Sebuah pertemuan kebetulan yang tidak disangka berlalu begitu cepat. Rasha datang dengan biasa saja, seolah gadis itu sudah bertemu Bintang berkali-kali atau bahkan sudah tidak mengenalnya? Buktinya, Rasha biasa saja disaat Bintang saja gugup setengah mati. Rasha mengobati lengan dan kakinya seperti layaknya dokter yang mengobati penuh keramahan dan kasih sayang.Bahkan, Rasha tersenyum sebelum menyibak tirai dan pergi dengan ramahnya.
Sial.
Bintang jengkel sendiri. Terduduk di bangkar sendirian sambil menggerutu kenapa dadanya belum kembali normal padahal Rasha sudah pergi lima belas menit yang lalu.
Yang tersisa hanya aroma parfum perempuan itu yang penuh aroma keanggunan.
Bintang jadi termangu, mengingat kembali betapa indahnya Rasha setelah sekian lama tidak berjumpa. Gadis itu semakin cantik dengan kesan dewasa dan anggun diusianya yang matang ini. Belum lagi, wajah galaknya sudah berubah penuh keramahan sebagai seorang dokter. Meskipun hanya dengan cepolan asal dan wajah polos tanpa sentuhan make up, Bintang sudah dibuat ketar-ketir lantaran tak mampu mengalihkan pandangan barang sedetikpun.
Bintang menghela napas. Rasanya mulai gerah hingga laki-laki itu memilih turun. Mama sedang mengurus administrasi dan Putra tidak tahu rimbanya. Lantas, Bintang memutuskan jalan-jalan sebentar setelah pamit pada sang Mama. Awalnya Mama mengomel, tapi untuk kali ini Bintang memilih membangkang dan tetap menuju taman rumah sakit meskipun tangan dan kakinya diperban.
“Long time no see, Raka.”
Bintang tertegun, menoleh cepat ketika sebelumnya matanya sibuk memperhatikan pasien-pasien yang berjalan-jalan di taman rumah sakit ini.
Rasha tersenyum, ditangannya terdapat satu cup kopi dan lengan jas dokternya kini tergulung hingga siku.
Sungguh, Rasha sangat cantik meskipun dibawah sinar matahari.
“Kabar lo gimana?”
Bintang berusaha bersikap biasa, kembali menghadap depan dan hanya mengedikan bahu.
Mendapat respon seperti itu, Rasha menipiskan bibirnya kecewa. “Kok lo bisa kena air panas sih, gimana ceritanya?”
“Panjang.” jawab Bintang singkat, masih belum ingin melihat Rasha disebelahnya yang sudah berekspresi benar-benar kecewa.
Kedua tangannya memegang cup kopinya erat-erat, melampiaskan kegugupan dan kesesakan di dadanya detik itu. “Gue mau minta maaf.”
“For what?” akhirnya Bintang menoleh, meskipun ia menyesal karena yang ia dapatkan adalah wajah kecewa dari Rasha.
“Semuanya,” Rasha menunduk, “gue terlalu banyak nyakitin lo. Dan gue menyesal.”
Bintang tersenyum samar, terkesan sinis. “Semua orang juga tau, penyesalan selalu ada di akhir. Tapi semua orang nggak tau setiap melakukan sesuatu tanpa nggak ingin tahu penyesalan dia dimasa depan kayak gimana.”
Rasha tertohok, tangannya makin cemas bergerak di kemasan kopi yang sudah mendingin itu. “Gue tau. Gue tau banget gue salah. Tapi, Bin, gue lakuin itu demi--”
Bintang menghela napas kasar hingga Rasha berhenti berbicara, laki-laki itu menunduk sekian detik sebelum kembali menatap Rasha disebelahnya. “Lo bukan lo sekarang, Sha. Lo bahkan beda dengan yang sebelumnya.”
“Profesionalitas.” sahut Rasha ketika Bintang melenggang pergi.
“Kalo lo jadi pasien gue, gue bakal jadi dokter. Tapi, kalo lo jadi Bintang, gue bakal jadi Rasha. Yang masih sama kayak sebelumnya, nunggu lo.” lanjutnya pelan saat Bintang memutuskan berhenti meskipun masih memunggungi Rasha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shooting Star
Teen FictionIni tentang Rasha dan Bintang. Rasha Sasikarani. Dan, Bintang Rakandika. Rasha yang cantik, angkuh, sombong, dan keras kepala. Juga, Bintang yang lucu, tidak sombong dan cukup menyenangkan walaupun terkadang emosinya sulit dikontrol. Rasha adalah ga...