Langkah kaki terhenti tepat di kantin yang merangkap sebagai ruang makan asrama. Ini sudah bukan waktunya makan malam. Jam makan malam sudah berlalu sejak beberapa jam lalu, namun sosok itu tetap mendatangi tempat tersebut. Matanya menyorot tanpa bisa dibaca tiga sosok lain yang duduk di tempat yang sama dengan beberapa kudapan di atas meja. Napas ia embuskan perlahan. Kaki kembali ia langkahkan hingga membawanya menuju tiga sosok yang sepertinya sering menghabiskan jam belajar malam mereka . Yang pertama kali menyadari sosok lain di antara ketiga remaja itu adalah Bara. Si jangkung tersenyum ramah sembari menaikkan sebelah tangan. Tidak sungkan saat interaksinya dengan Badai dan Hujan yang biasanya tidak diketahui banyak orang justru diketahui sosok itu. Samudra, sosok itu tersenyum kecil sebelum akhirnya kembali melangkah. Mendekati tiga sosok tersebut. Ikut menduduki satu kursi kosong di dekat ketiganya.
Hujan bangkit. Setelah membereskan piringnya, gadis itu menatap datar dua piring lain yang ada di hadapan Bara dan Badai sebelum akhirnya bicara. "Aku duluan. Bar, cuci piring dan gelasnya sekarang." Sudah dikatakan bukan jika Hujan merupakan salah satu spesies paling peka di pengurus asrama? Maka bagi seorang Hujan, tidak butuh waktu lama buat mengerti jika Samudra tidak hanya kebetulan datang ke ruang makan dan mendekati mereka. Pasti ada yang akan dibicarakan teman satu kelasnya itu. Meski mendesah dan berdecak, Bara mengangguk pelan. Berdiri sembari membereskan piring dan gelas yang ia dan Badai gunakan. Dia tidak akan repot-repot meminta Badai buat membantunya. Badai justru akan memecahkan piring jika membantunya mencuci piring. Maka dengan senyum khasnya, Bara segera ikut beranjak. Meninggalkan Badai dan Samudra.
"Bagaimana keadaan Karang, Sam?" Pertanyaan itu diucapkan sebelum Hujan sungguhan pergi.
"Lebih baik, tapi sepertinya dia mengkhawatirkan kepulangan Bumi." jawaban itu diucapkan dengan nada tenang yang sama. Seperti raut wajah yang selalu terlihat tentram.
"Ah. Benar," sahut si gadis, dengan suara datar. "Lagipula kami tidak bisa melakukan apa pun pada Bumi." lanjutnya pelan. Nyaris terlalu datar. Sebelum akhirnya pergi begitu saja. Membiarkan Badai tetap diam dan Samudra yang mulai menghela napas berat.
"Dai," panggilan itu dijawab dengan sebuah lirikan tanpa minat. Badai nyatanya masih dengan kegiatannya sejak sebelum kedatangan Samudra di sana. Tidak merasa terusik atau merasa perlu melakukan sesuatu seperti dua sosok lainnya. "Terima kasih sudah menolong Kara." Kali ini respons yang Samudra dapatkan justru sebelah alis yang terangkat tinggi. Masih belum ada satu pun suara yang dikeluarkan Badai sejak kedatangan Samudra di tempat itu. Mendesah berat. Samudra tersenyum. Sebuah senyum yang lebih mirip seperti ringisan. "Terima kasih lagi-lagi sudah menolong adikku." Tanpa sadar kedua bola mata sosok itu menatap jemari tangan Badai yang masih lebam. Samudra tentu tahu apa yang terjadi pada Karang sebelum kembarannya tak sadarkan diri.
"Aku tidak perlu ucapan terima kasih. Cukup kau dan Kala tetap bertahan di kepengurusan asrama sampai masa jabatan selesai. Maka aku akan melakukan hal yang sama. Kupastikan aku menjadi sekutu kalian." Jika sosok lain mungkin bisa terpana saat mendengar Badai yang langsung bicara sepanjang itu pada pertama dia membuka mulut. Tapi bagi Samudra yang sudah mengenal Badai sejak lama, hal itu sudah tidak terlalu asing lagi. Terlebih meski ucapan itu sungguhan tidak sinkron dengan ucapan terima kasihnya, namun Samudra tahu pasti. Seperti inilah cara berinteraksi dan berdiskusi dengan seorang Badai. Badai akan melakukan apa pun selama dia bisa membuat orang yang bisa ia andalkan tidak pergi begitu saja.
"Hn. Aku tahu. Dan untuk yang satu itu, aku dan Kala tidak akan mengundurkan diri dari pengurus asrama. apa pun yang terjadi."
Sebuah seringai tipis terbit di wajah Badai kala Samudra mengucapkannya tanpa keraguan. Jenis seringai yang tak akan bisa ditebak ke mana arahnya. "Jadi... aku juga harus membalasnya." balas Badai nyaris tak terdengar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Teen Fiction---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...