27. Celah

104 8 0
                                    

Pengurus asrama putri terdiam. Kali ini hanya ada lima pengurus yang berkumpul mengingat Karang dan Bumi mendapatkan bagian patroli malam. Juga... kesengajaan Hujan menjauhkan Karang dari rapat kali ini. Hujan tidak akan pernah membongkar semua masalah pribadi Karang pada semua pengurus asrama. Itu bukan kewenangannya. Dan Hujan tidak suka mengganggu privasi seseorang. Itulah kenapa... kali ini Hujan yakin harus melakukan sesuatu atas informasi yang ia dapatkan dari Karang yang satunya. Dan Karang tidak boleh ikut campur akan masalah ini. Apa pun alasannya Hujan tidak mau Karang curiga. Terlebih... Hujan mendesah pelan. Alasan lainnya terlalu menyebalkan untuk dikatakan.

"Masalah bullying. Langsung saja. Karang selama ini diam saja saat dia dibully. Naksya dan Bumi saksinya. Buktinya masih  ada pada Bumi." Hujan yang selalu bicara to the point.

Naksya meringis salah tingkah. Ah. Iya. Dia yang tidak sengaja mendapati loker sepatu Karang dipenuhi sampah. Dan dia juga yang membersihkannya. Putih dan Aksatriya tertegun. Kaget. Tidak pernah menyangka jika justru salah satu pengurus asrama yang menjadi target bullying terselubung. Naksya menoleh. Menatap Karya yang sama sekali tidak berekspresi. Mengerjap saat mendapati Karya tetap diam. Meski raut wajahnya begitu beku. Karya marah. Itu kesimpulannya. Sama seperti semua yang ada di sana. Mereka marah pada dirinya sendiri karena hal seperti itu justru luput dari pengamatan mereka.

"Maaf... aku tidak tega melihat Karang memelas... jadi.... aku...aku merahasiakannya..." Putih mengangguk. Tersenyum menenangkan. Ya. Dia mengerti bagaimana jika ada di posisi Naksya. Terlebih... Naksya terlalu baik. Hatinya begitu lembut dan melihat Karang memelas... sudah pasti akan membuatnya menuruti apa permintaan sang Ketua Ketertiban Asrama.   

"Tri, bicarakan ini dengan Pak Arka. Bullying merupakan pelanggaran berat di Swargaloka. Ah jauhkan Karang dari masalah ini. Put, kamu yang harus memerintahkan Karang melakukan sesuatu yang lain. Kalau dia keras kepala, gunakan saja otoritasmu sebagai Ketua Asrama Putri." Karya membuka suara. Suaranya terlampau datar. Putih mengerjap. Dia masih shock, namun tentu dia mengangguk cepat.

"Baik. Tri, ajak Karang ikut serta dalam program bahasa asingmu, apa saja, buat Karang sibuk selama tiga hari. Karya dan Naksya rundingkan dengan pengurus OSIS, aku dan Hujan akan bicara langsung pada Bu Len dan Pak Arka, ah iya Tri, tolong minta kakakmu untuk tidak pergi jauh." semua kepala mengangguk singkat. Tidak ada yang membantah perintah sang Ketua Asrama. Ya. Itu keputusan paling tepat.

Sementara itu, di luar asrama, Karang terus berjalan tenang sembari menyorotkan cahaya dari senter yang ia bawa. Sebenarnya pengamanan Perguruan Swargaloka sudah tidak diragukan lagi, namun berhubung adanya beberapa celah yang tidak bisa seenaknya dimasuki pihak keamanan di asrama putri, maka semenjak Karang ditunjuk menjadi bagian ketertiban asrama putri tahun lalu, Karang mengajukan patroli malam pada pengurus asrama. Mencegah kemungkinan menyelinapnya siswi asrama keluar pada jam malam atau sebaliknya. Masuknya siswa asrama putra ke kawasan asrama putri tanpa izin. Ya. Karena pencuri atau tamu dari luar tidak akan seenaknya masuk ke dalam lingkungan sekolah tanpa kartu pengunjung khusus keluarga murid Swargaloka. Bumi masih asyik mengayuh sepedanya. Sejak tadi gadis berambut pendek dengan tinggi badan tidak jauh dari Karang -meski Bumi lebih tinggi dari Karang 2 cm- asyik memutari halaman asrama sambil bersenandung. Seolah dia begitu menikmati waktunya berpatroli dan justru mengabaikan hal penting yang seharusnya Bumi periksa. Karang hanya diam. Dia sudah terbiasa dengan segala tingkah absurd Bumi. Maka Karang kembali dengan keawasannya memeriksa setiap celah yang ada di asrama putri.

"Mi!" Gadis itu sedikit mengencangkan suaranya untuk memanggil sang partner yang tak lama setelahnya Bumi segera melaju dengan cepat menggunakan sepedanya.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang