Bungkam. Tidak ada yang bicara. Karang mendesah pelan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tetap tenang. Sunyi memandang gadis itu tak berkedip. Otaknya dipenuhi banyak penyangkalan. Namun kenyataan seolah menghadangnya. Seolah semua kasus kali ini terhubung. Sebulan tanpa diketahui siapa pun. Tanpa satu pun orang yang curiga. Karya bergerak cepat. Menarik tangan Karang menjauh. Setidaknya harus ada orang waras yang bisa berpikir rasional. Hujan diam. Sudut matanya menatap pada sosok lain yang bergeming. Keberadaannya terasa asing mengingat dari seluruh penjuru tempat diisi oleh perempuan. Hanya mereka berdua. Badai dan Karaya.
Matanya memancarkan sorot yang tak bisa dibaca. Mata yang sama seperti saat Badai mencekik Karang di halaman belakang sekolah. Tidak ada yang bicara. Keberuntungan seolah memihak mereka mengingat ketidakhadiran Samudra maupun Sangkala dalam hal ini. Entah keberuntungan macam apa hingga hanya pengurus OSIS saja yang melakukan pemeriksaan terhadap pengurus asrama. Meski jelas. Satu yang Hujan tahu pasti. Sangkala pasti sudah tahu perihal ini. Dan kemungkinan besarnya, teman sekelas berwajah tanpa niat itu pasti akan mati-matian mencari sesuatu yang bFisa lebih dipercaya. Satu harapan dan ringisan tercipta. Seandainya saat ini Bumi ada di asrama, apa yang akan dilakukan gadis berambut pendek itu? Semoga saja kabar ini tidak diterima Bumi dengan cepat. Bisa rumit pementasan theater jika Bumi sampai mendengar Karang menjadi salah satu kandidat tersangka kasus gila ini.
Karya menarik Karang menjauhi kamar pengurus asrama putri. Berhenti tepat di ruang tamu asrama. Tanpa bicara, Karya mendudukkan Karang di sofa. Menyodorkan segelas air dan menatap tajam Karang. Memaksa gadis itu untuk minum. Ada yang Karang sembunyikan. Itu yang Karya pahami. Karang memang gadis pelupa yang tingkat pelupanya sudah akut, tapi Karya dan seluruh pengurus asrama putri tahu satu hal yang pasti. Karang bukan manusia yang ceroboh apalagi dalam hal memberikan kewenangannya sebagai Ketua Ketertiban asrama putri. Tidak. Kewenangan itu sangat teramat jarang Karang gunakan. Karang tidak suka memanfaatkan jabatannya. Dia berusaha keras. Lalu hal ini. Entah apa. Yang jelas kali ini Karang pasti tengah mempersiapkan sesuatu yang mencurigakan.
"Sudah mau bicara?" Karang mendongak. Menatap sosok yang menyeretnya dari kamar pengurus asrama. Karya masih bisa tenang dalam kondisi seperti ini. Meski nyatanya dia sendiri pun sama sekali tidak terusik. Karang mendesah pelan. Karya bisa menyembunyikan kekalutannya dari siapa pun tapi tidak dari Karang. Saat ini Karang tahu pasti jika Karya tengah mati-matian menahan diri. Berusaha tenang agar bisa memgajak bicara. Ah. Lebih tepatnya dia sedang berusaha menanangkan Karang.
"Bodoh! Apa yang kau lakukan?!" Suara dalam kepalanya memekik keras. Nyaris menjerit histeris. Karang berhasil mengambil alih. Balik membuat alter egonya kembali ke tempat seharusnya. Entah apa yang ia lakukan hingga kali ini ia bisa sedikit menguasai diri. Mencegah keberadaan sang alter ego mendominasi diri.
"Kita harus bicara di hadapan semuanya kan, Ar?" Suara itu masih tenang. Entah bagaimana Karya harus menanggapi. Karang nyaris tidak menunjukkan perubahan apa pun. Tetap diam. Tenang. Ketenangan yang justru mengkhawatirkan. Seolah akan ada berita menyebalkan yang nanti ia dengar.
"Aku berhak mendapat penjelasan lebih dulu kalau kamu lupa, Rang." tekannya tak mau kalah. Tidak ada peraturan tertulis. Namun Karang selalu begitu. Mengatakan jika Karya adalah wakilnya jika dia tidak ada. Maka ketika Karya menekankan ucapannya barusan, Karang mengerti satu hal. Dia memang harus berhenti menyeret orang lain masuk pada masalah yang ia buat.
"Aku yang menyimpan obat sialannya di bawah lemari." jawaban itu sukses membuat Karya bungkam dan tanpa mereka sadari lebih dari cukup buat menjadikan pengurus lain mematung di hadapan pintu ruang tamu asrama. Wisesa dan Bara belum tiba. Pun pengurus asrama putra lainnya. Hanya ada Badai dan Karaya yang mewakili ketertiban OSIS dan Sunyi sebagai wakil Ketua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Novela Juvenil---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...