Prolog

606 77 15
                                    

Hujan turun begitu deras. Di depan cafe Aynaka yang tersimpan begitu banyak kenangan manis, kini menjadi saksi sebuah kisah yang akan kandas.

Aurina mencengkram erat jaketnya. Deru napasnya tersengal sesak. Matanya terlihat sembab karena air matanya yang mengalir tanpa henti.

Dikta melayangkan pukulnya sekuat tenaga tepat mengenai pipi Zadkael, hal itu membuat pipi Zadkael mulai membiru dan ujung bibirnya berdarah.

"Bajingan! Enyah lo dari hidup Aurina!" ucap Dikta.

Zadkael tersenyum sinis. "Kenapa? Lo mau maju jadi pahlawan lagi?"

Perkelahian keduanya tidak dapat terhindari lagi. Hujan malam itu membuat cafe menjadi sepi pengunjung, hanya ada Zadkael, Dikta, Aurina dan satu lagi perempuan yang menjadi alasan di balik kejadian ini, Kanaya.

Dikta mengalihkan pandangannya pada Aurina, yang berdiri di belakangnya dengan sorot mata ketakutan. Melihat hal itu, Zadkael segera menendang tubuh Dikta hingga tersungkur ke aspal. Zadkael menginjak kaki kanan lawannya dengan sorot mata yang penuh kekesalan.

"Perasaan lo yang nggak berguna itu, justru jadi pengganggu di hubungan gue sama Aurina! Lo itu cuma parasit, bodoh!" teriak Zadkael yang dipenuhi amarah.

Aurina segera mendorong Zadkael dengan sekuat tenaganya, hingga berganti tubuh Zadkael yang jatuh teraungkur. Aurina membantu Dikta berdiri.

"Lo udah gila, Kael!" bentak Aurina, suaranya bergetar menahan tangisnya.

"Lo yang buat gue gila, Rin! Gue nggak bisa ngerasain jadi pasangan lo seutuhnya, karena lo selalu melibatkan Dikta yang akhirnya cuma jadi benalu di hubungan kita!" jelas Zadkael dengan napas yang memburu.

Aurina terdiam. Semua penjelasan Zadkael kini tidak memiliki arti lagi untuknya, melihat Kanaya yang berada di sisi Zadkael dan membantunya berdiri.

"Jangan buat Aurina merasa bersalah karena sikap lo yang murahan. Sikap lo yang terlalu friendly itu, dia bisa bertahan sampai sekarang aja udah hebat." ucap Dikta dengan jalan yang tertatih dan menarik tangan Aurina yang dingin karena terlalu lama berada di bawah hujan. "Ayo pulang, jangan buat keluarga lo khawatir." lanjutnya.

Zadkael menghempaskan tangan Kanaya dari lengannya. Luka di wajahnya mulai terasa pedih, Zadkael sedikit meringis melihat keadaannya yang hampir babak belur. Dia menatap belakang punggung Aurina dengan sudut matanya, hatinya juga hancur saat melihat perempuannya tadi berdiri ketakutan.

Malam yang dingin. Hujan perlahan mulai mereda, suasana malam di jalanan kota masih terlihat ramai oleh beberapa kendaraan. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sudut mata Dikta beberapa kali melirik ke arah spion motornya, terlihat jelas wajah Aurina yang terus menatap kosong kearah jalan yang mereka lewati. Di balik kaca helmnya, Dikta menahan air matanya yang membendung melihat pemilik paras teduh yang selalu menampilkan senyuman manis di bibirnya kini berubah pucat dengan kedua sudut bibirnya yang terpaut ke bawah.

Tangan Dikta bergerak ke belakang menarik tangan Aurina agar memeluknya, menyalurkan rasa sakit yang di pendamnya. Aurina kembali menyeka air matanya yang hampir dibuat habis oleh Zadkael.

"Maaf ya, Kak." ucap Aurina yang melihat darah mengalir di lutut kaki Dikta.

"Bertahan atau menjauh, Na?" tanya Dikta.

"Nggak tau, Kak."

"Kenapa? Dia selingkuh, masih belum cukup?" tanya Dikta yang tidak mendapat jawaban.

Dikta mencengkram erat handgrip motornya, dia menambah kecepatan laju motornya, melampiaskan emosinya yang merasa muak dengan sifat Aurina yang terlalu polos dan mudah di kelabui.

Motor sport merah itu berhenti tepat di depan rumah berwarna putih. Dikta mengulurkan tangannya dan membantu Aurina turun, kemudian melepaskan helm yang berada di kepala Aurina.

"Terima kasih, Kak. Besok lukanya gue obatin di sekolah." ucap Aurina, kepalanya menunduk penuh rasa bersalah. Untuk kesekian kalinya dia kembali melibatkan Dikta dalam masalah apapun.

Tangan Dikta bergerak memegang dagu perempuan itu, mengangkat wajah yang tidak mau menatapnya.

"Apa yang bisa buat lo berhenti cinta sama dia?" Tanya Dikta.

"Gue juga masih bingung sama diri gue sendiri, Kak. Jadi tolong, biarin pikiran gue tenang dulu."

Dikta merasa kecewa mendengar pernyataan Aurina. "Gue nggak suka kalau lo di perlakuin begini, Na! Dia itu tau kalau lo sayang banget sama dia, makanya dia selalu berbuat seenaknya karena tau lo bakal maafin. Gue mau kali ini lo sadar, hari ini first date kalian tapi yang lo lihat apa? dia ciuman sama mantannya, kan?"

Apa yang Dikta katakan sepenuhnya benar, dan Aurina lebih tau akan kejadian tersebut. Kenyataannya bahwa Zadkael Neskala adalah sosok yang sangat dicintainya, lelaki yang menjadi cinta pertamanya. She's fell first.

Aurina perlahan mendorong badan Dikta untuk menjauh. "Lo pulang deh, Kak." Ucapnya, "Hujannya udah reda, jangan sampai lo sakit."

"Disini lo yang sakit, nggak usah khawatirkan gue."

"Gue selalu bersyukur punya lo, Kak. Terima kasih udah datang di hidup gue yang selalu nyusahin lo." ucap Aurina menarik ujung bibirnya sekilas tersenyum.

Melihat senyum itu, bukannya senang, Dikta justru merasa hancur, dia merasa gagal melindungi Aurina. Sorot mata Dikta perlahan menatap perempuan itu sendu, tangannya bergerak menggenggam ujung jaket milik Aurina.

"Can i be him? I don't never let anyone hurt you." Lirih Dikta yang tanpa sadar mengutarakan isi hatinya malam itu.

"Stop.. jangan bercanda, Kak."

"Kasih gue kesempatan, Na. Gue tau kalau cinta lo udah habis buat orang itu, tapi demi Tuhan, Na. Gue nggak bisa biarin lo disakitin seperti ini, sedangkan gue selalu berusaha buat lo bahagia!" Rintih Dikta suaranya perlahan bergetar.

Malam ini Dikta terlihat begitu lemah di hadapan Aurina. Tidak seperti biasanya, Aurina tidak pernah menyangka bahwa kalimat itu akan dilontarkan oleh Dikta. Hubungan yang selama ini mereka rawat, menganggap Dikta sebagai sosok kakak yang selalu melindunginya dalam situasi apapun, ternyata bagi Dikta berbeda.

"Lo seharusnya nggak begini, Kak. Hubungan kita itu beda." Tegas Aurina mengalihkan pandangannya.

"Kenapa nggak? Kalau gue harus mencintai, orang yang berhak terima cinta gue itu cuma lo, Na."

"Tapi, lo pantas buat terima cinta yang lebih layak."

Dikta terdiam merutuki dirinya dalam hati. Dia membahas semua ini di waktu yang salah, padangannya melihat wajah Aurina yang semakin murung. Dikta segera memakai helmnya dan bersiap untuk pulang, hujan yang tadinya deras kini telah mereda. "Masuk! Gue mau juga udah mau balik." ucapnya.

Aurina mengangguk perlahan. Suasananya kini menjadi canggung diantara kedua orang itu.

"Hati - hati ya, Kak!"

Dikta mengangguk, ia perlahan meninggalkan rumah Aurina.

•••

Selamat membaca, ya!
Jangan lupa buat support aku dengan vote/komen dari kalian.

AURINA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang