7. Sisi Lain

120 12 0
                                    

Asrama putri terasa masih lengang. Oh tentu saja ini masih sore, para siswa Swargaloka bisa berkeliaran di manapun selama mereka masih berada di lingkungan Swargaloka. Sama seperti para pengurus asrama putri yang juga tengah berkumpul di kantor pengurus asrama. Putih mendesah pelan. Sementara di sampingnya Aksatriya mengeluarkan beberapa lembar kertas kusut. Seolah sengaja diremat. Semua mata tertuju pada kertas yang ada di hadapan mereka. Mengerutkan kening.

"Surat kaleng. Aku dan Triya menemukannya di loker kami." Jelas Putih saat mata-mata itu menatapnya penuh tanya. Karang diam. Gadis itu tanpa permisi mengambil satu kertas kumal itu. Membacanya sekilas. Mendengkus kasar.

"Apa Wisesa tahu?" Suara Karang terdengar lebih dingin. Putih dan Aksatriya mengembuskan napas pelan. Menggeleng kecil.

"Belum," Jawab Putih tenang. "Kami ingin menunjukkan ini pada kalian sebelum menanyakannya pada Wisesa atau Sunyi." Lanjutnya. Karya mengembuskan napas berat. Bumi mengerang kesal. Kenapa akhir-akhir ini masalah seolah tidak mau menjauhi mereka?! Bahkan ini baru minggu ketiga setelah mereka menjabat sebagai pengurus asrama dan masalah yang mereka hadapi... seolah tidak ada habisnya.

"Apa kita harus memedulikan surat ini, Put? Maksudku mungkin ini hanya iseng saja." Hujan membuka suara. Sang pengamat menatap tulisan di dalam kertas sebelum akhirnya kembali memberikan atensinya pada dua orang yang duduk bersampingan. Aksatriya mendesah pelan. Menoleh pada Putih yang luar biasa tenang padahal Aksatriya sendiri tahu apa yang dialami sang Ketua dua hari lalu setelah para siswa sekolah semakin memberikan respek pada pengurus asrama terutama pada Putih.

"Aku tidak akan memberitahukan kalian kalau hanya ini saja yang Putih terima, Jan. Masalahnya--" Sebelah tangan Aksatriya digenggam erat. Gadis berkerudung itu tersenyum samar. Menggelengkan kepala pelan. Diam. Tidak ada yang bicara. Sebelum siapa pun menyadarinya, Karang berjalan mendekat. Dengan gerakan cepat mengambil sebelah tangan Putih. Menyingkapkan lengan baju panjang gadis itu dan mendesah kasar saat mendapati memar di tangannya. Sebelah tangan Karang terkepal erat. Matanya menyorot tajam. Menusuk. Anggota ketertiban asrama lain sedikit menjauh saat menyadari keadaan Karang yang mengerikan. Karang marah. Hanya Karya yang tetap bertahan. Duduk di tempatnya sedia kala. Tidak bergeming sedikit pun.

"Siapa yang melakukannya?" Desis gadis itu tajam. Hawa dingin tiba-tiba saja merasuki tubuh para pengurus asrama. Menusuk bahkan hingga ruas tulang mereka. Putih menelan ludah gugup. Gadis itu tersenyum tulus. Menggeleng kecil. Sebelah tangannya yang bebas terangkat dan mengusap lembut tangan Karang di tangannya. Tenang luar biasa. Putih seolah tidak kehilangan ketenangan meski aura intimidasi juga tekanan yang luar biasa menguar dari sosok di hadapannya.

"Tidak apa-apa Rang. Ini bukan--"

"Kau tahu Put? Aku paling tidak suka diusik." Tidak ada yang bersuara. Semua orang dalam ruangan itu tertegun kaget. Suara Karang berubah. Raut wajahnya.... Putih menelan ludah susah payah. Dia...

"Rang, kita bicarakan baik-baik, ok?" Kali ini suara Karya yang terdengar. Gadis itu melepaskan pegangan tangan Karang ditangan Putih. Menarik Karang kembali duduk. Jujur saja Karang saat ini... terasa sangat mengerikan. Mereka belum pernah melihat Karang yang seperti ini. Terlebih... cara bicaranya pun sedikit berbeda.

"Aksatriya, kau tahu kan apa yang terjadi?" Sekarang giliran Aksatriya yang berjengit kaget. Tidak pernah ada yang memanggilnya dengan nama selengkap itu di dalam ruangan ini selain Hujan yang sedang marah. Bahkan Karang sekali pun memanggilnya Tri meski Karang sedang marah. Bukan Aksatriya. Kerongkongannya tercekat. Dia tidak bisa berkata-kata.

"Karang, kamu bisa tenang sedikit? Kami tertekan jika kamu seperti ini," Suara lembut itu mengalun damai. Naksya tersenyum menenangkan. Bahkan gadis itu memanggil Karang dengan nama lengkapnya. Untuk beberapa saat Karang terdiam. Gadis itu mengerjapkan mata. Menatap Putih dan Aksatriya dengan tatapan menyesal. Karya mengerutkan kening. Tidak ada lagi aura seperti beberapa saat lalu. Ini kembali seperti biasa. Tak ubahnya Karang yang biasanya.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang