramai. Lampu-lampu mobil membuat Adela tenang. Hujan turun sedikit demi sedikit.

Yang kutahu pasti, ku pergi tuk mencintaimu.

Adela mematung mendengar potongan lagu itu. Ia mengusap kepalanya yang dipenuhi oleh Alvito-Alvito dan Alvito.

Ah rasanya Adela ingin lenyap dari semua ini. Ia tak ingin merasakan kehangatan yang dibuat oleh Alvito untuknya. Ia terlalu takut untuk jatuh.

**

"Del Abang masuk ya"

Adela hanya mengangguk pelan. Walaupun tidak terlihat oleh Farrel, tetapi ikatan batin mereka sangat kuat. Setelah masuk, Farrel langsung merebahkan dirinya ke bantal busa Adela.

"Del gue ada pacar baru loh. Maniis banget! Namanya Kia. Pokoknya dia pengertian, sayang sama gue, rajin, terus suka ketawa denger recehan gue" Adela yang sedang mengetik tugas PKN itu hanya meng-iyakan perkataan Farrel.

"Lo gimana sama Alvito?" Pertanyaan itu langsung membuat Adela terbatuk. Sejak kapan abangnya peduli dengan Alvito? Entahlah.

"Yaa gitu" Jawab Adela sekenanya. Jujur, Adela belum bisa membuka hati untuk Alvito. Ia takut.

"Masi ngarep Rayyan? Jangan terlalu nutup hati lo lah.. Kasian, dia udah capek-capek nunggu. Gue yakin Alvito baik-baik" Perkataan Farrel membuat hati Adela seperti ditusuk. Adela menghentikan kegiatan mengetiknya.

"Ternyata abang gue ternyata anak kandung mario teguh" Adela menepuk tangannya. Seolah-olah memberikan penghargaan kepada Farrel.

"Gue harusnya bikin buku yang judulnya 'kutipan kata-kata bijak dari Alfariel' pasti banyak yang beli.. terus temen-temen gue minta tanda tangan gue. Femes gua" Adela menatap abangnya dengan tatapan aneh. Sementara Farrel tertawa sendiri membuat Adela ngeri sendiri dibuatnya.

"Bang beliin gue roti tisu saa roti maryam nah"Pinta Adela. Farrel menatap Adela yang sedang mengetik di laptopnya.

"Sama lo ya? Lagi males sendirian" Adela hendak memprotes, tetapi tangannya sudah duluan ditarik oleh Farrel.

**

Warung yang berada di pinggir jalan itu lumayan ramai. Padahal sudah jam 21.30. Farrel dan Adela duduk di kursi bernomor 24. Sambil menunggu pesanan selesai, Adela hanya memainkan tisu, tusuk gigi dan sambal.

"Bungkus aja bang. Masih banyak kerjaan nih" Farrel mengangguk. Menyuruh pesanannya dibungkus. menghela nafas, melihat pegawai-pegawai di warung India itu memasak.

This FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang