9. Pulang

98 11 0
                                    

Akhir pekan. Karena tidak ada pekerjaan pengurus asrama yang membuatnya harus tetap berada di asrama dan menghabiskan waktu liburnya di asrama seperti minggu lalu, Samudra menyeret Karang untuk pulang. Iya. Pulang ke rumah. Sudah hampir dua bulan Karang tidak pulang. Sejak dilantik menjadi Ketua Ketertiban asrama putri, Samudra benar-benar kesulitan menyeret kembarannya buat pulang. Dan di sinilah mereka saat ini. Duduk bersampingan di bus sekolah yang mengantarkan mereka hingga rumah atau berhenti di pemberhentian atas permintaan siswa yang malas dibawa berkeliling untuk mengantarkan siswa satu persatu. Di seberang mereka Sangkala tengah asik oleh headphonenya. Entah apa yang sedang didengarkan Sangkala. Yang jelas dia tidak menoleh saat Karang berbaik hati menawarinya snack.

"Apa ayah ada di rumah?" Kali ini Karang membuka suara. Setelah kesal setengah mati karena Samudra tiba-tiba saja menunggunya di gerbang asrama putri dan membuat kehebohan sejak pagi, dia sama sekali belum membuka mulut.

Samudra terkekeh geli. Menatap wajah kesal Karang, sungguh membuatnya senang sekali. Jarang-jarang dia bisa membuat Karang sekesal ini. Samudra hanya bosan melihat ekspresi wajah Karang yang begitu-begitu saja. Membosankan.

"Kenapa? Kamu sangat merindukan ayah?" Tanyanya dengan nada jenaka. Karang mendecih sebal. Bukan seperti itu, masalahnya ayahnya itu pasti akan mengajaknya latih tanding jika tidak sibuk. Maka dari itu Karang ingin sekali menghabiskan waktu dengan ayahnya di halaman belakang rumah. Sekaligus menghindari teror ibunya yang terus  meminta Karang belajar memasak. Karang malas sekali berurusan dengan dapur! Sungguh!

"Bukan begitu!" Sahutnya jengkel. Samudra tertawa. Lucu sekali. Dia bisa menjahili Karang sebebas ini setelah beberapa hari belakangan ini Karang membuatnya pusing setengah mati. Dan beruntungnya perban di tangan Karang sudah dilepaskan. Lukanya sudah kering meski belum benar-benar menghilangkan bekas di kulitnya. Samudra hanya harus menjelaskan alasan dibalik luka yang diterima adiknya. Dan semoga saja orangtuanya tidak terlalu memasalahkan hal ini.

"Jangan pernah lagi menjemputku di gerbang asrama. Jangan pernah sekali pun!" Tukas Karang galak. Sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa? Apa salahnya aku menjemput adikku sendiri?" Karang mendesah kasar. Kenapa Samudra tidak peka sih?! Apa jangan-jangan telinga Samudra bermasalah hingga dia tidak mendengar jeritan siswi asrama yang sumpahnya sangat berisik saat dia berdiri menjulang di depan gerbang asrama putri?!

"Kedatanganmu di asrama selalu membuatku sakit kepala." Jelas Karang kesal. Entahlah. Saat ini dia hanya ingin mengomeli Samudra saja. Tidak lebih. Ia hanya ingin berbagi dengan Samudra seperti biasa. Semenjak Samudra menjadi Wakil Ketua asrama putra, kembarannya itu sangat sibuk. Mereka bahkan sudah sangat jarang bertengkar seperti ini. Dan itu... membosankan. Samudra terkekeh geli. Sebelah tangannya mengusap kasar rambut Karang hingga ikatan rambutnya berantakan.

"Kamu cemburu kakakmu memiliki banyak penggemar?"

Karang mendelik jijik. Ngeri juga saat mendengar kata cemburu diucapkan Samudra untuknya. "Aku hanya heran," Karang menjeda ucapannya. Menatap lekat Samudra. Meski jelas sekali ia seolah sedang menatap cerminan dirinya dalam versi laki-laki. "Mereka itu buta atau bagaimana sih? Setahuku wajahmu tidak cukup membuat seseorang menoleh dua kali." Sambungnya kurang ajar. Tapi, Hey! Itu faktanya! Wajahnya dan wajah Samudra itu sangaaat mirip. Meski mereka bukan kembar identik, karena jenis kelamin mereka berbeda, tapi dilihat dari manapun wajah keduanya sangat mirip meski tinggi badan mereka berbeda jauh. Dan Karang juga sadar jika wajahnya dan wajah Samudra adalah tipe wajah rata-rata yang tidak cukup membuat seseorang menoleh dua kali saat mereka lewat. Sesederhana itu. Dan aneh saja saat anak-anak asrama juga melakukan hal yang sama pada Samudra seperti yang mereka lakukan saat kedatangan Badai.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang