"Loh, bukannya malam ini bagian Karang yang patroli?" Bumi bertanya heran saat melihat Hujan dan Karya yang tengah bersiap melakukan patroli di sekeliling asrama putri. Salah satu tugas harian pengurus asrama yang dilakukan secara bergilir. Hujan diam. Daripada menjawab pertanyaan Bumi, Hujan lebih memilih menyeletingkan jaket tebalnya hingga leher. Karya menghela napas pelan. tahu jika Hujan tidak akan repot-repot menjelaskan alasannya, terlebih Bumi yang bertanya -itu akan sangat panjang- maka Karya tidak punya pilihan selain menjawab secara rinci dan segera pergi sebelum Bumi membombardir nya dengan pertanyaan lain-yang tentunya akan sangat merepotkan.
"Karang tidur. Sepertinya anemianya semakin parah. Dia diam di atas kasur sejak sore. Ayo Jan, kita harus pergi sekarang."
Bumi mendesah kasar. Hujan dan Karya sudah pergi. Dan lagi. Jawaban macam apa yang dikatakan Karya barusan?!! Jelas-jelas Karang tidak pernah sudi menukar jadwal patrolinya hanya karena alasan anemianya kambuh. Mustahil. Jangankan jadwal Karang sendiri, Karang tidak punya jadwal saja dia tetap selalu ikut saat pengurus asrama lain berpatroli. Karang tidak pernah tidak ikut. Ini sungguhan aneh. Pasti ada yang terjadi. Bumi menghela napas berat. Melangkah cepat memasuki kamar dan berjalan menuju kasur Karang yang ada di atas kasur Karya. Benar saja. Karang berbaring di atas kasurnya dengan selimut yang menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya. Rasanya Bumi ingin ngakak saja saat melihat Karang seperti buntalan lemper. Tinggal diberikan tali di tengahnya, tanpa sadar Bumi terkikik geli.
"Mi, jangan ganggu Karang." Suara tenang Putih membuat Bumi dengan cepat membungkam mulutnya. Tanpa sadar Bumi menepuk jidatnya cukup keras. Ya ampun! Dia datang bukan buat membahas dan menertawakan Karang yang seperti.....ah. Lupakan. Mengingatnya saja sudah membuat Bumi ingin kembali tertawa. Bumi mengembuskan napas pelan. Lompat dengan perlahan dari tangga ranjang Karang dan berjalan mendekati Putih dan Naksya yang sedang sibuk mengerjakan tugas mereka. Bumi selalu takjub pada semangat belajar Putih dan Naksya yang sangat gila. Bahkan menurut Bumi, cara mereka berdua belajar sudah tidak bisa di masukkan ke dalam nalar manusia lagi. Terlalu tekun bahkan saat mereka tahu jika baik Putih maupun Naksya punya otak yang encer.
"Karang sakit?" Tanya Bumi pelan. Masa bodoh jika dia mengganggu belajar Putih dan Naksya. Menurut Bumi, sesekali Putih dan Naksya itu harus dijauhkan dari buku pelajaran. Mereka berdua butuh menjernihkan otak dari semua rumus dan entah apa lagi yang menempeli mereka seperti parasit. Oh. Bumi jadi ngeri sendiri membayangkannya.
Naksya dan Putih menghela napas pelan. Menutup buku PR mereka dan meletakkan bolpoin di atas meja belajar. Mereka tahu jika sesi belajar mereka tidak akan berjalan saat Bumi sudah bertanya.
"Sepertinya anemia Karang tambah parah. Dari ba'da asar Karang seperti tidak bersemangat." Naksya membuka suara. Tangannya memasukkan buku pelajaran ke dalam tasnya. Persiapan buat besok pagi masuk sekolah agar ia tidak perlu repot lagi.
"Sejak sore?" Bumi membeo. Keningnya berkerut. Rasanya sore tadi Karang....
"Mi," Panggil Putih, lembut. Tersenyum penuh makna. "Apa pun yang ada di kepalamu, segera batalkan itu. Kamu tidak lupa kan bagaimana Karang saat terakhir kali marah?" Suara Putih mendayu begitu lembut. Bagai untaian lagu pengiring tidur. Menghanyutkan. Tapi Bumi tahu. Putih tidak bermain-main.
Bumi terkekeh salah tingkah. Oh tentu saja Bumi masih ingat, ralat, tapi masih sangat ingat bagaimana Karang saat marah. Dan itu... lupakan. Bumi tidak mau membayangkan wajah Karang yang... arrgghhh!!!! Bumi tidak mau mengatakannya.
"Roger Bu Ketua! Saya tidak akan melakukan apa pun!" Sahutnya dengan semangat menggebu. Berlebihan. Terlihat begitu kekanakan. Putih dan Naksya tertawa pelan. Bumi memang selalu menjadi mood booster paling ampuh di pengurus asrama. Sikap Bumi yang santai dan sangat supel juga sedikit konyol oh dan satu lagi. Bumi setengah gila. Selalu berhasil memecahkan ketegangan dalam pengurus asrama. Tapi, Bumi juga merupakan pengurus asrama yang paling peka terhadap mereka. Dia selalu bisa mengetahui ada yang ganjil di antara pengurus asrama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Fiksi Remaja---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...