Gaung itu memekakan telinga. Menelusup bahkan hingga perlahan merobek kulit sebelum akhirnya berderap menikam jantung. Tidak ada keputusan yang lebih menyebalkan dari semua kegilaan ini. Karena sejak awal.... semesta memang seolah tidak pernah membiarkan dia bisa bertahan tanpa harus kembali melangkah. Tidak punya pilihan. Mungkin nanti jika sudah saatnya tiba, dia bisa melakukan sedikit konfrontasi. Menanyakan perihal semesta yang tidak pernah berbaik hati. Perguruan Swargaloka terasa lebih lengang dari hari biasanya. Ini hari biasa dan seharusnya para murid dan guru berseliweran di area sekolah. Melakukan kegiatan belajar mengajar seperti seharusnya. Tapi tidak untuk hari ini. Sekolah diliburkan pagi tadi tepat saat para murid sudah berada di dalam kelas. Bersamaan dengan bel masuk sekolah. Pemberitaan dadakan. Memecah kebingungan dan kekhawatiran. Tidak salah lagi. Kejadian seperti ini hanya menandakan satu hal pasti. Rapat seluruh jajaran dewan guru yang berurusan langsung dengan siswa. Guru wali kelas, guru wali asrama, guru BK, guru kesiswaan dan Kepala Sekolah. Ada sesuatu yang terjadi. Itu sudah pasti. Dan mengingat kejadian sehari lalu, di mana Fara ditemukan terjatuh dari atas tangga dengan satu sosok lain di lantai atas menjadi sebuah konklusi yang bisa mereka perkirakan.
Kejadian kemarin tentu saja tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kejadian itu nyaris membuat salah satu murid celaka dan bahkan terancam kehilangan nyawa. Maka tidak heran jika pihak berwenang dari sekolah sampai turun tangan. Terlebih Fara merupakan siswi kelas sepuluh dengan ranking tertinggi dan pemilik beasiswa penuh untuk angkatannya. Kontribusi Fara meski masih berada di tahun pertamanya juga sudah terlihat jelas. Semakin mengharumkan nama Perguruan Swargaloka. Meski bagi Perguruan Swargaloka semua itu tidak ada bedanya dengan murid biasa lainnya. Tekanan pada Karang semakin terasa kuat. Kemarin sebuah petisi terkumpul dan ditandatangani oleh nyaris setengah siswa dari jumlah keseluruhan. Petisi berisi pengeluaran Karang secara tidak hormat dari Swargaloka. Cara paling 'halus' dari balas dendam banyaknya murid yang pernah berurusan dengan Karang. Menyingkirkan Karang dan membuat nama baik Karang tercoreng dari sejarah Swargaloka mengingat selama sejarah Swargaloka hanya Karang satu-satunya pengurus asrama yang diturunkan dari jabatan Ketua Ketertiban Asrama. Dan membuat Karang dikeluarkan dari sekolah tentu saja akan menambah kesan buruk pada namanya selama dia berada di Swargaloka. Terlebih kejadian kemarin seolah sengaja menambah daftar kegusaran para siswa pada sosok itu. Karang sudah menyebabkan seorang siswi celaka. Mereka menyimpulkannya tanpa bukti. Ah lebih tepatnya mengembuskan berita tanpa bukti. Sanksi sosial tentu saja akan membuat gadis itu semakin tertekan. Tidak peduli seperti apa kebenaran dari kejadian tersebut. Hanya karena Karang ada di lantai atas di mana Fara jatuh, emosi mereka dengan dangkal mengatakan jika Karang sengaja mendorong Fara dari tangga. Sementara nama Badai dibiarkan begitu saja. Well, tidak ada yang cukup berani membuat masalah pada Badai. Mereka seolah menutup mata atas keberadaan Badai di tempat yang sama di mana Karang berada. Lagipula Badai tidak memiliki keuntungan dari mencelakai salah satu siswi.
Omong-omong soal kejadian kemarin, para pengurus asrama dan OSIS sudah mendapatkan rekaman CCTV yang ada di dekat tangga tempat Fara jatuh. Dan sesuai yang mereka perkirakan. Karang sama sekali tidak pernah mendorong Fara hingga jatuh dari tangga, tapi kebenaran atas apa yang terjadi di tempat itu membuat mereka bungkam. Menatap tak percaya layar komputer tempat mereka melihat rekaman CCTV dari ruang OSIS. Naksya tidak hadir. Dia demam parah semalam. Kemungkinan terlalu shock melihat kejadian yang terjadi antara Karang dan Badai kemarin, dan terlalu shock saat mendapati petisi yang nyaris ditandatangani setengah siswa Swargaloka. Bumi dicengkeram oleh Sadewa. Kedua tangan gadis mungil itu sengaja dicengkeram tangan Sadewa mengingat mereka tidak tega jika harus mengikat Bumi, namun alih-alih berjalan seperti itu, karena lagi-lagi Bumi mengamuk dan terus berteriak, Hujan dengan ekspresi datarnya memasukkan sebungkus roti berukuran cukup besar pada mulut Bumi. Hingga mulut gadis itu dipenuhi roti dan tidak bisa berkutik selain diam.Badai tidak ada di sana. Pagi-pagi sekali Badai bahkan sudah tidak berada di kamarnya. Menurut pengakuan Anggaraka, Badai sedang pergi menemui Ketua Asrama Putra yang sekaligus Ketua OSIS terdahulu. Siswa kelas dua belas. Banyu. Entah untuk alasan apa. Sementara ketidakhadiran Samudra di tempat itu tidak diketahui alasannya oleh sosok lain mengingat Sangkala tetap bungkam saat ditanya perihal ketidakhadiran Samudra dalam pembuktian CCTV atas kejadian kemarin. Sangkala bungkam. Tidak bicara bahkan nyaris tidak berekspresi sama sekali saat melihat reka ulang kejadian yang terekam lewat kamera CCTV.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmarandana
Fiksi Remaja---Seri Pupuh--- Dua remaja itu seperti gunung es abadi. Kokoh dan utuh seolah tidak membiarkan siapa pun buat menyentuh mereka. Mereka tahu itu. Tidak ada benci, karena mereka berdua sama-sama terlalu lelah bahkan buat membenci orang lain. Dan tan...