• Happy Birthday •
WAKTU memang tidak berhenti ketika Revan, sahabat terdekat mereka memilih untuk pergi. Mereka faham, waktu itu tidak akan berhenti. Waktu akan terus berjalan, membantu sebuah luka terobati dan sebuah kesalah pahaman terluruskan.
Setelah semalaman memilih untuk stay dipinggir pantai dengan Putra sampai subuh, dengan seribu fikiran lebih ribet dari sebelum-sebelumnya. Akhirnya, keduanya dapat menerima situasi dan memilih tidur ditempat ia terakhir duduk. Semalaman mereka terduduk, keduanya hanya terdiam, menatap ombak yang bergelung tenang dan melihat ribuan bintang bertebaran tak teratur diatas langit. Menatapnya satu persatu, berharap salah satunya adalah Revan yang malam itu, ikut menatap dua sahabatnya yang idiot termenung lama memikirkan dirinya tersebut.
Bintang dan Putra tidak peduli jika dirinya dipanggil idiot, tolol dan segala macamnya oleh Revan. Yang pasti, membaca surat tersebut. Keduanya tersadar akan banyak hal termasuk betapa berharganya waktu itu. Dimana mereka bersama dan kenangan seperti pemandangan Revan yang terbangun dalam kondisi naked dan seperti zombie menuju kamar mandi dengan garuk-garuk pantat akan menjadi suatu kenangan berharga yang bahkan kerap kali Bintang rindukan.
5 tahun berlalu. Namun, kebersamaan ketiganya masih terasa begitu nyata. Seolah apa yang terjadi adalah hari kemarin. Dan saat ini adalah waktu-waktu dimana mereka mengenang dengan rasa tidak rela. Tapi, karena memang waktu sudah berlalu begitu lama. Keduanya kini memilih diam, hanyut dalam pikiran dan rindu yang menggebu tapi tetap tenang. Begitulah, fikiran mereka tercampur jadi satu sebelum akhirnya berhenti saat Bintang menghela napas panjang, panjaaaang sekali.
“Kita ngapain sih anjir?” gumam Bintang melempar batu-batuan kecil kearah ombak malam itu.
Putra ikut tersadar, karena memang sebelumnya ia tidak sadar berjam-jam terlalui hanya untuk diam, melamun dan mengenang.
“Nyata gak sih, Rak, ini? Tiba-tiba kita berdua doang. Udah lama tapi gue nggak ngerasa gitu. Nggak nyangka.”
Bintang masih memainkan batu-batu didepannya dan melemparkannya beberapa kali. “Ya... sama.”
“Mungkin bener. Revan selalu ada dibelakang kita, disekitar kita, jadi kita nggak kerasa kalo selama ini kita tinggal berdua.” lanjut Bintang.
Putra menghembuskan napas lewat mulut hingga asap keluar ditengah malam yang gelap dan dingin saat itu. “Pan, kalo lo disini. Tolong inget ya, lo nggak bodoh, lo nggak menjijikan. Mau siapapun orang berfikir buruk tentang lo. Mau lo pecandu, tukang cabul sekalipun. Dimata gue... Raka... Lo tetep temen. Lo sahabat kita. Lo Revan, Repan, Epan dan lo itu temen gue... Jangan sedih, dan gue minta maaf... gue sama Raka biarin lo sendirian tanpa ngerti rasa sakit lo selama ini.”
Bintang tidak tahu, jika angin malam semakin menyesakan dadanya kala itu. Ia hanya diam, memainkan batu asal dan mencoret-coret tanah yang lembab.
Putra mendongak, matanya menyipit menatap bulan dan bintang dan tanpa sadar air lolos dari sudut matanya, mengalir melewati pelipis dan dengan cepat ia usap.
“Makasih udah bilang makasih buat orang-orang tolol disini, Pan.”
Mendengar apa yang dikatakan Putra, mata Bintang ikut basah. Setelah sekian lama, Bintang akhirnya merasakan apa itu kelegaan. Setelah bertahun-tahun bertanya kenapa, akhirnya semua terjawab kan.
Sebelumnya, Bintang selalu berfikir.
Apa ia nomor dua dimata Revan sampai cowok itu menyembunyikan rahasia darinya namun memberi tahu Rasha?
Apa dimata Revan, ia dan Putra hanya sekedar teman sekamar??
Banyak pertanyaan bercokol dikepalanya namun ia bingung akan menyampaikannya kesiapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shooting Star
Teen FictionIni tentang Rasha dan Bintang. Rasha Sasikarani. Dan, Bintang Rakandika. Rasha yang cantik, angkuh, sombong, dan keras kepala. Juga, Bintang yang lucu, tidak sombong dan cukup menyenangkan walaupun terkadang emosinya sulit dikontrol. Rasha adalah ga...