8. Usai

99 12 0
                                    

Bel pulang sudah berbunyi nyaring. Semua siswa segera merapikan alat tulis mereka. Berlomba untuk cepat pergi dari kelas menuju tempat yang ingin mereka datangi sebelum jam setengah lima nanti mereka harus sudah berada di dalam asrama. Catatan. Mereka hanya pergi ke sekitaran Swargaloka saja. Toh percuma pergi dari sekolah. Sekolah dan asrama berada jauh dari kota. Mereka ada di pinggiran kota yang dipenuhi pesawahan. Jarang sekali kendaraan umum melewati sekolah. Tentu saja kecuali ojek yang akan mengantarkan mereka dari pangkalan ojek yang jaraknya pun cukup jauh dari sana. Selebihnya mereka bisa menggunakan bus sekolah. Itupun hanya ketika akhir pekan saja. Hari-hari biasa seperti hari ini mana bisa mereka pergi keluar asrama maupun sekolah.

Karang bangkit dari kursinya. Beberapa orang yang menyadari pergerakan Karang menghindar sebisa mungkin. Kaget saat Karang memilih pergi sebelum mereka yang meninggalkan kelas. Karang segera meninggalkan kelas. Berjalan menuju tempat yang sudah ia persiapkan. Dia harus mengakhirinya hari ini. Masa bodoh dengan peringatan Badai kemarin sore. Dan untuk pengurus OSIS nantinya... ah dia bisa mengurusnya setelah ini selesai. Toh bukan dia yang mengawali semua kegilaan ini. Karang berjalan dengan langkah ringan. Sama sekali tidak peduli saat ia lewat beberapa siswa menghindarinya. Karang tidak pernah peduli. Tapi kedua bola mata bulatnya menatap awas. Mencari keberadaan sosok yang bisa saja mengancam usahanya kali ini. Gadis remaja itu terus berjalan hingga menghentikan langkahnya tepat  di hadapan gedung arsip sekolah. Sepi. Tidak ada siapa pun yang berkeliaran di daerah itu. Tentu saja. Tidak ada yang menarik perhatian siswa Swargaloka di tempat tersebut. Karang mendesah. Menatap satu kayu usang yang menapak di dekat tiang bangunan. Dengan pelan gadis remaja itu melompatinya, duduk tepat di atas kayu usang tersebut. Berdiam diri seperti singa yang tengah menunggu mangsanya. Suara langkah kaki tergesa terdengar samar. Dari tempatnya sekarang, Karang menyeringai lebar.

Aahh... mangsanya sudah memakan umpan rupanya.

"Kamu menemukannya, Qi?" Itu suara laki-laki. Karang bersumpah ingin meremat habis laki-laki brengsek yang sudah mengakibatkan Putih terluka. Tangan bersih Putih memar cukup parah.

"Aku mendengarnya, Der.. tadi Bumi bilang--"

Dug!

Karang melompat. Mendarat tepat di hadapan dua siswa yang tersentak kaget setengah mati saat melihat satu tubuh yang mendarat entah dari mana. Queenra bahkan tidak bisa meneruskan ucapannya. Bibirnya gemetar saat melihat seringai di wajah sosok itu.

"Bumi bilang dia menemukan name tag di sini, bukan begitu, Queen?" Tanya Karang dengan suara semanis madu.

Queenra dan Deri menelan ludah susah payah. Entah bagaimana... rasanya lutut mereka lemas sekali. Seolah mereka kehilangan pusat gravitasi. Tidak bisa berpijak. Karang menaikkan sebelah alis. Wajahnya memasang ekspresi jenaka. Ekspresi yang semakin membuat keduanya gemetar ketakutan. Berjalan pelan. Karang tersenyum manis menatap Queenra. Sebelah tangannya terangkat pelan. Queenra refleks memejamkan mata. Bersiap menahan perih di wajahnya. Tapi... Sebuah usapan lembut terasa di rambutnya. Dengan takut-takut, Queenra kembali membuka mata. Terbelalak tak percaya saat justru Karang tersenyum dan mengusap lembut kepalanya. Tapi... mata gadis itu berkilat begitu liar. Seperti singa yang siap menelan mangsanya.

"Queenra, kau tahu? Seorang gadis cantik tidak berhak mendapat luka di tubuh mereka," Queenra menelan ludah susah payah. Napasnya tersengal. Putus-putus. Dia tidak bisa bernapas dengan baik. Karang masih dengan senyum semanis madunya, tapi kedua bola mata bulat itu sungguh membuatnya gementar. Nyaris membuatnya merasa sekarat. Sebelah tangan Karang mengelus wajahnya dengan lembut. "Apalagi, sampai warna kulitnya berwarna biru keunguan. Itu... menyebalkan sekali." Karang berbisik tepat di sebelah telinga Queenra.  Membuat Queenra benar-benar merinding ketakutan.

Karang bergerak mundur. Senyum di wajahnya perlahan sirna. Berganti dengan raut datar tanpa ekspresi. Dingin. Tatapan matanya menusuk hingga ulu hati Deri.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang