27#LBAS1

2.4K 314 16
                                    

Shane sedang duduk di lantai kurungan sel di kantor polisi, setelah pihak keamanan rumah sakit membawanya ke sana karena melakukan pengancaman menggunakan senjata api. Polisi menahan Shane dan menunggu pihak keluarganya datang untuk mengurus perbuatan kriminalnya tersebut.

Kedua tangan Shane tengah diborgol saat ini. Ia hanya melamun duduk di lantai kurungan sel dan pandangannya tampak menatap kosong ke depan.

"Itu putraku. Aku ingin kau mengurus uang jaminannya agar putraku tidak dipenjara seperti itu. Aku ingin ia dibebaskan" nyonya Alba memandangi Shane tak jauh dari kurungan sel tersebut. Beliau memerintahkan pengacaranya agar membebaskan Shane.

"Serahkan padaku nyonya Walker. Kau jangan khawatir, karena putramu tidak melukai siapapun. Pasti mudah untuknya terhindar dari hukuman penjara" ujar pengacara nyonya Alba.

"Kalau begitu, cepat kau bebaskan putraku!" tekan nyonya Alba. Tanpa basa-basi lagi pengacara tersebut segera menemui petugas kepolisian yang menangani tindakan kriminal Shane.

'Alfie sudah membuat Shane terlihat seperti bukan putraku' batin nyonya Alba yang geram pada Alfie dan sedih melihat Shane tampak memendam banyak konflik batin dalam dirinya. Ini pertama kalinya nyonya Alba melihat putranya terlihat berantakan seperti ini. "Alfie tampaknya sudah meracuni pikiran putraku!" geram nyonya Alba yang menyalahkan Alfie atas perbuatan putranya.

"Hei, kau! Bangun dan keluarlah" seru salah satu polisi yang membuka kurungan sel tersebut.

Perlahan Shane menolehkan wajahnya pada polisi tersebut. Ia pun segera bangkit berdiri dan berjalan keluar dari dalam sel. Polisi tersebut membuka kunci borgol pada pergelangan tangan Shane dan mengantarnya bertemu pada ibundanya.

"Shane?" nyonya Alba bangkit berdiri dari atas kursi dan segera memeluk putranya tersebut. "Apa kau baik-baik saja, nak?" ibunda Shane tampak khawatir dan sedih memandangi wajah Shane. Beliau memegangi wajah putranya.

"Mau apa ibu kemari?" Shane menepis tangan nyonya Alba dengan kasar karena ia masih memendam rasa amarah pada ibundanya.

"Apa maksudmu, Shane? Tentu saja ibu kemari untuk menjemputmu" jawab ibundanya berusaha untuk tetap tenang.

"Seharusnya ibu tak perlu repot-repot untuk membebaskanku. Karena penjara lah tempat yang benar-benar tepat untukku saat ini" ujar Shane dengan tatapan dingin.

"Tidak, Shane. Itu tidak benar. Ibu tidak ingin kau berada ditempat menyedihkan seperti itu" nyonya Alba berusaha membuat Shane mengerti rasa kesedihannya.

"Tapi ibu memperlakukanku layaknya seorang tahanan sakit jiwa diluar sana!" Shane meninggikan nada suaranya.

"Shane..."

Shane pun langsung berlalu dari hadapan ibundanya karena merasa muak. Tak mungkin juga untuk dirinya kembali menemui Alfie.

Shane memilih untuk pergi ke hutan tempat yang biasa ia kunjungi bersama Alfie walaupun hari sudah beranjak gelap. Dirinya duduk diujung jembatan yang menjorok ke danau. Kali ini ribuan cahaya kunang-kunang menerangi permukaan air danau tersebut.

Shane terus memperhatikan foto dirinya bersama Alfie yang ada dilayar ponselnya. Air matanya terus mengalir karena rasanya pupus sudah seluruh harapannya untuk bisa selalu bersama Alfie.

Dari sebuah insiden lemparan bola basket yang tak disengaja oleh Shane. Dari kejadian itu lah untuk pertama kalinya Shane merasa jatuh hati pada anak laki-laki yang baru saja ia kenal. Tidak seperti anak laki-laki yang lain. Shane merasa jika Alfie adalah pria yang berbeda dari pria seusianya kebanyakan. Alfie membuat Shane merasa nyaman begitu berada didekatnya. Ia mampu membuat Shane jatuh hati pada anak laki-laki hanya dengan satu pandangan pertama. Ia merasakan sesuatu yang menggebu-gebu dalam hatinya jika Alfie selalu ada bersamanya. Perasaan yang sama saat ia menyukai anak-anak gadis di SMP nya dulu. Namun kini, Alfie lah yang membuat Shane seperti itu. Bahkan lebih dari sebelumnya. Itulah salah satu alasan Shane selalu bersikap protektif semenjak mengenal Alfie. Bahkan Shane menepati janjinya untuk ikut kelas bela diri agar ia bisa menjaga dan melindungi Alfie.

Alfie dan dirinya menjalin sebuah persahabatan hingga berubah jadi perasaan cinta yang tumbuh diantara keduanya. Dan kini, semua itu hanyalah sebuah kenangan manis yang begitu sakit jika diingat kembali.

Hanya kesunyian dan cahaya ratusan kunang-kunang yang menemani Shane saat dirinya tengah meratapi kisah cintanya bersama Alfie.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

2 Minggu Kemudian

Alfie sedang berjalan menuju ke stasiun kereta saat ini. Jam sekolah baru saja usai, namun ia langsung memilih untuk pulang kerumah. Karena bibi Anne mengatakan jika ia harus banyak beristirahat karena dirinya belum sembuh sepenuhnya.

Terkadang Alfie masih merasakan sedikit rasa pusing dikepalanya. Namun dokter mengatakan itu hal yang wajar selama Alfie terus meminum obat yang diberikan oleh pihak rumah sakit selama proses penyembuhan.

"Alfie" seseorang terdengar memanggil namanya. Alfie pun segera membalikkan tubuhnya.

Alfie pun tersenyum ramah saat melihat orang yang memanggil namanya tersebut.

"Hai, Dylan" sapa Alfie.

Dylan pun segera mendekati Alfie dihadapannya.

"Kau mau pulang, bukan?" tanya Dylan.

"Tentu saja. Ada apa?" Alfie merasa heran.

"Kalau begitu, bagaimana jika aku yang mengantarkanmu kembali ke rumah?" Dylan menawari tumpangan pada Alfie menuju kerumahnya.

"Terima kasih. Tapi aku sudah terbiasa menaiki kereta" Alfie menolak dengan sopan tawaran Dylan tersebut.

"Bagaimana kalau aku memaksa?" Dylan terlihat seperti memelas.

Alfie sedikit tertawa melihatnya.

"Baiklah. Tapi untuk kali ini saja" Alfie akhirnya menerima tawaran Dylan yang sudah berbaik hati tersebut.

"Kalau begitu, ayo. Motorku ada disebelah sana" Dylan meraih tangan Alfie dan membuat Alfie terdiam memperhatikan genggaman tangan Dylan ditangannya. "Ada apa?" tanya Dylan yang melihat Alfie terdiam seperti itu.

"Tidak ada" ujar Alfie. Kemudian ia mengikuti langkah kaki Dylan.

Diatas motor, Alfie memeluk Dylan dari belakang. Hal tersebut membuat Dylan merasa nyaman saat Alfie melingkarkan kedua lengannya diperutnya. Dylan terus melajukan motornya menuju kerumah Alfie. Ia mengemudi dengan hati-hati karena tak ingin membuat Alfie mengalami hal yang membuat dirinya kembali terbaring tak sadarkan diri.

"Terima kasih, Dylan." Alfie memberikan senyuman manisnya pada Dylan yang sudah memberinya tumpangan sampai kerumah.

"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu karena sudah mau pulang bersamaku" ujar Dylan yang juga membalas senyuman Alfie dengan ramah.

"Apa kau mau mampir dulu?" tanya Alfie.

"Kurasa lain kali saja. Ada sesuatu yang harus kukerjakan setelah ini." Dylan menolak dengan sopan.

"Oh, baiklah. Kalau begitu... Aku masuk dulu." ujar Alfie yang sedikit tersipu.

"Ya, tentu saja. Kalau begitu aku pamit sekarang." Dylan kembali menyalakan mesin motornya.

"Sebentar, kau melupakan ini." Alfie ingin mengembalikan helm yang Dylan pinjamkan padanya.

"Oh ya, terima kasih." Dylan mengambil helm tersebut dari kedua tangan Alfie.

"Good night, Dylan. Berhati-hatilah." Alfie melambaikan tangannya.

"Good night, Alfie." Dylan pun segera menarik gas motornya.

Alfie berbalik dan berjalan masuk kedalam rumah.

"Aku pulang." seru Alfie sembari berjalan kearah dapur. Namun ia tak melihat ada bibi Anne seperti biasanya disini.

Alfie melihat ada sebuah catatan kecil diatas meja makan dan dia segera mengambil catatan tersebut dan membacanya.

Aku pulang agak terlambat malam ini. Makan malam ada didalam kulkas. Kau tinggal memanaskannya. Dan jangan lupa untuk meminum obatmu

-Bibi ANNE-

Bibi Anne sedang lembur lagi malam ini. Alfie pun segera naik keatas untuk membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malamnya.

Love By Accident (The First)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang