Chapter 4 ; Rahasia Zadkael.

203 50 9
                                    

Bel istirahat berbunyi. Zadkael terlihat sibuk membantu mengumpulkan tugas dari teman kelasnya untuk di bawa ke ruangan guru, dia di perintahkan oleh Ibu Satrih. Zadkael membawa beberapa lembaran kertas tersebut sendirian.

"Zadkael, tolong bawa ini ke ruangan saya sekalian kita bahas schedule osis bulan ini, yah." ucap Ibu Starih.

Zadkael menghela napasnya kasar. "Saya udah lapar, bu. Habis istirahat nanti saya ke ruangan ibu." ucapnya kesal karena semenjak jabatan ketua osisi diberikan padanya, dia merasa seperti di kekang.

"Boleh, asal kamu nggak keluyuran." ucap Ibu Satrih beranjak meninggalkan kelas, disusul oleh Zadkael di belakangnya.

Setelah guru dan ketua kelas mereka pergi, Aurina segera mengajak Kalea dan Dara ke kantin seperti yang di lakukan murid lainnya. Namun, kedua orang itu justru menolak ajakannya.

"Lo tunggu kita di kantin aja, ini nggak lama kok." ucap Dara.

Seorang Kalea pun lupa mengerjakan tugasnya. Aurina merasa bersalah membiarkan Kalea lupa dengan tugasnya, andai saja semalam dia mengingatkan kedua temannya itu. Walaupun yang mengerjakan tugas Aurina bukan dia, tapi Sadam.

"Duh.. yaudah, deh. Gue tunggu disana, ya." ucap Aurina.

Kalea dan Dara mengangguk. Aurina akhirnya berjalan sendirian, dia melebarkan pandangannya ke arah lapangan yang terlihat kosong. Sepertinya, Dikta hari ini sedang sibuk. Aurina menghentikan langkah kakinya ketika sedikit lagi tubuhnya akan menabrak seseorang yang menghalangi jalannya, orang yang entah muncul darimana.

"Minggir." kesal Aurina.

Zadkael melangkah lebih dekat dengan Aurina. "Gue nggak punya pacar, jadi lo nggak usah menghindar." ucapnya.

"Siapa yang menghindar, sih? Percaya diri banget."

"Lo sendiri yang nyari tau soal gue, kan?"

"Dih.. kepedean lo. Gue juga di kasih tau, bukan cari tau!" ucap Aurina kesal.

Zadkael menatap mata Aurina, seakan mencari jawaban yang dia inginkan dari mata coklat itu. Bukannya mendapatkan jawaban, yang terlihat justru wajah Aurina yang bersemu merah karena sulit menghindari tatapan Zadkael yang begitu lekat.

Dikta mengepalkan tangannya. Dikta memperhatikan kedua orang itu dari dalam perpustakaan yang terbuka pintunya, dia semakin mengkhawatirkan Aurina jika harus terlibat dengan Zadkael.

Aurina segera mendorong badan tinggi Zadkael dari hadapannya. Dia merasa tidak mengerti dengan apa yang di inginkan Zadkael, selain menguras emosinya saja. Aurina melengseng begitu saja, menuju kantin untuk memberi asupan pada lambungnya yang kosong. Sambil merutuki kedua temannya yang begitu lama menyusulnya, akhirnya dia memesan makanan dan duduk sendirian, untung saja masih ada meja yang kosong.

"Hai.." sapa seorang perempuan dari arah sampingnya, dari seragamnya terlihat bahwa dia adalah kakak kelasnya, yang berarti satu angkatan dengan Dikta.

"Iya, kenapa?" tanya Aurina.

"Boleh duduk disini, nggak? Soalnya meja yang lain udah penuh."

Aurina tersenyum mengangguk. Mejanya cukup luas, masih cukup jika Kalea dan Dara datang nanti.

"Aurina, kan?" tanya perempuan itu.

AURINA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang