SS :: 39

797 52 3
                                    

• Don't Leave Me •

JIKA ditanya kapan terakhir Bintang gugup setengah mati, mungkin adalah hari dimana Bintang harus membaca puisi didepan kelas saat kelas 5 SD. Jantungnya berdegup kencang dan perutnya serasa mual saat itu.

Sama seperti malam ini.

Tepat pukul 2 malam, ia berada didepan paviliun milik Revan yang pintunya terbuka lebar.

Jantungnya berdegup tidak karuan dan langkahnya berat untuk ia bawa masuk.

Sama seperti Putra. Ia hanya diam. Aura malam yang dingin semakin menusuk dan membuatnya berfikir ada yang tidak beres.

“Rak, masuk, ah. Dingin.” ujar Putra mencoba melelehkan euforia tidak enak agar degup jantungnya dan Bintang sama-sama tidak heboh seperti sebelumnya.

Bintang yang diam pun tidak menyahut, hanya saja, kakinya melangkah maju menaiki anak tangga yang rendah dan memasuki ruangan yang diselimuti debu dan gelap. Cahaya didalam hanya remang-remang sampai keduanya menemui tiga orang yang ia kenal dengan wajah sembab.

Rasha terduduk lemas dengan kepala Revan dipangkuannya. Tidak tahu bagaimana caranya, Salsa sudah terduduk di sofa dengan mata menatap kosong pada langit-langit ruangan yang gelap.

Tapi, bukan dua orang itu yang membuat jantung Bintang serasa jatuh ke lambung.

Tapi, Revan.

Laki-laki itu.

Temannya.

Rekannya.

Sahabatnya.

Dengan wajah pucat, kantung mata yang menghitam juga busa keluar dari bibirnya hingga membasahi lehernya membuat Bintang mematung ditempat. Begitupula Putra.

Pandangan keduanya berputar, mengabsen satu persatu apa yang ia lihat disekitarnya.

Barang-barang terlarang yang berantakan disekitar Revan dan seketika mereka mendapat jawabannya.

Bintang dan Putra melangkah kaku, terjatuh lemas saat berada tepat didepan Revan yang terkapar dengan menyedihkan.

“Woy, Pan, lo kenapa anjir? Bangun.” Bintang mencoba membasahi bibirnya yang kering ia menyentuh kaos Revan dengan tangan yang bergetar. “Muka lo macem sapi beler, tolol. Bangun sekarang, lo tau kan hari ini ulang tahun gue? Haha, tai, becanda lo nggak lucu.” Bintang menarik kaos Revan, menyuruh sahabatnya itu bangun dengan lelehan air mata yang tak ia izinkan keluar namun mengalir sendiri.

Putra menyentuh tangan Revan yang dingin, memeriksa denyut jantung Revan dan seketika lemas saat ternyata apa yang tidak ia harapkan terjadi. Putra lemas, ia tidak bisa berkata apa-apa dan shock ditempat.

“Pan, bangun bangsat. Balik, ayo balik. Lo kenapa dah kayak orang gila gini? Bangun goblok. Gue bilang bangun. Kenapa sih lo tidur kayak orang tolol gini, hah? PAN!!” Bintang frustasi, mengerang-ngerang tidak terima lantaran kejadian Revan yang mendadak ini.

Bola matanya reflek bergerak keatas, pada gadis yang menatapnya nyalang dan seketika emosinya memuncak.

“Revan kenapa, Sha? Hah? Jawab gue!!” tanpa sadar, Bintang berteriak pada Rasha dihadapannya saat Rasha ikut menangis.

Selain kenyataan Revan pergi tiba-tiba, kehadiran Rasha disini juga ikut membuatnya frustasi.

“Lo udah tau ini sejak lama, hm?” tanya Bintang.

Rasha menunduk, terhisak makin hebat sampai bahunya bergetar. “Maaf, Bin.”

“KENAPA LO NGGAK BILANG, SHA?! KENAPAAA?!! KENAPA LO TEGA NONTON IDIOTNYA GUE YANG MASIH BISA KETAWA BARENG REVAN YANG KENYATAANNYA DIA MENDERITA, HAH?!!!”

Shooting StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang