Kau membuatku gila dengan rindu yang tak berujung ini. Rasanya ingin membunuh waktu yang berputar di sekelilingku. Aku terlalu sangat Rindu padamu.
Aku mohon kembalilah.
(Gerald)___________________________
Gerald Pov
Aku lelah. Bukan! Tubuhku yang lelah. Tapi tekat juga niat dan semangatku untuk menemukan Ajeng tak pernah lelah. Aku harus menemukannya. Menemukan dirinya juga anakku. Anak kami. Darah daging kami. Buah hati juga buah cinta kami. Aku bodoh. Terlalu amat sangat bodoh. Rasanya ingin ku pecahkan kepalaku yang terlanjur sakit ini dan ku hancurkan tubuhku. Jika saja itu membuat ending yang bahagia. Tapi aku yakin di neraka sana aku tidak akan pernah bahagia bila belum menemukan wanitaku dan anakku. Aku merindukan kalian.
Aku bahkan sudah bosan berangan-angan. Jika saja menjadi "jika" dan tidak terjadi sesuatu "jika" dan "jika-jika" selanjutnya. Aku sudah berhenti berangan-angan dengan satu kata itu. Karena bagaimanapun kerasnya aku berangan-angan itu semua tidak akan menjadi nyata. Aku hampir saja gila. Sudah ku telusuri hampir seluruh negeri. Tapi aku bahkan tak menemukan jejaknya. Rasanya sangat memilukan. Setiap kali laporan kegagalan mendapatkan informasi keberadaanmu.
-------------------
Author pov
Gerald menghembuskan kasar asap rokok yang baru ia hisap. Batang rokok kesekian. Angin yang berhembus segera membawa asap rokok itu pergi dan menghilang dalam sekejap. Dia sedang berada di balkon kantornya. Ruangan kerjanya full AC. Tidak mungkin ia akan merokok dalam ruangannya. Di hadapannya sebuah meja bundar putih berukuran sedang, dengan beberapa kertas dan dokumen entah apa, berserakan di atasnya. Di samping kursi santai yang juga berwarna putih terdapat meja persegi sedikit lebih kecil dari meja bundar itu. Kopi dan asbak beserta sekotak rokok dan juga pemantiknya berada di sana.
Dia melebarkan pendengarannya ketika terdengar suara langkah sepatu mendekat padanya. Sedikit waspada hingga pintu balkon itu bergeser terbuka, dan orang yang menuju padanya tadi menemukan dirinya.
"Siang, Tuan. Maaf saya sedikit terlambat" sapa orang itu kemudian melangkah kesisi samping Gerald.
"It's oke, Burhan. Aku paham keadaan jalanan sekarang. Sepertinya lima tahun kedepan Jakarta akan benar-benar berhenti jika kendaraannya tidak pernah di batasi. Tiap tahun persentase kemacetan semakin meningkat" ungkapnya menjelaskan. Pak Burhan hanya mengangguk-angguk membenarkan.
"Apa yang Tuan butuhkan lagi pada saya?" tanya Pak Burhan tanpa basa-basi. Pak Burhan ini adalah tangan kanan Gerald sejak beberapa tahun yang lalu, hingga saat ini. Pembawaannya tegas tanpa air muka. Wajahnya selalu saja datar, dan tidak suka basa-basi. Dia akan langsung bertanya dan menyatakan maksudnya. Usianya sekitar empat puluh tahun, tapi masih sangat gagah.
"Aku mau kau menyelidiki perjalanan Jonathan baru-baru ini. Aku mau, kau mencari tahu kemana saja tujuannya selama tiga bulan ini. Dengan sama siapa saja dia pergi, apa saja yang ia lakukan, dan dengan siapa saja ia bertemu dan berinteraksi. Aku yakin Ajeng ada di balik perjalanannya selama ini. Entah mengapa firasatki sangat kuat tentang ini" jelas Gerald sambil mematikan puntung rokoknya pada asbak di sebelahnya.
"Baik, Tuan. Saya akan segera mengurus itu" ucap Burhan lalu segera pergi setelah menyanggupi permintaan majikannya. Dia tidak perlu bertanya apa-apa lagi. Karena ia tau sudah tidak ada yang di butuhkan oleh tuannya lagi.
Gerald melanjutkan membaca dokumen-dokumen perusahaannya. Baginya sekarang tidak ada waktu istirahat. Jika bisa semua pekerjaan ia akan kerjakan terus-menerus tanpa henti. Karena kapan ia berhenti bekerja pikirannya akan langsung tertuju pada Ajeng. Dan itu akan membuat dirinya stres berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
90 Hari untuk Gerald
RomanceWarning (18+). *Ajeng : "Menikah, Ibu bilang? Setelah melihat ke dua kakakku bahagia dengan pernikahannya aku sudah mempersiapkan diriku jauh-jauh hari untuk menikah. Tapi, dengan siapa? Masih jamanka perjodohan? Oh, tidak. Jangan dengan cucu Eyang...