SS :: 17

1.2K 56 4
                                    

• Teman •

DARI seribu ketidak inginan Bintang, salah satu dari semua itu adalah berada dalam satu ruangan dengan Dinar. Cinta pertamanya dan patah hati pertamanya.

Bintang benci itu.

Benci dimana atmosfer mendadak berubah tidak nyaman dan membuat Bintang ingin tenggelam. Walaupun semua perumpaan itu mustahil untuk terjadi. Tapi, setidaknya kali ini Bintang merasakan hal itu secara nyata.

Ia merasa apapun yang ia lakukan salah, termasuk bernafas.

Dia salah tak memandang Dinar dan semakin salah jika memandang Dinar.

“Rasha?” Dinar bersuara, membuat laki-laki diatas bangkar menoleh. “Siapa dia? Pacar lo?”

“Apa peduli lo?” tanya Bintang malas.

Dinar tersenyum kecut. “Lo masih sama ya, Bin. Lo masih dendam tentang kita? Kejadian terakhir kali?”

Bintang menyeringai samar. “Lo juga masih sama, Din. Munafik.”

Dinar tidak tersinggung ataupun merasa tertohok, ia dengan santainya malah tersenyum lebar lalu mendekatkan diri pada Bintang.

“Buat apa lagi lo kesini? Mau pamer? Apa mau bilang kalo lo pengen gue kejar lagi? Sorry, Din. Gak akan bisa. Bukan berarti gue tutup mulut tentang kelakuan lo, lo jadi ngerasa gue mainan lo.” ujar Bintang dengan seringai mengerikan.

Dinar terdiam, lalu menghela napas pendek. “Jadi lo sekarang udah benci sama gue?”

“Selalu,” jawab Bintang jujur, “dari dulu sampe sekarang.”

“Boong,” tukas Dinar dengan senyum miring, “dulu? Lo dulu masih peduli banget tentang gue, Bin. Dan lo cinta sama gue.”

Bintang mendesah kasar, lalu melipat kedua tangan didepan dada dan menatap Dinar jengah. “Lo pasti udah ngerti resiko apa kalo lo sampe muncul didepan gue. Jangan harap Bintang yang dulu ada buat lo sekarang masih ada, Din. Mending lo balik, tobat terus balik kesini kalo otak lo udah beres.”

Dinar ikut bersedekap. “Gue balik, Bin. Dan lo harus terima kalo gue bakal ganggu lo lagi.”

“Sayangnya, gak akan.” sahut Bintang cepat.

Dinar tertegun. “Bin,”

“Din,” panggil Bintang membalas, “lo cuman masa lalu buta gue. Dimana lo adalah titik fokus dan kelemahan gue. Tapi itu dulu, 3 tahun yang lalu. Waktu yang cukup lama. Dan sekarang gue bener-bener udah lupa tentang lo. Jadi, lo jangan kegeeran lagi.”

“Tapi,”

“Apa? Lo lupa? Terakhir lo dateng ke gue kapan?”

Dinar terdiam, berfikir. Lalu menghela napas kasar dan menajamkan penglihatannya pada Bintang.

“Jangan munafik lagi, Din. Buka topeng lo. Dan jauhin kakak gue.”

Kalimat terakhir yang dilontarkan Bintang membuat Dinar terdiam cukup lama dengan tangan terkepal.

“Inget kata gue, Din. Balik kalo otak lo udah waras, dan gue bakal terima lo sebagai temen gue. Tenang aja.” ujar Bintang terdengar tulus.

Namun, ditelinga Dinar terdengar meremehkan.

Dinar membawa langkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Ia meninggalkan Bintang dengan emosi yang lama-lama meluap hingga kepala.

Gadis itu membuka pintu ruangan dengan cepat dan tertegun saat melihat gadis dengan raut datar berdiri didepan pintu. Dan, Dinar yakin gadis itu mendengar semua yang ia bicarakan dengan Bintang.

Shooting StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang