Karang terus berjalan abai. Tak memedulikan bisik-bisik yang terdengar saat ia berjalan. Dia hanya berjalan seolah tidak mendengar apa pun. Lagipula, mendengarkan atau memikirkan bisik-bisik tidak berguna seperti itu hanya akan membuang tenaga saja kan? Dan Karang bukan jenis orang akan dengan sukarela membuang tenaganya hanya untuk alasan tidak berguna seperti itu. Sejak kemarin, setelah Karang mendatangi kelas XI IPA 1 untuk menemui Badai, banyak sekali siswi asrama putri yang berbisik mengenai hal tersebut. Dan sekarang sepertinya kondisi di sekolah semakin parah saja karena anak laki-laki juga ikut menatap Karang dengan cara yang berbeda. Penuh selidik. Karang tidak peduli. Karang juga tidak ambil pusing sama sekali. Sama seperti Badai yang juga tidak peduli akan bisik-bisik siswa Swargaloka. Hanya saja, yang Karang takutkan bukan itu. Masa bodoh menjadi omongan satu sekolah. Karang tidak terganggu, tapi lain cerita jika Samudra dan Sangkala yang bertindak. Itu akan menjadi siksaan paling menyebalkan bagi Karang.
Hujan dan Karya mendesah pelan. Mereka sebenarnya mendengar apa yang sedang diam-diam para siswa bicarakan, tapi mereka berdua terlalu malas bicara. Buat apa? Itu hanya akan buang-buang tenaga saja. Percuma. Sia-sia.
"Jan," Hujan menoleh. Matanya mengerjap malas. Karya mendesah pelan. Dia tahu jika mereka berdua memang sepertinya sangat cocok. Baik Hujan maupun Karya tidak suka banyak bicara dan anehnya mereka berdua bahkan bisa mengerti apa yang ingin mereka katakan tanpa harus repot-repot membuka mulut. Mereka seperti bisa bertelepati. "Apa menurutmu lama kelamaan Karang dan Badai akan bermusuhan?" Suara Karya terdengar pelan. Ragu. Wajar saja jika Karya menanyakan hal ini pada Hujan. Karya tahu, setidaknya dibandingkan siapa pun, Hujan lebih banyak mengenal Badai.
"Tidak akan." Jawab Hujan datar. Singkat. Jelas dan padat. Penuh ketegasan. Karya mengangguk kecil. Sebenarnya dia tahu, tapi entah kenapa... Hal itu sangat mengganggunya?
"Semoga saja." Ujarnya penuh harap. Sebenarnya Karya tidak pernah tahu apa yang terjadi antara Karang dan Badai. Dua orang itu nyaris mirip. Karang yang tidak peduli dan Badai yang tak kalah tidak pedulinya. Sama-sama tidak peduli. Tapi...
"Mereka mirip bukan?" Tanya Hujan tanpa intonasi. Dan Karya hanya bisa mengangguk sekilas. Membenarkan ucapan Hujan. Keduanya memang nyaris mirip jika dilihat dari kepribadian mereka -meski Badai jauh lebih sadis daripada Karang- tapi dalam hal lainnya mereka nyaris mirip meski dengan cara yang berbeda.
Karang dan Badai. Dua nama yang entah bagaimana seolah sudah ditakdirkan untuk saling bertemu namun juga ditakdirkan buat saling menghancurkan. Di lautan, batu karang berdiri kokoh meski terus digempur ombak dan badai. Tak peduli apa pun. Tetap berdiri hingga ia hancur lebur. Di sekolah itu, di Swargaloka, dua nama itu kembali di pertemukan. Sama-sama tidak memedulikan sekitar namun disaat bersamaan keduanya selalu melindungi sesuatu yang menjadi tanggung jawab mereka. Unik.
Sementara itu jauh dari kelas Hujan dan Karya, tepat di kelas XI IPA 3, Karang menelungkupkan kepalanya di atas meja. Kedua mata remaja itu tertutup rapat. Keadaan kelas sangat sepi. Tidak ada seorang pun selain Karang yang memilih menghabiskan waktu istirahatnya di kelas-terlebih mereka tidak berani berada di tempat yang sama dengan Karang saat istirahat-sehingga Karang bisa merasakan ketenangan dalam tidurnya. Dia nyaris tidak bisa tidur semalam. Dalam kepalanya seolah sedang terjadi sebuah perang dahsyat yang menyebabkan dia tidak tenang sehingga ia habiskan seluruh sisa malam buat berpatroli mengelilingi asrama putri dengan berjalan. Mungkin, lain kali Karang akan mengucapkan banyak terima kasih kepada Badai karena sudah membuat kepalanya memercikkan perang yang tidak berkesudahan. Karang menggelengkan kepala keras. Dia lebih baik tidur sekarang. Dan semuanya seperti yang Karang inginkan. Matanya terpejam dan dia mulai berada di alam mimpi. Pintu kelas terbuka begitu pelan diiringi sebuah langkah kaki tanpa suara. Sosok itu berjalan dengan langkah yang nyaris tanpa suara namun tetap dalam ketepatan yang konstan. Matanya menatap ke segala penjuru ruangan kelas yang kosong. Hanya ada satu bangku yang diisi oleh pemiliknya dan kini tengah terlelap dengan menompangkan kepala di atas meja. Sosok itu berhenti tepat di kursi di mana Karang tertidur pulas. Menarik kursi pelan hingga tidak menimbulkan suara dan mulai mendudukinya tanpa terganggu. Remaja laki-laki itu terdiam beberapa saat tatkala matanya melihat kepala yang ditompangkan di atas meja dengan sebelah tangan yang menjadi bantalnya sementara satu tangan lainnya memegang sebuah buku yang ia gunakan untuk menutupi wajah tidurnya yang menghadap kearah jendela kelas. Memunggunginya. Badai tidak pernah mengira jika kembaran seorang Samudra bisa memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan sang kakak. Gadis ini... entah bagaimana Badai baru pertama kali menemukan gadis seperti Karang seumur hidupnya. Gadis yang di satu sisi seperti buku terbuka yang mudah sekali dibaca, namun di sisi lainnya dia bagai labirin yang sulit sekali diselesaikan. Untuk pertama kalinya Badai mengakui jika dia terkesan dengan kepribadian seorang anak perempuan-selain Hujan-seharusnya Badai membangunkan gadis yang tertidur di sampingnya. Ada yang harus ia katakan pada Karang sebagai seorang Ketua Asrama Putra, tapi entah bagaimana dia nyaris tidak bisa membangunkan Karang. Entahlah... Badai sepertinya bisa merasakan jika anak perempuan itu benar-benar membutuhkan tidur. Maka dengan tenang, Badai membuka buku yang sejak tadi dibawanya. Membacanya dalam keheningan. Membiarkan seseorang yang seharusnya ia bangunkan tetap tidur dengan pulas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Teen Fiction---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...