Nakula mengernyitkan kening saat mendapati sosok tak asing berdiri di hadapannya. Sosok yang bahkan tidak pernah dia harapkan bisa menemuinya secara langsung. Sudah tiga hari sejak Rengganis tidak masuk sekolah dengan alasan sakit, dan sebagai keluarga terdekat Rengganis -Nakula dan Sadewa menganggap Rengganis adik mereka- mereka tentu saja mengajukan surat izin memasuki asrama putri untuk melihat kondisi adik mereka. Meski hingga hari ini surat itu belum mendapat persetujuan dari Ketua Asrama Putri. Dan sekarang justru sosok Ketua Ketertiban Asrama Putri sendiri yang menemuinya secara langsung. Karang menatap Nakula lurus. Mereka sudah saling mengenal omong-omong karena berada di satu klub yang sama, Karate -meski sesungguhnya Nakula menjadi tutor bukan anggota- sedangkan dengan Sadewa, Karang tidak terlalu mengenalnya karena alih-alih berada di klub yang sama seperti Nakula, Sadewa berada di klub pramuka dan pecinta alam. Meski menurut Bumi walaupun Sadewa tidak terdaftar sebagai anggota klub bela diri, namun sama seperti Nakula. Sadewa juga sering dimintai menjadi tutor bagi klub silat maupun taekwondo. Tidak heran sih mengingat latar belakang keluarga mereka yang tak lain merupakan keluarga pemilik firma keamanan terkemuka.
"Aku menemuimu sebagai Ketua Ketertiban asrama putri, senpai." Terangnya setelah duduk berhadapan dengan Nakula.
Nakula tetap diam. Memang pembawaan pemuda itu diam dan tenang berbeda dengan Sangkala yang tegas dan keras. "Panggil saja Nakula. Kita tidak di klub." jika gadis yang berada di hadapan Nakula saat ini bukan Karang, bisa dipastikan dia akan terpaku saat Nakula membalas perkataannya dengan kata-kata, bukan anggukan kepala atau jawaban khas Nakula "hm." seperti biasanya.
Karang mengangguk singkat. Mengerti. Meski terlihat begitu tapi jelas Karang tahu pasti dibalik sikap diamnya, Nakula itu laki-laki yang baik. Sangat baik bahkan itulah kenapa... Karang merasa harus teramat berhati-hati saat menghadapi seseorang seperti Nakula marah. Karena sungguh. Marahnya orang pendiam dan baik hati itu tidak pernah bisa diprediksi.
"Pengurus asrama putri belum bisa membiarkanmu menemui Anis. Ada masalah serius di asrama putri, jika masalahnya selesai, aku berjanji akan memberikan izin segera."
Nakula menghela napas pendek. Kepalanya mengangguk singkat. Tanpa bicara langsung menyetujui ucapan Karang. Lagipula dia sendiri seorang pengurus asrama dan alasan masalah serius asrama sudah lebih dari cukup buatnya tidak banyak bertanya. Dan... karena Nakula tahu pasti jika Karang bukan sosok yang suka bercanda, maka dengan mudah pemuda itu memercayai ucapannya. Berbeda kasusnya jika Bumi yang mendatanginya dan bicara seperti itu. Kemungkinan besar Bumi hanya sedang menjahilinya. Nakula tentu tidak akan pernah lupa sejahil apa Bumi dan sesering apa Bumi membuat lelucon tidak berguna. Sebenarnya, mengenai keakraban Bumi dan kembarannya -Sadewa- sampai saat ini Nakula tidak tahu pasti penyebab saudara kembarnya bisa akrab dengan Bumi. Sadewa itu tegas. Bumi suka kebebasan. Sadewa tidak suka bercanda. Bumi nyaris tidak pernah serius. Dan fakta bahwa kedua sosok tersebut bisa berteman seakrab itu -Bumi satu-satunya anak perempuan yang tahan berlama-lama menghadapi Sadewa selain Rengganis- sungguh membuat siapa pun tidak pernah menyangka.
"Karang," suara itu terdengar damai. Pembawaan Nakula memang selalu begitu, nyaris mirip dengan Yudha, meski Karang tahu pasti jika Yudha mana mau berada di dalam ruang kelas hanya berdua saja dengan seorang perempuan. Menoleh. Karang menatap pemuda di hadapannya datar. Menunggu. Dalam hati gadis itu terus berdoa jika Nakula sama sekali tidak mencurigai ucapannya barusan. Karang tidak akan pernah lupa fakta bahwa dirinya payah sekali dalam berbohong -dan tidak akan lupa jika sosok lain dalam dirinya justru pandai sekali berbohong-
"Terima kasih selalu membantu Anis." lanjutnya. Suaranya tulus. Tidak ada sedikit pun sindiran atau motif dari ucapannya.
Karang tertegun beberapa saat. Matanya mengerjap sebelum akhirnya mengembuskan napas pelan. Ucapan itu... dibandingkan membuat Karang senang, justru... semakin menyengatkan nyeri dalam dirinya karena gagal melindungi salah satu tanggung jawabnya. Tanpa sadar kedua tangan gadis itu mengepal keras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Fiksi Remaja---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...