SUARA Difta masih mengalun lembut dari setiap speaker didalam asrama, jadi, wajar saja jika asrama nampak lebih ramai dari hari-hari biasanya. Banyak laki-laki yang sengaja keluar dari kamar dan menikmati waktu sore dengan mendengar puisi yang mengalun dari Difta yang suaranya sungguh enak didengar.Rasha memperhatikan sekitar, dengan kaos oblong biasa warna hitam dan trening hitam yang pas dikaki, ia menyusuri lorong asrama putri kemudian berbelok ke ruang santai.
Jika dihari rabu ia memilih bertahan dikamar dan mendumal lantaran Difta tak henti-henti berbicara dan menyetel musik galau hingga mengganggu waktu belajarnya, kali ini ia memilih keluar dari kamar. Melihat wajah menjijikan Dinar sekaligus suaranya yang dibuat-buat seksi membuat Rasha jengah sendiri dan menjadi tak betah dikamar, bahkan asrama.
Rasha akhirnya memilih kekantin, kantin tidak begitu ramai karena sudah lewat jam makan siang. Hingga Rasha sendiri menjadi tak minat membeli makanan dan memilih mendekati lemari pendingin.
“Lo nggak mau berterimakasih sama gue?” tanya seseorang dengan tiba-tiba menyender pada lemari pendingin yang lebih tinggi dari laki-laki itu.
Rasha mengernyit.
“Bintang aja dibeliin cola, masa gue nggak?” tanya Revan dengan senyum meledek.
“Lo mau?” tawar Rasha dengan wajah datar hingga Revan merasa Rasha menanggapinya dengan serius.
“Enggak-enggak, lo mah apa-apa dibuat serius. Gue becanda ya kali.” Revan segera menegakan tubuhnya. “Ntar lo fitnah pemerasan lagi gue nya.”
Rasha terkekeh kecil, bahkan sangat pelan sekali. “Nggak, gue serius. Gue makasih banget. Kalo nggak ada lo mungkin masalah gue nggak bakal selesai dan gue bakal selalu anggep temen lo kriminal.”
Revan tersenyum simpul. “Semua orak berhak membantu kok. Termasuk gue. Lagian itu bukan apa-apa, kebetulan aja.”
Rasha menaikan bibir bawahnya berbarengan dengan kedua alisnya keatas, kemudian tersenyum simpul. “Kapan pun lo butuh apapun, gue pasti bantu lo.”
“Kapan pun dan apapun?”
Rasha mengedikan bahu. “Lo mau duit?”
Revan sontak menggeleng. “Suatu saat mungkin gue butuh bantuan lo,” Rasha mengangguk, “dan satu lagi, jangan keras lagi macem batu. Jadi, anggap gue, Putra dan Bintang temen lo. Ngga selamanya lo bisa hidup sendiri, Sha.”
Rasha terdiam cukup lama, namun kemudian tersenyum cukup lebar. “Okay, gue ngerti.”
Revan tersenyum puas. “Gue duluan nih, ya.”
“Eh, tunggu,” Rasha menahan tangan Revan ketika laki-laki itu hendak pergi, “Bintang... dimana?”
Revan tersenyum geli mendengar pertanyaan Rasha yang terselip nada ragu. “Dia main basket disekolah, kebetulan sendiri. Samper gih, gue nggak bakal ganggu.”
Rasha mendecih. “Ya.”
Kemudian memutar tubuhnya untuk membuka lemari pendingin. Matanya menyusuri satu persatu jenis minuman dingin. Dan ia mengambil dua botol minuman berbeda. Satunya air mineral sedangkan yang satunya minuman isotonik.
Setelah membayar, Rasha melangkah keluar asrama. Menyebrangi jalanan yang sedikit basah lantaran sehabis hujan dan memasuki sekolah yang sudah sepi. Kakinya segera ia bawa menuju lapangan basket, dan ia langsung menangkap siluet Bintang dengan kaos putih yang sudah basah tengah bermain basket sendiri.
Rasha menghampiri dan berhenti dibawah tiang ring hingga membuat permainan Bintang berhenti.
“Apa lo?” tanya Bintang sedikit sewot, lalu kembali melanjutkan permainannya. Kali ini, ia membawa bola ke ring satunya, bukan ring tempat Rasha berdiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shooting Star
Teen FictionIni tentang Rasha dan Bintang. Rasha Sasikarani. Dan, Bintang Rakandika. Rasha yang cantik, angkuh, sombong, dan keras kepala. Juga, Bintang yang lucu, tidak sombong dan cukup menyenangkan walaupun terkadang emosinya sulit dikontrol. Rasha adalah ga...