Badai melangkah tenang menuju ruangan OSIS. Wajahnya tetap tanpa ekspresi. Langkah kakinya teratur, namun lebih dari cukup membuat siapa pun yang dia lewati menjauh. Seram! Karaya yang berjalan di belakangnya hanya mampu menghela napas pendek. Sebenarnya sejak kehadiran Badai di kepengurusan OSIS nyaris tidak ada lagi pelanggaran yang dilakukan siswi maupun siswa. Pelanggaran ketertiban dan kedisiplinan menurun drastis. Intensitas murid yang membolos menurun secara signifikan. Efek dari seorang Badai memang sungguh luar biasa. Meski saat ini pengurus OSIS hanya bersisa sedikit, karena banyaknya yang dipecat tanpa hormat saat insiden yang menimpa pengurus asrama putri, namun justru pengurus yang sedikit ini lebih dirasa efektif dibandingkan sebelumnya. Nampaknya hari ini ada yang mengusik Badai. Karaya tahu. Meski terlihat tenang, tapi Badai saat ini seperti lautan yang sedang menunggu datangnya badai besar. Omong-omong, setelah sekian lama akhirnya Sunyi--wakil Ketua OSIS--sudah berani bicara dengan Badai. Karena... sebenarnya Badai tidak semenyeramkan itu jika memang tidak ada sesuatu yang memancingnya. Badai terkesan tenang dan tidak ambil pusing sesuatu yang tidak berguna. Badai sangat rasional. Meski jelas dia lebih dihormati dibandingkan dengan Ketua OSIS, tapi Badai terlihat menghormati Ketua OSIS. Dia tidak pernah sok berkuasa. Bahkan pada Karaya sendiri pun yang merupakan Ketua Ketertiban OSIS, Badai tidak berlaku seenaknya. Badai selalu menunggu keputusan Karaya, kecuali dalam kondisi tertentu. Mungkin itulah yang membuat siapa pun tunduk pada Badai? Dia tetap menghormati Wisesa meski jelas Badai berkali lipat lebih ditakuti daripada Wisesa, Badai juga terlihat menghormati Ketua bagiannya. Karaya yang juga terkenal tidak punya ampun pada pelanggar aturan. Omong-omong, Karaya juga pernah berhubungan dengan Karang karena masalah Ketertiban OSIS dan Karang juga tidak banyak bertingkah. Secepat kilat menerima konsekuensi karena dia lupa memakai almamater sekolahnya saat hari Rabu.
"Dai, apa yang ingin kau bicarakan?" Karaya membuka suara. Mereka belum sampai di tuangan OSIS. Sebenarnya sekolah sudah selesai sejak setengah jam yang lalu, namun masih banyak siswa maupun siswi yang betah berada di sekolah. Dan justru itulah kenapa pengurus OSIS, khususnya bagian ketertiban OSIS harus selalu pulang paling akhir dari sekolah. Memastikan tidak ada hal yang tidak diinginkan terjadi.
Apa sudah dikatakan jika bagian ketertiban OSIS hanya punya dua anggota termasuk Karaya sang Ketua? Sejak insiden pemecatan besar-besaran pada kepengurusan OSIS, dan setelah masuknya Badai di kepengurusan OSIS, empat anggota ketertiban lain memilih mundur begitu saja. Menyelamatkan diri tentu saja! Bagi mereka Karaya saja sudah sangat menyeramkan, dan ditambah kehadiran Badai.... mereka semakin ngeri. Tidak ada yang berani berurusan dengan duo sadis itu. Terlebih Karaya yang memiliki tempramen jelek. Tidak apa. Meski hanya menyisakan dirinya dan Badai saja setidaknya Karaya menjadi lebih bebas bergerak. Tidak perlu lagi mendengar rengekan mantan anggota bagiannya. Badai tidak banyak mengeluh. Tentu. Kecuali Badai sangat tidak suka jika mendapat bagian untuk menulis laporan bagian ketertiban. Tidak heran sih mengingat nyaris semua laporan asrama diambil alih oleh Samudra.
Badai menunjukkan sebuah plastik kecil berisi bubuk putih. Mirip bedak atau tepung. Karaya mengernyit. Dia tidak begitu bodoh hingga tidak menyadari tatapan aneh dari mata Badai. Tanpa suara Karaya menghentikan langkah. Tertegun. Pintu ruangan OSIS dibuka kasar. Membuat kaget tiga sosok yang tengah berkutat dengan pekerjaan mereka masing-masing. Karaya menatap sangar. Tidak sabaran. Sementara di sampingnya Badai tetap diam. Membiarkan Karaya menendang pintu. Mengalihkan emosi.
"Hoi anggaran OSIS tidak akan cair untuk mengganti pintu!" Sunyi berseru galak. Mendelik kejam saat mendapati pelototan tajam Karaya padanya. Sunyi tidak takut. Toh menghadapi Karaya yang seperti ini butuh keteguhan hati yang keras. Dan Sunyi bersyukur dia tidak mudah tersinggung oleh sikap meledak-ledak milik Karaya.
Karaya mendecih, napasnya masih memburu. Melihat ekspresi Badai yang tidak berubah juga suasana pekat sejak kedatangan bagian ketertiban, Sunyi mau tidak mau menelan ludah susah payah. Pasyi ada sesuatu yang menyebaBKan Karaya semarah ini dan Badai semakin menyeramkan meski tidak berbuat sesuatu. Sunyi menghitung dalam hati. Memberi ketenangan pada diri sendiri sebelum membuka suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Novela Juvenil---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...