Karang mendesah pelan. Ini hari Minggu dan lebih banyak siswi yang menghabiskan hari libur mereka buat pulang dan hanya beberapa saja yang terjebak di asrama saat hari libur begini. Karang salah satu dari siswi tersebut. Sisanya? Siswi yang memang berasal dari daerah jauh hingga tidak memungkinkan mereka pulang sesuka hati. Mendesah kasar. Ini hari libur. Tidak ada banyak kegiatan yang bisa ia lakukan di asrama. Tanpa sadar kedua bola mata Karang menatap lapangan yang tak jauh dari asramanya. Beberapa siswa -yang tidak pulang tentunya- sedang berolahraga. Bermain basket, voli bahkan ada yang bermain sepak bola. Karang mendesah tanpa sadar. Entahlah. Sejak dulu dia sangat payah sekali dalam bidang olahraga, padahal ayahnya adalah seorang guru olahraga sedangkan Samudra... jangan tanyakan lagi. Samudra sangat berbakat dalam bidang olahraga manapun. Sungguh. Kecuali sepak bola sepertinya, karena Samudra selalu enggan saat diminta ikut bermain sepak bola. Sementara Karang? Rasanya satu-satunya olahraga yang Karang kuasai hanya bela diri. Tidak ada yang lainnya. Karang sungguh payah di bidang olahraga. Dan sekarang di sinilah ia berada. Berdiri kaku di lapangan umum dengan seorang siswi kelas sepuluh yang menggunakan kursi roda. Lapangan yang bisa digunakan siswi asrama putri maupun siswa asrama putra.
Beberapa siswa yang juga sepertinya tidak pulang sedang menghabiskan waktu mereka untuk berolahraga. Jangan tanyakan lagi. Rasanya Karang seperti pengamat saat itu. Berdiri bersama juniornya di antara siswa lain yang tengah berolahraga. Dengan gemas gadis remaja itu menatap arloji di pergelangan tangan. Mendesah kasar saat menyadari jika Bumi terlambat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Tanpa sadar Karang menggeram tertahan. Sungguh. Karang amat teramat tidak suka menunggu. Membuat seorang Karang menunggu sama saja dengan bunuh diri. Siapa pun tahu hal itu. Karang tidak suka menunggu dan tentu dia juga tidak suka membuat seseorang menunggunya. Kecuali Samudra dan Sangkala sepertinya. Sosok berkursi roda yang berada di samping Karang menelan ludah susah payah. Menunjukkan ekspresi tidak enak saat menyadari hawa dari sampingnya mulai menegang. Sama seperti beberapa siswa yang menyadari raut tegang Karang -meski tidak Karang sadari- bergerak menjauh secara teratur. Mereka lebih memilih memutar jalan daripada harus berjalan melewati Karang saat itu. Diam-diam mendoakan keselamatan salah satu siswi yang berada di samping Karang saat itu.
Bumi berjalan cepat. Nyaris berlari. Tersenyum kaku saat sampai di hadapan sang Ketua Ketertiban. Sebelah tangan digunakan buat menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Berusaha keras menghadapi Karang yang mulai terlihat kesal. Padahal Karang jarang kesal padanya.
"Sepuluh menit." kata gadis remaja itu tajam dan mendapat senyum kaku dari Bumi. Ah. Bumi meruntuki diri. Sungguh. Seharusnya sejak awal membuat Karang kesal merupakan pilihan terakhir. Bagi Bumi membuat Sadewa kesal berkali lipat lebih bisa ditolerir daripada membuat Karang yang kesal. Karang itu jarang marah dan kesal padanya. Maka dari itu membuat Karang kesal selalu menjadi sesuatu yang membuat Bumi merasa bersalah.
"Maafkan aku!" seru Bumi cepat sembari menangkupkan kedua tangannya di atas kepala dengan kepala tertunduk. "Tadi aku sedikit membantu Bu Len jadi sedikit terlambat--- hee... maksudku... itu... aku tadi... arrghh... Rang! Berhenti melihatku seperti itu! Baiklah, baiklah!! Aku tadi bertemu 'si hantu' dari ketertiban asrama putra dia membuatku penasaran." bahkan Karang belum mengatakan apa pun saat menyadari kebohongan yang diucapkan Bumi, namun Bumi tentu paham jika sorot mata yang Karang tunjukkan sudah lebih dari cukup sebagai peringatan jika dia tahu sedang dibohongi. Karang memang buka sosok yang pintar berbohong. Tapi membohongi Karang merupakan kesalahan besar. Dia bisa dengan mudah mengetahui jika seseorang sedang berbohong. Itulah kenapa banyak siswi pelanggar yang tidak bisa berbohong di hadapan Karang.
"Aku tidak akan ikut campur kalau sampai kamu berurusan dengan Ketua Asrama Putra." katanya datar. Sukses membuat Bumi melebarkan mata.
"Kejamnya~ Rang... kamu selalu ikut campur masalah anak asrama putri, kenapa giliranku kamu angkat tangan?!" Bumi nyaris berseru frustasi. Tentu saja dia tidak senaif itu. Berurusan dengan Ketua Asrama Putra bukan sesuatu yang baik. Dan menghadapinya tanpa bantuan Karang, Bumi tahu. Itu seperti misi bunuh diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Подростковая литература---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...