Badai duduk tenang di ruang tamu asrama putri. Angin berembus pelan seakan membelai wajahnya. Ah iya. Pintu ruang tamu asrama putri dibiarkan sedikit terbuka. Sengaja. Badai sendiri yang melakukannya. Alasan? Agar dia bisa mendengar langkah kaki dari dalam ruangan dengan lebih jelas. Agar ia mempersiapkan diri akan kemungkinan sosok lain yang bisa saja bukan sosok yang memang harus ia temui. Ralat. Sosok merepotkan yang berpotensi besar mengganggu kinerja Samudra dan Sangkala. Meski... Badai tidak terlalu yakin akan alasan yang disuarakan Biru lewat kepalanya? Ada alasan lain yang harus ia temukan. Oh. Lebih tepatnya alasan yang Biru jejalkan padanya dan tidak bisa ia abaikan begitu saja. Sialan memang. Dia tidak bisa semudah itu menolak ucapan Biru. Ucapan sosok itu kadang mendominasi kepalanya. Membuatnya sakit kepala hingga memilih buat mengalah. Ya. Biru punya pengaruh besar.
Jika diingat-ingat kembali, ini kali kedua Badai berada di tempat yang sama. Ruang tamu asrama putri. Sudut bibir Badai sedikit terangkat saat menyadari meja kecil yang ada di ruangan tersebut. Sudah berganti. Meja kaca kecil itu sudah tidak ada lagi. Berganti dengan meja berbahan kayu jati. Keras dan tidak mudah rusak. Sunyi dan Wisesa sudah memberitahukan masalah obat terlarang yang mereka temukan di sekolah, namun entah untuk alasan apa hingga Badai merasa perlu bicara pada sosok itu? Bukan Putih, karena tentu saja memberitahu Ketua Asrama merupakan tugas Wisesa dan Sunyi selaku Ketua dan Wakil Ketua OSIS. Untuk bocah ceroboh itu... firasatnya seolah berkata jika kali ini keseimbangan Samudra dan Sangkala akan terganggu. Entah untuk alasan apa?
Meski Badai tahu pasti. Bocah cebol itu pasti akan bertingkah naif lagi. Untuk kesekian kalinya. Merepotkan sekali. Sayangnya Badai memang harus ikut andil dalam hal ini jika tidak mau semua hari tenangnya di asrama rusak oleh ketidak seimbangan Samudra dan Sangkala. Tidak. Tidak. Badai sudah repot mengurusi OSIS dan bertindak lebih banyak lagi di asrama... hanya akan semakin membuatnya lelah.
Sementara itu di kamar pengurus asrama putri, Karya sudah berdiri kaku semenjak kedatangan menghebohkan Ketua Asrama Putra di asramanya dengan membawa sepucuk surat izin bertamu. Bukan Karya sebenarnya yang menemui Badai dan menerima surat izin -sudah ditandatangani wali asrama putra- melainkan Hujan, namun mendengar secara langsung siapa yang akan ditemui Badai pada kunjungannya kali ini, sukses membuat Karya mematung. Berusaha menggapai kesadaran saat Hujan justru hanya memberikan ekspresi aneh mendapati Badai yang datang dengan surat izin untuk menemui Karang. Beruntung kedatangan Badai kali ini tidak menimbulkan kehebohan, mengingat para siswi asrama putri lebih memilih menghabiskan waktu di luar asrama -lapangan, kantin, perpus dan beberapa melakukan kegiatan klub- menyisakan beberapa siswi yang memilih bersantai di kamar mereka. Badai ingin menemui Karang. Bukan sebagai Ketua Asrama Putra melainkan sebagai pengurus ketertiban OSIS dan tentu membuat pertanyaan makin besar. Bumi yang entah bagaimana sedang berada di asrama -harusnya dia sedang sibuk latihan mempersiapkan pementasan klub theater yang berhasil masuk final pada kejuaraan theater se-provinsi- ikut andil. Dengan cekatan memanggilkan Karang. Tidak peduli meski Karya mendelik galak.
Sebenarnya... Karya itu seperti kakak bagi seluruh pengurus asrama putri. Sikapnya dewasa. Sama seperti Hujan, bedanya Karya akan mudah diajak banyak bicara dan menanggapi dengan banyak kata jika dibandingkan dengan Hujan yang lebih banyak menghemat kata. Dia tenang. Karya cukup peka untuk mengetahui jika salah satu pengurus asrama bermasalah atau memiliki masalah pribadi. Karya juga yang selalu mengingatkan mereka untuk makan saat tengah mengurus pekerjaan sebagai pengurus asrama. Karya itu... sungguhan seperti kakak bagi semua pengurus asrama putri. Tanpa terkecuali. Begitu pula dengan Bumi. Begitu-begitu Bumi akan sangat menghindari amukan Karya -yang sering menimpanya- mengingat amarah Karya sungguhan menyeramkan. Berbeda dengan Karang yang lebih cuek. Bumi bisa menempel pada Karang meski Karang terlihat acuh, karena Bumi tahu pasti. Dia dan Karang bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan pengurus asrama putri lainnya. Ah iya. Karang itu partner in crime nya Bumi. Iya. Karang yang memiliki banyak konklusi akan masalah pada asrama putri dan Bumi yang akan mengorek informasinya. Bumi sungguhan betah menempeli Karang. Masa bodoh dengan anggapan siswi lain tentang Karang, eh tidak termasuk saat Karang sungguhan menyeramkan sih. Sekali pun itu Bumi, Bumi juga akan merinding ngeri saat Karang marah. Karang yang sedang marah itu.... Bumi begidig ngeri. Dia bahkan akan mencari Karya. Mencari perlindungan mengingat mungkin selain Samudra dan Sangkala hanya Karya yang tidak gentar saat menghadapi sisi lain Karang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Teen Fiction---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...