The Missing Twilight

3.1K 182 12
                                    

Vote-nya yaaaah😉

_______________________________________

Author Pov.

"Ge, bangun" bisikan itu mengusik telinga Gerald. Matanya terasa sangat berat. Dia sangat mengantuk.
"kau tidak mau pulang" bisikan itu kembali terdengar. Sangat pelan dan lembut.
"Sayang, ini sudah malam, kau harus bangun" lanjutnya lagi. Gerald berusaha membuka matanya. Rasanya seperti mimpi ketika wajah yang selalu dirindukannya itu selama ini terpampang di hadapannya.

"Sayang! Kau sudah kembali?" ujarnya bersemangat. Ngantuk itu hilang seketika. Wajah itu tersenyum. Senyum yang selalu ia rindukan.
"kau benar-benar kembali? Aku sangat merindukanmu" ungkapnya berusaha meraih tubuh yang selalu ia rindukan lalu mendekapnya.
"Aku sangat merindukanmu....." "Praaaaangggg" bunyi sesuatu jatuh dan pecah. Dirinya seketika sadar. Dan terbangun.

"Ma...ma...maaf pak. Saya tidak sengaja. Saya terkejut tiba-tiba bapak menarik tangan saya." ungkap Melany terbata.
Gerald tersadar. Dia segera melirik sekitarnya juga keadaannya. Dia segera melepasakan tangan Melany yang sepertinya tadi ia pegang.
"Sa...saya minta maaf sekali lagi, pak. Niat saya membangunkan bapak. Tapi bapak tiba-tiba mengigau dan menarik tangan saya." jelasnya lagi.

Gerald menumpukan kedua sikunya di meja kerjanya yang sedari tadi ia tempati kepalanya tertidur, lalu memijit pangkal hidungnya yang sedikit nyeri. Ternyata itu hanyalah mimpi. Mimpi yang sangat nyata. Sudah sebulan terakhir ini pula mimpi itu selalu menghantuinya. Sangat-sangat menyakitkan dan mengecewakan.

"Jam berapa sekarang, Mel?" tanyanya masih dengan aktifitasnya.

"Sudah hampir jam sembilan malam, pak" jawab Melany.

"Kenapa kau belum pulang?"

"Ini saya sudah mau pulang, pak. Pekerjaan saya baru selesai. Saya perhatikan sedari sore tadi, setelah meeting, bapak belum keluar-keluar dari ruangan bapak. Jadinya saya mengecek keadaan Anda. Maaf saya tidak sopan membangunkan bapak" jelas Melany.

"It's okay, Mel. Justru saya mau berterimakasih karena kamu sudah membangunkan saya. Kalau tidak, mungkin saya tertidur disini sampai pagi"

"Iyah, pak."

"Kalau begitu, kamu pulang sana. Ini sudah malam"

"Iyah, pak. Terimakasih"

"Yah. Sebelum pergi, suruh OB yang bertugas untuk membersihkan pecahan vas bunga itu dulu" ujarnya sambil menunjuk serakan pecahan vas bunga di sekitar kaki mejanya.

"Baik, Pak. Maaf juga soal vas bunga bapak"

"Iya. Pergilah"  -Melani segera keluar ruangan itu, meninggalkan bosnya yang masih tetap memijit pangkal hidungnya yang masih berkedut nyeri, karena sedari tadi tertidur dengan bertopang lipatan tangannya di atas meja.

Gerald bernafas panjang. Ada rasa nyeri di dadanya. Dia sangat rindu. Rindu yang teramat dalam, dan sangat menyakitkan. Penyesalan itu selalu saja datang setiap mengingat Ajeng. Dia hampir frustasi dan rasanya ingin menyerah untuk mencari Ajeng. Tapi rindunya lebih kuat mendorongnya untuk tidak berhenti dan menyerah. Di tambah dengan mimpi seperti itu setiap hari yang selalu menghantuinya.

Selama Ajeng pergi hidupnya sangat hampa. Ada yang hilang dari sisi lain dalam dirinya. Dia bahkan pasrah ketika Daddynya mencekokinya berbagai macam pekerjaan dan proyek. Dia berusaha mengerjakan dan menyelesaikan itu semua. Bahkan menjadikan pekerjaan itu sebagai pelarian, dan sebagai wadah mengalihkan perhatiannya dari Ajeng. Tapi, ketika waktu senggang datang. Pikirannya selalu saja tertuju pada penyesalannya karena menyakiti dan menyebakan Ajeng pergi.

90 Hari untuk GeraldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang