10. Halte, Rahasia

119 9 2
                                    

Hujan berjalan beriringan bersama Badai dan Bara di sampingnya. Entah bagaimana awalnya hingga akhirnya mereka berangkat bersama dan sampai di halte penjemputan bus asrama bersama juga. Beruntungnya tidak ada siapa pun yang berkeliaran di dekat mereka. Hanya ada mereka bertiga. Oh ayolah. Tidak lucu saja jika pagi-pagi mereka harus mendengarkan bisik-bisik tidak perlu tentang kebersamaan tiga pengurus Swargaloka di halte apalagi kasak-kusuk hubungan mereka bertiga. Itu benar-benar tidak lucu. Dan Hujan tidak sudi masa sekolahnya kembali terusik seperti saat dia SMP. Berteman sekaligus bertetangga dengan Badai dan Bara sungguh merepotkan.

"An. Kamu jelek." Komentar Bara dan langsung mendapat delikan malas dari Hujan. Bara memang tidak pernah sadar kondisi. Hujan benar-benar tidak mau kehilangan hari-hari berharganya di sekolah maupun di asrama hanya karena Badai. Itu sangat tidak lucu.

"Dai, kamu tidak berniat lari saja ke sekolah?" Tanya gadis itu nyaris frustasi. Hujan yang jarang sekali menunjukkan ekspresinya kali ini benar-benar terlihat menahan rasa frustasi yang tiada terkira.

"Tidak." Timpal Badai singkat. Sangat jelas sekali. Jawaban Badai maupun apa yang Badai maksud. Ia menolak mentah-mentah ucapan Hujan.

Hujan memejamkan mata erat. Mengulang doa yang sama dalam hati. Semoga tidak ada siswi yang memergoki mereka bertiga di sana terlebih menyadari jinjingan yang mereka bertiga bawa. Sebuah goodiebag polos berwarna dongker. Itu akan sangat mencurigakan tentunya. Bus masih belum juga tiba. Sepertinya mereka benar-benar datang terlalu pagi.... atau siswa lain memilih datang ke sekolah sendiri tanpa menunggu jemputan? Angin berembus pelan. Menerpa wajah dengan begitu lembut. Bersamaan dengan terbukanya kedua bola mata Hujan yang sejak tadi terpejam kuat, tiga siluet tubuh remaja lain terlihat. Berjalan bersisian menuju halte bus sekolah. Entahlah. Apa sekarang Hujan harus merasa beruntung atau malang saat melihat Karang, Samudra dan Sangkala yang memergokinya menunggu bus bertiga dengan Badai dan Bara tentu dengan jinjingan yang sama. Karang bukan tipe orang yang suka mengurusi masalah orang lain. Tapi Karang adalah tipe pendengar yang baik. Karang lebih terlihat acuh tak acuh meski sebenarnya dia perhatian dengan caranya sendiri. Hujan meruntuki diri. Setelah kemarin dua siswa Swargaloka memergokinya di toko buku bersama Bara dan Badai sekarang giliran tiga orang itu yang mendapatinya tengah bersama Bara dan Badai.

Kedua alis Karang terangkat saat ia melihat Hujan bersama Badai dan Bara. Terlihat akrab duduk bersisian. Tapi gadis remaja itu sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun. Karang sepertinya lebih tertarik melemparkan jaket dipundaknya tepat menuju wajah Sangkala daripada membahas keberadaan Hujan yang diampit dua siswa Swargaloka.

"Sama-sama." Kata Sangkala datar tanpa merubah mimik wajahnya. Karang mengendikkan bahu. Dengan cueknya duduk  satu bangku  di samping Bara, menyisakan satu bangku yang bersisian dekat Bara -Hujan duduk di tengah-tengah Bara dan Badai- dan mulai membuka bekal yang ia bawa dari rumah namun belum sempat ia makan.

"Kalian mau?" Bara berjengit. Tak menyangka akan ditawari makanan oleh Karang. Hujan mendesah pelan. Entahlah. Karang bahkan tidak mengatakan apa pun semenjak tiba. Hujan benar-benar tidak mengerti apa yang harus ia lakukan saat ini. Karang kembali mengendikkan bahu saat tidak mendapatkan jawaban apa pun dari tiga sosok yang ia tawari. Setelah merasa selesai dengan formalitas yang ia lakukan, Karang segera mengambil sendok dari tempat nasinya. Menyuapkan sesendok penuh omelet ke dalam mulutnya tanpa merasa canggung sedikit pun. Mengabaikan tatapan yang dilayangkan Samudra padanya, Karang lebih memilih makan dengan tenang. Omelet buatan ibunya memang selalu seenak ini. Bus belum juga tiba. Padahal sudah hampir setengah delapan pagi.

Saat omelet dalam kotak bekalnya sudah tak bersisa padahal perutnya masih meronta minta diisi, Karang berjalan mendekati Sangkala. Dengan kurang ajar membuka tas punggung Sangkala dan mengeluarkan kotak bekal yang sama dengan miliknya dari dalam tas punggung pemuda itu.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang