Putih mengembuskan napas pelan saat melihat 'pengeksekusian' yang terjadi di hadapannya. Gadis itu bisa melihat dengan jelas wajah-wajah jengkel para anggota ketertiban asrama yang menatap salah satu siswi asrama putri yang berdiri dengan gemetar di hadapan mereka. Sampai saat itu Karang masih diam. Tak berbicara barang satu kata pun. Tapi, semua tahu aura yang menguar dari dirinya sudah lebih dari cukup buat menekan para 'tersangka' yang ada di hadapannya. Naksya diam. Satu-satunya anggota bagian ketertiban asrama yang mengenakan kerudung, mengembuskan napas dengan keras. Naksya yang dikenal sebagai anggota ketertiban paling baik hati di asrama putri itu bahkan terlihat menahan kekesalan saat melihat ketiga siswi yang berdiri dengan wajah menunduk dalam di hadapannya. Berbeda dengan Karya yang sudah menggenggam erat sebuah tongkat di tangan untuk menyalurkan amarahnya. Karya tidak mudah marah sebenarnya, tapi kesalahan ketiga siswi itu berhasil membuat emosinya naik. Lalu ada Bumi yang sedari tadi mengetuk-ngetukkan pensil pada meja. Membuat suara tuk-tuk-tuk yang tidak beraturan sementara kondisi di dalam ruangan eksekusi begitu mencekam. Dan satu lagi anggota ketertiban lainnya yang berdiri di sana. Memejamkan mata. Hujan. Dia terlihat tak bisa mengucapkan kata-kata. Wajah Hujan yang biasanya tak banyak berekspresi itu tiba-tiba saja mengeras. Menahan kesal.
"Jadi, kalian masih tidak mau mengatakan alasannya?" Suara lembut Naksya yang terdengar. Tapi suara lembut itu menghujam tajam. Ketiga siswi itu semakin menunduk dalam. Mereka ketakutan setengah mati. Menyesali perbuatan ceroboh mereka juga tantangan tidak masuk akal yang mereka setujui dengan bodohnya. Tapi mereka tidak mau membocorkan permainan itu. Bisa-bisa satu kamar terkena imbasnya.
Karang menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan. Sudah setengah delapan malam. Artinya itu sudah berlangsung setengah jam yang terbuang sia-sia. Mereka mengeksekusi para siswi itu setelah shalat isya dan tidak ada satu pun di antara mereka yang mau membuka suara. Tidak satu pun. Dia sudah sangat kesal. Sungguh. Sejak kemarin ia ingin sekali menghajar apa pun yang ada di hadapannya buat menyalurkan emosinya. Tapi tidak bisa.
"Put," Entah bagaimana, suara pelan Karang bisa membuat ketiga siswi itu berjengit kaget. Mereka ketakutan. Rumor yang mereka dengar tentang Ketua Ketertiban asrama putri benar-benar menyeramkan. Karang. Satu-satunya siswi asrama putri yang sudah ditunjuk sebagai anggota ketertiban asrama putri sejak kelas sepuluh. Siswi kelas sepuluh yang tidak gentar saat menghukum kakak kelas yang menyelinap keluar asrama malam-malam buat bertemu dengan siswa asrama putra. Sejak saat itu, nama Karang sudah menjadi salah satu nama yang di black list dari buku pertemanan dan nama pertama yang harus dihindari para pembuat onar. Bahkan rumornya mengatakan bahwa Karang tidak segan-segan mematahkan tangan salah satu siswi asrama putri yang ketahuan merokok. Menyeramkan.
"Ada apa Rang?" Putih bertanya tenang. Karang mengembuskan napas berat. Melirik jam dinding yang tak jauh dari sana. Memberikan isyarat tak terkata pada Putih. Mendesah kasar. Perasaan bersalah melingkupinya. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kesepakatannya hanya anggota ketertiban yang menyelesaikan masalah. Tidak boleh melibatkan Ketua Asrama meski itu juga tanggung jawab Ketua Asrama. Kedua sosok itu berjalan keluar. Putih mendesah berat. Menatap Karang dengan perasaan bersalah. Dia sangat merasa bersalah. Sungguh.
"Rang, setidaknya biar kutemani." Gadis berkerudung toska itu masih berusaha membujuk agar Karang mengizinkannya menemani. Karang menggeleng kecil.
"Tidak perlu. Kesepakatannya tidak bisa diganggu gugat. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Katanya menenangkan. Putih masih diam. Sorot matanya masih mencoba membujuk Karang agar gadis itu mau menyetujui permintaannya. Tapi Karang tetaplah Karang. Gadis itu sulit sekali merubah keputusan yang sudah diambilnya.
"Tapi--"
"Sudah waktunya. Aku harus pergi sebelum kita tambah diremehkan." Putusnya final. Sebelum pergi, Karang tersenyum tipis. Menepuk pelan pundak Putih buat menenangkan. Putih mengangguk -dengan terpaksa- membiarkan Karang berjalan pergi. Pergi seorang diri buat membayar kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. Karang mendesah kasar. Sesuai perjanjian. Dia akan datang ke gerbang asrama guru yang memisahkan asrama putra dan asrama putri. Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai sebelum akhirnya dengan tiba-tiba Karang menghentikan langkah kakinya. Berbalik badan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Teen Fiction---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...