BENDA persegi panjang yang bergetar terus menjadi pusat dimana kepala Bintang berputar. Benda itu terdengar bergetar, tetapi laki-laki dengan rambut mulai sedikit gondrong itu tidak tahu dimana tepatnya ponsel itu berada.Bintang berdecak.
Kamar nya yang berantakan mungkin menjadi sumber masalah kenapa benda-benda penting miliknya selalu terselip.
"Bul, bantu gue kek," seru Bintang sembari mengacak-acak rambutnya frustasi.
Sosok Salsa yang dipanggil Bulan itu belum muncul. Ia hanya memutar bola matanya jengah sembari mengoleskan selai kacang pada roti panggang nya.
"Coba dibawah cat-cat lo atau kanvas-kanvas gaban lo itu. Cari kek jangan tanya." balasnya berseru.
Mendengar ucapan Salsa, Bintang segera mengobrak-abrik barangnya. Mulai dari cat-catnya, kuas, dan kanvas polos sampai yang sudah berhasil ia lukis dengan apik.
"JANGAN DIBERANTAKIN LAGI, BEGO. NTAR RUSAK LO PUSING LAGI!" Salsa gemas sendiri mendengar suara barang-barang yang Bintang lempar asal.
Akhirnya, Bintang memelankan pencariannya dan mengurangi keburu-buruan nya. Ketika ia melihat kanvas dengan gambar sosok gadis dari belakang dengan rambut panjang, ia menyingkirkan nya pelan dan reflek sumringah saat melihat ponselnya berada dikursi tempat kanvas tersebut bersender.
Bintang segera mengambil ponselnya yang sudah tertera 52 panggilan tak terjawab yang membuatnya mendesis ngeri sesaat. Ia pun segera meloncat hati-hati melewati barang-barangnya yang berantakan menuju pintu dan mengambil mantel nya dan bergegas keluar kamar.
"Bul, gue ketemu Poya dulu." pamit Bintang dengan kecupan ringan di pelipis Salsa.
Salsa mendengus. "Awas lo nggak potong rambut, gue botakin pala lo ntar malem."
"Siap bos." seru Bintang sebelum menutup pintu, ia pun menuruni anak tangga sebelum sampai jalanan yang sudah ramai orang-orang.
Tanpa menunggu lama, Bintang melesat kesebuah kafe didekat rumahnya. Dari luar, ia bisa melihat sosok gadis yang mencebik sebal dengan minuman yang mungkin sudah tidak panas lagi dihadapannya. Cepat-cepat Bintang menghampiri, duduk dihadapannya dan menyengir tanpa dosa.
"Sorry."
Poya mendelik sebal. "Traktir gue. 30 hari." ujarnya sembari melirik arlojinya.
Ah, ternyata Bintang terlambat 30 menit.
"Asal kopi everyday gue nggak masalah, Poy,"
"Call me Ya, not Poy." ujarnya.
"Kalo gue nggak mau?" Bintang meledek.
"Gue males ajarin lo lagi."
Bintang langsung menghilangkan wajah jahilnya. "Iya, iya, Ya."
Poya.
Gadis berumur 20 tahunan itu memang lebih muda dari Bintang. Tapi, dia adalah senior Bintang dalam club nya di sini sebagai sesama fotografer. Pertemuan anggota club memang diadakan seminggu dua kali, mengumpulkan objek yang didapat selama mereka libur dan akan membahas kelemahan dan kelebihan yang terjadi kemudian memberi saran untuk kelebih baikan gambar selanjutnya.
Yah, kira-kira hal itu yang Bintang lakukan disini selama lima tahun. Dia enggan untuk kuliah, belum ingin. Dan ia pun akan kuliah nanti, jika ia kembali ke Indonesia. Karena baginya, masalahnya adalah bahasa. Jika belajar disini, semua mengenakan bahasa yang mungkin sulit untuk Bintang pahami lantaran ia bukan orang asli disini. Jika sekedar mengobrol, ia merasa baik karena bisa mengenakan bahasa Inggris. Jika sekolah? Bisa saja mengenakan bahasa Perancis kan? Dari awal datang saja Bintang sudah enggan belajar bahasa Perancis yang baginya ribet itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shooting Star
Ficção AdolescenteIni tentang Rasha dan Bintang. Rasha Sasikarani. Dan, Bintang Rakandika. Rasha yang cantik, angkuh, sombong, dan keras kepala. Juga, Bintang yang lucu, tidak sombong dan cukup menyenangkan walaupun terkadang emosinya sulit dikontrol. Rasha adalah ga...