37. Halo

131 13 15
                                    

Langkah kaki bergerak tergesa. Berpacu cepat tanpa peduli apa yang ia pijaki. Kain yang menutupi kepala itu sedikit bergoyang tertiup angin. Pandangan matanya lurus. Sinar matanya dipenuhi kehidupan dan tatapan positif. Tas punggung tersampir di sebelah pundak sementara satu sisinya dibiarkan menjuntai. Dalam langkah kaki yang mulai tergesa itu, ponsel di saku outter yang ia kenakan bergetar. Memaksanya buat menghentikan langkah sejenak dan melihat isi ponsel. Hanya beberapa orang yang bisa menghubunginya lewat ponsel itu dan itu berarti sesuatu yang penting. Tangan bergerak tergesa. Membuka layar ponsel dan melihat isinya. Sebuah pesan dari sosok yang memang harus segera ia temui. Tanpa merasa perlu membalas pesan singkat tersebut, ia kembali bergerak. Meneruskan langkah kaki yang terhenti saat mendapati sebuah gedung sederhana. Tempat yang harus ia tuju. Ekor matanya mendapati dua sosok laki-laki yang berdiri di luar gedung. Mereka berpakaian rapi.

"Lama." keluhan itu segera menyapa gendang telinga kala si gadis sudah sampai di hadapan keduanya.

Karang mendecih pelan. Sangkala tidak tahu saja jika dia sudah berusaha secepat mungkin sampai di tempat itu. Tersesat pula. "Aku sempat salah gedung tadi," sahutnya cepat. Sangkala mengendikkan pundak. Tak peduli. Sementara Samudra terkekeh pelan melihat interaksi keduanya.

"Ayo masuk, acaranya sudah dimulai. Oh iya, Ra, kamu tidak mau menyimpan tasnya?" Karang menggeleng cepat. Menolak ide tersebut.

"Tidak. Ada hadiah di dalamnya." Sangkala menatap curiga saat mendengar kata 'hadiah' yang diucapkan Karang begitu saja.

"Ra," itu sebuah peringatan. Karang tahu nada suara Sangkala yang seperti itu. Dalam hati rasanya Karang ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat raut wajah horor Sangkala. Sepertinya dia masih menyimpan dendam padanya saat mengatakan mengenai hadiah.

"Tenang saja. Ini bukan dariku, anak-anak di tempat pengungsian yang memberikannya." cukup satu jawaban itu dan Sangkala segera diam. Mulutnya terkatup rapat. Tidak bisa mengelak.

Samudra terkekeh. Sebelah tangannya terangkat dan berhenti di atas kepala sang adik. Mengusap kepala berkerudung itu pelan. Hatinya menghangat. Adiknya... sudah banyak berubah. "Mereka pasti kesepian saat kamu tidak ada. Biar aku yang bawa." Karang menurut. Memberikan tas punggungnya. Sebelum akhirnya ketiga sosok itu melangkah masuk.

Acara itu dimulai dengan pembukaan yang begitu mengesankan. Karang tersenyum puas. Tidak sia-sia dia bergegas dari luar pulau untuk menghadiri acara ini. Matanya melembut kala melihat satu sosok yang begitu ia kenal menaiki podium. Pak Arka Suryaloka. Gurunya saat dia di Swargaloka. Salah satu guru yang membantunya hingga menjadi seperti saat ini. Lalu matanya kembali melembut saat sosok lainnya menaiki podium. Aksatriya. Karang tahu, baik Pak Arka maupun Aksatriya pasti akan memiliki andil cukup besar dalam dunia kependidikan. Atmosfer dalam ruangan semakin terasa kala satu nama lain dipanggil untuk memasuki podium. Gema tepuk tangan terdengar riuh. Terlebih saat satu sosok lainnya berjalan memasuki podium. Postur sosok itu tinggi. Wajahnya tegas. Sorot mata itu masih sama tajamnya. Karang diam. Tersenyum tipis. Teman-temannya saat di Swargaloka sudah begitu sukses. Mereka semua menjadi sosok yang begitu luar biasa.

Acara kembali berlanjut. Materi mengenai dunia kependidikan itu dimulai. Pak Arka Suryaloka yang kini menjabat sebagai mentri pendidikan memulai materi pertama. Materi mengenai masalah pendidikan yang masih menjadi kendala dalam dunia pendidikan negeri juga beberapa kemajuan dalam pendidikan beberapa tahun terakhir. Penjelasan itu berjalan begitu khidmat. Tidak ada penjelasan yang dilebih-lebihkan. Seperti biasanya saat mengajar dulu, Pak Arka menjelaskan secara rinci dan ringkas dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak heran beliau menjadi mentri pendidikan di usia yang terbilang masih muda itu.

Materi kedua disampaikan Aksatriya. Sosok yang mendapatkan penghargaan sebagai sosok muda paling berpengaruh dalam dunia pendidikan. Aksatriya dijuluki sebagai 'traveler teacher' mengingat dia selalu berpergian ke daerah-daerah pelosok untuk berdiam di sana sambil mengajar. Aksatriya bukan seorang guru formal. Dia memang seorang sarjana keguruan, tapi dia tidak mengajar di satu sekolah. Alih-alih menjadi guru di sekolah elit atau di kota besar, atau bahkan bisa menjadi sosok berpengaruh di Swargaloka, Aksatriya memilih berpergian. Menjadi guru petualang. Jika sang kakak yang merupakan mentri pendidikan memaparkan mengenai dunia pendidikan di negeri ini, maka Asatriya memaparkan realita pendidikan di daerah pelosok. Mengenai masih minimnya fasilitas pendidikan yang tersedia di daerah-daerah pelosok dan segala kekurangannya. Dia bahkan tidak peduli meski beberapa realita seolah menyinggung kakaknya sendiri. Rasanya Karang ingin tertawa melihat Aksatriya yang masih belum banyak berubah. Cerita Aksatriya menyadarkan Karang mengenai realita. Masih banyak yang harus dibenahi dari negara ini. Apalagi generasi penerus bangsa. Karang tidak menampik hal tersebut. Dia juga melihat berbagai kenyataan dari pekerjaan yang dilakoninya.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang