4. Asrama.

112 12 19
                                    

Pengurus asrma putri sibuk hari itu hingga mereka bahkan tidak sempat pergi ke kantin yang merangkap ruang makan buat makan siang hingga pada akhirnya, Putih dan Aksatriya meminta petugas dapur untuk membungkus jatah makan siang mereka. Membawanya ke ruang pengurus asrama. Di tengah kesibukan membuka kotak makan siang, Hujan terdiam tanpa kata. Sepasang matanya tanpa sadar menatap Karang yang tetap seperti biasa meski si Ketua bagian ketertiban belum bergerak seinci pun dari kursinya. Terus menyelesaikan pekerjaan mereka yang entah bagaimana bisa menggunung seperti itu. Karang terlihat seperti biasa. Sama seperti gadis remaja biasa jika hanya menatapnya sekilas. Karang bukan gadis remaja yang bisa membuat seseorang menoleh dua kali saat melihat wajahnya. Tidak secantik Naksya atau semanis Putih. Tubuh mungil -pendek- gadis itu seolah menunjukkan jika dia memang perempuan.

Hujan sudah mengenal Badai sejak kecil. Sejak bayi bahkan. Mereka bertetangga. Mereka memang cukup dekat sebagai teman tapi hubungan keduanya jauh lebih rumit dibandingkan dengan hubungan teman masa kecil biasanya. Badai tertutup. Terlebih Hujan juga pendiam. Mereka berdua sama-sama tidak suka basa-basi. Dibandingkan seperti Karang dan Sangkala yang mirip seperti adik kakak, Badai dan Hujan lebih mirip seperti ibu dan anak. Badai seolah memperlakukan Hujan sebagaimana seorang anak pada ibunya. Rumit. Entah bagaimana Hujan menjabarkannya. Sebenarnya mereka berdua tidak pernah memiliki niat untuk selalu berada di sekolah yang sama, tapi entah bagaimana mereka berdua selalu berakhir di sekolah yang sama. Sejak TK hingga kini SMA. Dan mengenal Badai sejak kecil cukup membuat Hujan tahu seperti apa Badai. Hujan tidak tahu jika Badai bisa terlihat seperti meremehkan seseorang, karena seumur hidupnya, Hujan tahu jika Badai selalu memilih tidak peduli. Tidak pernah memedulikan siapa pun atau apa pun kecuali jika itu mengusik hidupnya. Tapi setelah latih tanding persahabatan itu... Hujan menyadari satu hal. Badai seperti melihat Karang dengan tatapan mencemooh yang menyebalkan. Seolah anak laki-laki itu ingin sekali memancing sampai mana batas kesabaran Karang yang mampu mengabaikan kekurang ajarannya. Hujan tidak tahu apa itu sebuah pertanda baik atau sebaliknya dari Badai? Apalagi jika melihat karakter Karang yang dikenalnya... Hujan bisa menyimpulkan satu hal. Karang dan Badai punya sifat yang hampir mirip. Keras kepala dan tidak suka diusik. Hanya saja... Badai memang terlalu sadis. Dan anak laki-laki itu juga terkesan selalu membingkai ekspresinya dengan wajah datar dan tatapan tajam. Berbeda dengan Karang. Meski tidak terlalu suka berbasa-basi dan tidak cukup ramah, tapi Karang masih cukup bersahabat saat tidak menyangkut urusan bagian ketertiban. Karang itu peduli dengan caranya sendiri.

"Jan?" Panggilan Aksatriya mengalihkan Hujan. Membuat gadis remaja itu mengangguk dan segera mengambil jatah kotak makan siangnya.

.

.

.

Asrama putra terlihat seperti biasa. Beberapa siswa berkeliaran sesuka mereka. Mengeksplorasi setiap jengkal asrama yang untungnya cukup luas dan memiliki fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di antara hiruk pikuk siswa asrama putra, beberapa orang siswa diam di dalam ruangan khusus pengurus asrama. Tapi bukan hanya pengurus asrama saja yang hadir di sana. Ada Wisesa -sang Ketua OSIS- yang ikut hadir. Keadaannya terlihat seperti biasa. Tidak tegang sama sekali. Wisesa sengaja meminta pertemuan dengan para pengurus asrama putra untuk membicarakan beberapa hal dan tentu saja untuk meminta penjelasan langsung dari Badai terkait ulahnya beberapa hari lalu.

"Dai, kau mendengarnya?" Suara Wisesa membuat Badai menguap malas. Mengangguk pelan. Dia ngantuk sekali! Kalau saja dia bukan Ketua Asrama... mungkin saat ini Badai sudah menghabiskan waktu libur akhir pekannya dengan bermalas-malasan di atas kasur sambil memainkan game atau seharian di lapangan basket. Mendrible bola dan memasukkannya ke dalam ring.

"Jadi Dai, kau langsung saja menghajarnya saat dia merokok?" Kali ini suara datar Sangkala yang terdengar. Badai hanya mengangguk kecil. Dia malas sekali membicarakan hal itu. Dan lagi, kenapa Samudra tidak juga mengatakan sesuatu yang bisa mewakilinya?! Biasanya Samudra lebih cepat tanggap dalam urusan memahami apa yang ia perbuat. Oh atau Samudra masih kesal karena dia membuat kembarannya babak belur seminggu lalu?

Samudra mengembuskan napas berat. Kasus kali ini lebih rumit. Sangat rumit bahkan. Jika bukan karena Badai yang berhasil memergoki salah satu siswa merokok di sekolah -merokok merupakan pelanggaran berat di Perguruan Swargaloka- mungkin mereka juga tidak akan menyadari jika diam-diam ada satu orang 'kurir' di kantin sekolah yang membantu para siswa mendapatkan rokoknya. Tapi masalahnya tidak selesai sampai di sana. Karena Badai menghajar habis-habisan si tersangka, bahkan hingga nyaris mematahkan tulang rusuknya, terlebih Badai melakukan hal tersebut di sekolah yang berarti Badai tidak punya kewenangan melakukan hal itu selama di sekolah, maka urusannya menjadi rumit. OSIS juga ikut terlibat. Beruntung Wisesa bukan siswa gila hormat yang akan memaki Badai -meski tidak akan ada yang berani-. Jika saja itu bukan Wisesa, Samudra berani bertaruh jika orang itu -Ketua OSIS- akan membawa perkaranya langsung ke guru bagian kesiswaan yang akan menimbulkan masalah lebih merepotkan. Bisa jadi rapat siswa juga diadakan hanya karena masalah sepele seperti itu.

"Kau sudah membicarakannya dengan pengurus asrama putri, Sa?" Suara pertama Samudra terdengar setelah lama berdiam diri memikirkan berbagai kemungkinan. Wisesa menelan ludah susah payah. Jujur saja jika seseorang menyinggung mengenai pengurus asrama putri, otaknya secara otomatis akan menghadirkan kilasan saat ia diintimidasi habis-habisan oleh Karang.

"Tidak perlu." Suara Badai membuat sosok di dalam ruangan tersebut menoleh seketika. Menatapnya bingung. Mengembuskan napas malas. Dia lupa mengatakan jika ada 'anak kecil' pengurus asrama yang memergokinya saat ia menghajar si tersangka. "Ada anak kecil yang melihatku menghajar sampah perusaknya." Lanjutnya  acuh.

Untuk beberapa detik semua orang di sana terdiam. Mencoba memahami maksud dari ucapan sang Ketua asrama. Lalu, sebuah embusan napas terdengar cukup jelas. Samudra. Dia pertama kali yang menyadari arti dari ucapan sang Ketua asrama.

"Dan Karang tahu alasanmu menghajar tersangkanya, Dai?" Tanya Samudra datar. Dia tahu siapa yang dimaksud anak kecil oleh Badai.

Dengan gaya acuhnya Badai mengendikkan bahu. Menatap tak peduli. "Dia hanya bilang sepertinya kau akan mendapat masalah kalau membiarkan OSIS melihat hasil karyamu ini. Kusarankan agar kau mengobatinya segera."

Samudra mendesah kasar. Badai dan kecerdasannya. Bahkan Badai bisa menghafal apa pun yang baru didengarnya. Tapi, entah bagaimana mengatakannya,  Karang sudah berhasil menyelamatkan si tersangka dari amukan Badai tanpa perlu membuat Badai juga ikut menghajarnya. Samudra tahu itu. Dan meski enggan mengakuinya, tapi Badai melepaskan si tersangka karena ucapan Karang. Lebih tepatnya karena Karang memilih mengabaikan mereka berdua dan pergi begitu saja tanpa perlu memaki atas apa yang dilakukan Badai. Wisesa menelan ludah susah payah. Sampai saat ini sepertinya nama Karang masih cukup membuatnya mati kutu. Sangkala diam tanpa suara. Seperti yang dikatakannya berhari-hari lalu, dia tidak mau berurusan dengan segala hal yang dilakukan Karang. Itu merepotkan. Sangkala tahu jika Karang selalu punya pemikiran yang jauh sekali dari pemikiran kebanyakan orang.

"Jadi, bagaimana dengan memberitahukan hal ini pada asrama putri?" giliran Sadewa yang bersuara.

"Itu urusan OSIS." Sahut Sangkala enteng. Dia benar-benar tidak mau berurusan dengan pengurus asrama putri lagi setelah terakhir kali peristiwa latih tanding persahabatan antar asrama.Wisesa tanpa sadar menahan napas saat Sangkala begitu saja mengatakan jika hal ini merupakan kewenangan OSIS. Ayolah. Dia masih belum berani bertemu Karang. Meski nyatanya Karang tidak melakukan apa pun padanya, tapi hal itu sungguh membuatnya merasa mempermalukan diri sendiri.

"Tunggu dulu! Kalau kalian lupa, Badai juga masuk kepengurusan OSIS." Sanggah Wisesa, cepat. Kali ini dia mengabaikan jika bahkan hawa keberadaan Badai saja sudah cukup membuatnya merasa tertekan.

Badai menaikkan sebelah alis. Manatap Wisesa dengan mata memincing. Heran. Sejak kapan dia menjadi bagian OSIS? Dan seolah menyadari satu hal, Samudra menepuk jidat. Meruntuki diri. Lalu menatap Badai dengan tatapan penuh perhitungan.

"Dai, kau memang jadi salah satu pengurus OSIS sejak dua minggu lalu." Katanya tanpa intonasi.

Untuk beberapa saat Badai terdiam tanpa suara. Hanya kerutan di dahinya yang memperlihatkan jika dia memang tengah berpikir. "Sial!" Desis remaja itu kesal saat menyadari apa arti dari perkataan Samudra dan Wisesa.
.

.

.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang