SS :: 30

1.1K 62 5
                                    

• Ragu •

JIKA Rasha diberi pertanyaan tentang apa yang ia lakukan saat ini, mungkin ia tidak bisa menjawab hal itu. Rasha masih termanggu dikursi meja makan. Kedua kakinya naik keatas kursi, enggan bersentuhan dengan ubin yang dingin lantaran malam semakin larut dan hendak datang subuh. Tetapi, dengan wajah kebingungan, Rasha hanya bisa menggigit kuku dan berfikir dalam.

Ia sudah berada dirumahnya, menunggu Ayah keluar dari dalam kamar dengan Revan disana. Rasha tidak bodoh. Sebagai anak seorang Dokter yang terkadang menangangi rehabilitas. Rasha tahu, kenapa Revan seperti beberapa jam lalu. Hal itu pula yang membuat kepalanya terasa penuh dan seperti akan meledak. Selama hampir belasan tahun ia hidup, baru kali ini berfikir hingga membuatnya seperti orang bodoh.

“Rasha.”

Rasha tersentak ditempat, ia menjauhkan jari yang sebelumnya menempel dibibir, dengan kuku yang sudah rusak karena ia gigit sedaritadi. Kepalanya menengok kesamping, Ayah berdiri dengan segelas teh hangat.

“Kenapa melamun? Ayah panggil dari tadi,” kata beliau membuat Rasha menghela napas, “tidur, besok kamu sekolah, Rasha. Minum teh ini, terus masuk kamar.”

“Revan...?”

Ayah cukup mengangguk. Dan hal itu jelas membuat Rasha menghela napas panjang, ia kecewa. Tentu saja. Seperbagian diri Rasha tidak menyangka Revan adalah seorang pecandu. Revan selama ini sangat terlihat normal. Ia tidak seperti pecandu karena apa yang Rasha lihat selama ini, Revan baik-baik saja dengan hidupnya. Ia tertawa dengan teman-temannya, bertingkah gila bahkan merasakan cinta. Tetapi... Rasha menunduk, tidak ada yang tidak mungkin didunia ini. Bukan berarti ia terlihat bahagia, ia tidak mempunyai beban, bukan?

“Memang sudah parah, dan Revan berusaha untuk berhenti. Walaupun kejadian akan seperti ini jika dia tidak bisa menahan diri.” kata Ayah setelah singgah disebelah Rasha.

Rasha menggigit bibir bawahnya, jemarinya saling bertautan diatas celana hitamnya. “Yah,”

Ayah nampak menghela napas berat, beliau menyentuh bahu putrinya dan memberi remasan kecil. “He is? Someone you love?”

No,” jawab Rasha parau, “he's my friend. And just a friend.”

Dia... temen Bintang, Yah. Teman baik. What should I do, Dad? I'm confussed. And honestly, I'm afraid. I was scared to lie on him, Dad. Kenapa harus Rasha yang tahu ini?”

Ayah mengusap kepala anak gadisnya. “Jangan khawatir, Rasha. Semua akan baik-baik saja.”

Rasha menggeleng. “Bintang...”

Ayah memutuskan untuk memeluk Rasha, menenangkan gadis kakunya itu dengan kehangatan rengkuhan seorang ayah. Rahmat sampai lupa kapan terakhir Rasha sekhawatir ini kecuali saat ia telat melakukan pencucian darah. Untuk orang lain, Rasha belum pernah memperlihatkannya pada ayahnya sendiri.

“Temui Revan. Putuskan apa yang harus kamu lakukan bersama. Jangan memutuskan untuk berbohong sendirian. Sayangg...” Rahmat mengusap kepala Rasha pelan, “tidak selamanya berbohong jahat jika kamu berniat memberitahunya suatu saat nanti. Bisa dibilang, kamu menunda untuk jujur. Karena untuk jujur juga membutuhkan waktu berfikir, Rasha. Iya, bukan?”

Rasha menarik napas, menghembuskannya panjang. Kecemasan didada perlahan menghilang setelah mendengar apa yang Ayah katakan. Setelah meminum beberapa tegukan teh hangat, ia merasa makin tenang dan memutuskan untuk memasuki kamar. Ketika pintu kamar terbuka, apa yang ia lihat adalah Revan dan pandangan kosongnya menatap langit-langit kamar. Dan hal itu semakin membuat Rasha tertampar, karena dengan melihat hal itu secara langsung. Ia sadar, apa yang terjadi malam ini adalah nyata.

Shooting StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang