Asrama putra mendadak heboh tatkala Badai menyeret seorang siswi penyusup. Langkah kaki terseok seok mengikuti kaki Badai yang bergerak cepat. Seorang siswi asrama putri. Badai sungguh menyeret seorang gadis. Tanpa ampun. Semua siswa asrama putra meringis ngeri serta kasihan saat melihat secara langsung bagaimana Badai memperlakukan seorang pelanggar aturan. Bahkan pada seorang perempuan. Mungkin itulah kenapa nyaris tidak ada seorang pun yang berani menentang Badai. Dia benar-benar ganas seperti namanya. Tidak punya ampun. Badai membiarkan semua siswa asramanya keluar. Ah lebih tepatnya memaksa semua siswa asrama keluar. Menatap seorang siswi yang gemetar ketakutan sekaligus malu saat ketahuan menyelinap masuk ke dalam asrama putra. Sementara pengurus asrama putra lainnya nampak pasrah. Sedikit merasa tak tega saat seorang penyusup tertangkap dan justru yang menangkapnya adalah jelmaan raja singa. Jelas siswi itu bunuh diri.
"Nakula, semua penghuni asrama sudah keluar?" Dingin. Suaranya saja bahkan lebih dari cukup membuat semua siswa asrama merinding ketakutan. Badai yang terlihat tenang, tapi justru ketenangan itu seperti lautan yang menunggu datangnya badai menerjang.
Nakula mengangguk sekilas. Jelas semua tahu bahkan pengurus asrama lain pun tidak akan ikut campur jika Badai sudah seperti ini. Meski sang wakil nampak terlihat tenang. Ah, mereka tidak tahu saja jika saat itu Samudra tengah mencemaskan sesuatu yang---
"Rubah, siapa yang ingin kau temui?" Badai bahkan tidak sudi memanggil siswi penyusup itu dengan lebih manusiawi. Rubah. Ah... apa lagi yang bisa membuat seseorang mengelak jika Badai nyaris tidak punya sedikit pun perasaan?
Diam. Siswi itu menunduk dalam. Air mata sudah membasahi wajahnya. Semua pasang mata meringis. Bahkan dengan keadaan menyedihkan seperti itu Badai tetap tidak peduli. Hei... sungguh, bukankah biasanya air mata seorang gadis setidaknya akan menarik sedikit kepedulian laki-laki? Ah. Sebut saja insting laki-laki untuk melindungi perempuan. Tapi Badai tetap tidak tertarik. Dia justru mendecih malas. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Semuanya jelas tidak membuat si Ketua asrama merasa bersimpati. Beruntung Badai tidak meninju atau menjambak rambut si siswi agar segera menjawab pertanyaannya.
"Baiklah, tidak menjawab berarti kau siap ditendang dari asrama putri tanpa hormat. Kau tidak lupa kan apa konsekuensi siswa Swargaloka yang ditendang dari asramanya?" Dingin. Suara itu bahkan daripada dingin lebih cocok dikatakan beku.
"A... aku--- aku... hanya ingin----"
BRAKK!!!
Belum sempat siswi tersebut menyelesaikan ucapannya, gerbang asrama putra terbuka dengan kasar. Aura mematikan menguar bersamaan dengan kedatangan seorang siswi lain di asrama putra. Suasana semakin mencekam. Bahkan seolah membuat semua pasang mata lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar...
.
Asrama putri, lima menit sebelumnya....
Pintu kamar dibuka kasar hingga membuat semua penghuni kamar yang tertidur berjengit kaget dan bangkit dengan cepat. Hujan terengah-engah. Wajah yang biasanya tidak banyak menunjukkan ekspresi itu kini terlihat kusut. Matanya mencari hingga menemukan Putih yang mengerjap kaget, namun sudah sadar sempurna.
"Put, pakai kerudungmu, kita ke asrama putra. Sekarang. Tidak ada waktu lagi." Hujan berkata dalam satu hela napas membuat Putih tanpa banyak bicara segera mengangguk dan segera mengganti baju tidurnya.
"Jan, kenapa?" Bumi. Seperti biasa gadis remaja itu yang tidak pernah bisa menguasai rasa penasarannya, bertanya. Ah. Lebih tepatnya mendesak.
"Fara menyusup ke asrama putra, dan sekarang Karang sudah ke asrama putra. Sendirian." Tidak ada yang tidak membeku mendengar semua itu.
Itu... bencana! Putih memepercepat langkah. Sebagai Ketua Asrama Putri dan beberapa kali berunding dengan Ketua Asrama Putra, jelas Putih tahu betul seperti apa watak Ketua Asrama Putra itu. Dan jangan lupakan jika mereka berada di satu kelas yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Teen Fiction---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...