23. Kebetulan Yang Lucu

132 11 0
                                    

Badai masih berdiam diri. Tidak bergerak meski hanya seinci. Matanya menatap hampa pada langit yang berdiri begitu angkuh di atasnya. Teramat angkuh hingga bahkan dia lupa bagaimana caranya melupakan langit. Tapi... sekeras apa pun dia mencoba melupakan langit, sayangnya dia tidak pernah bisa melupakannya. Tidak sedikit pun. Bumi dinaungi langit. Itu mutlak hukumnya. Dan Badai membenci kemutlakan itu sendiri. Mendesah kasar, Badai bangkit dari duduknya. Berjalan keluar dari dalam kamar, melangkah menuju lapangan asrama. Lapangan basket. Ini hari Sabtu dan bisa di pastikan jika hanya segelintir siswa saja yang tetap berada di asrama. Sisanya pulang dan jika tidak pulang mereka memilih pergi dari asrama. Berlibur. Bara juga pulang. Berkata jika ia ingin menghadiri acara pementasan theater adik Hujan. Oh tentu saja Hujan juga pulang. Walau terlihat seperti itu, nyatanya Hujan sangat memerhatikan adiknya. Tidak pernah berhenti memerhatikan Rinai. Adiknya. Badai malas pulang. Malas bertemu dengan penghuni lain di dalam rumahnya. Daripada menghabiskan waktu percuma, Badai lebih memilih menghabiskan waktu di asrma. Setidaknya di asrama dia tidak akan terganggu. Dan tidak akan ada yang cukup berani buat mengganggunya.

Mulai memainkan bola basket di tangan. Berlari sebelum akhirnya mendrible bola dan memasukkannya ke dalam ring. Dia selalu seperti ini saat bosan. Bermain basket sendirian tanpa peduli waktu. Nyaris seperti seorang penggila basket. Ya. Setidaknya, siswa asrama apalagi siswi Swargaloka setidaknya bisa melihat Badai yang sedikit 'manusiawi' saat Badai bermain basket. Badai yang tak tersentuh dan tanpa ampun seolah melebur saat ia sudah berhadapan dengan basket.

"Dai, kau seperti sangat terobsesi dengan basket." Suara seseorang bersamaan dengan sebuah eksistensi yang sangat tiba-tiba karena percayalah, sejak tadi Badai hanya memainkan bola basket seorang diri.

"Tidak juga." Sahutnya, datar. Badai terkesan biasa saja saat menghadapi eksistensi tiba-tiba seorang Anggaraka. Tidak berjengit kaget meski hanya sekilas. Instingnya benar-benar luar biasa. Anggaraka mengangguk-angguk pelan sebagai respons atas jawaban Badai. Omong-omong langit sore itu sungguh cerah. Berbanding dengan keadaan langit pagi tadi yang begitu mendung.

"Bara pulang?"

"Hn." hanya gumaman yang menjadi jawaban.

Anggaraka mengangguk sekilas. "Oh, aku sudah lama mau menanyakan ini. Hujan itu siapamu, Dai?"

Badai menaikkan sebelah alis. Sedikit terkejut saat justru pertanyaan itu yang dilontarkan Anggaraka padanya. "Kenapa?"

Kedua pundak pemuda itu terangkat sekilas. "Aku sudah tiga kali melihatmu dan Bara di toko buku dan di halte bersama Hujan." jawabnya datar. Nyaris tanpa beban.

Badai mengangguk kecil. Tidak terganggu. "Tetangga dan teman sejak kecil."

.

.

.

Dua pasang kaki berjalan tenang memasuki gedung theater kota tempat di mana pertunjukkan theater Rinai diselenggarakan. Dua sosok itu, Hujan dan Bara, berjalan beriringan. Sesekali terdengar bisikan atau lirikan yang mengarah pada Bara. Saat ini kedua remaja itu menggunakan pakaian kasual. Dan atas tinggi badannya, Bara nyaris tidak terlihat seperti siswa kelas dua SMA, jauh lebih terlihat seperti seorang mahasiswa. Hujan tetap berjalan tenang. Tidak terganggu dengan apa yang dilakukan gadis-gadis yang mereka lewati. Ah, omong-omong meski Hujan dan Bara datang bersama, keduanya lebih terlihat seperti orang asing yang baru saja bertemu. Hujan termasuk kategori tinggi. Terlebih jika berada di dekat Karang. Dia akan terlihat sangat tinggi. Namun berbeda ceritanya jika dia justru ada di samping Bara yang memiliki gen tinggi badan yang ada di atas masyarakat negaranya. Tinggi Bara sudah mendekati angka 187 cm. Hujan yang memiliki tinggi 163 cm tentu saja terlihat jauh lebih pendek dari Bara. Entah jika nanti tinggi pemuda itu menyentuh angka 190 cm lebih.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang