3. Tersangka

125 15 4
                                    

Kabar menyebar bahkan lebih cepat daripada angin berembus saat hujan turun., Kabar mengenai latih tanding antar pengurus asrama putra dan putri segera merebak cepat dikalangan murid Swargaloka. Merebak cepat seperti jamur yang tumbuh subur di musim hujan. Tidak ada yang tahu jika hal itu hanya kamuflase semata dari tujuan utama pertandingan tersebut dilakukan selain beberapa anggota pengurus asrama tentunya. Badai dan Karang kembali bersikap seperti biasa. Saling mengabaikan satu sama lain.

Hari ini Karang mendapat bagian piket kelas hingga ia harus bertahan lebih lama di sekolah sambil melakukan tugasnya. Beberapa teman sekelasnya yang piket sudah menyelesaikan tugas masing-masing. Tinggal Karang yang kebagian tugas membuang sampah. Gadis remaja itu berjalan melewati koridor sekolah yang sudah sangat lengang. Hampir tidak ada siswa yang tersisa di sana. Mungkin hanya beberapa yang bertahan di sekolah demi kegiatan ekskul. Mengabaikan sekitarnya, Karang terus berjalan menuju tempat pembuangan sampah. Segera menyelesaikan tugasnya dan kembali berjalan menuju kelas untuk menyimpan tempat sampah dan mengambil tas.  Keluar dari kelas, Karang mengerutkan kening saat mendengar suara benturan cukup keras. Penasaran, gadis remaja itu berjalan menuju asal suara penuh waspada. Namun, setelah beberapa langkah dan sampai di salah satu koridor kosong, Karang tertegun. Mengembuskan napas pelan. Karang menatap tanpa minat dua anak laki-laki yang tengah saling menghajar. Ralat. Satu anak laki-laki yang menghajar habis rekannya. Dan detik itu juga Karang sudah mendapatkan jawaban dari mana suara tadi berasal. Sosok itu -anak laki-laki yang menghajar habis-habisan anak laki-laki satunya- tanpa sengaja menoleh. Menatap seorang gadis bertubuh pendek yang berdiri tak jauh darinya.

"Mendapat tontonan gratis?" Tanya sosok itu datar. Tanpa perasaan menghempaskan tubuh yang sudah babak belur itu hingga membentur tembok.

Napas diembuskan pelan. Gadis remaja itu perlahan mengendikkan bahu. Tak peduli. Sementara anak laki-laki yang sudah babak belur itu menatapnya dengan sorot mata penuh permohonan. Memohon untuk membantunya terlepas dari Badai. "Kukira ada maling yang menyelinap masuk, jadi aku mencari sumber suara. Ah, jika kau sedang bersenang-senang, Ketua, jangan lupa selesaikan urusanmu tanpa sisa." Sahutnya tanpa intonasi. Mengembuskan napas pelan. Sebelum akhirnya berbalik badan dan kembali melangkah pergi. "Oh iya, sepertinya kau akan mendapat masalah kalau membiarkan OSIS melihat hasil karyamu. Kusarankan kau mengobatinya segera." Karang kembali membuka suara sebelum akhirnya berbalik pergi. Meninggalkan dua anak lelaki yang masih terdiam menatap kepergiannya.

Karang tahu jika ia tidak bisa ikut campur akan hal itu. Memergoki Badai yang tengah menghajar habis seorang siswa tentu saja bukan pemandangan yang bagus. Tapi Karang tidak bisa ikut campur. Walau bagaimanapun, sebagai seorang Ketua Asrama Putra, Karang tahu jika Badai tidak akan semena-mena menghajar siswa tanpa alasan. Entahlah. Karang tidak peduli lagi. Gadis itu segera berjalan pergi. Meninggalkan dua anak laki-laki tersebut.

Badai tersenyum miring. Entah bagaimana, melihat Karang yang tidak seenaknya mencampuri urusannya dan memilih pergi begitu saja sudah cukup membuatnya sedikit terhibur. Meski sindiran yang dilontarkan bocah itu cukup tajam. Tapi tunggu. Remaja itu tersenyum tipis saat mengingat cara anak kecil tadi memanggilnya. Bocah itu memanggilnya dengan sebutan 'Ketua' tanpa menyebutkan namanya. Lagipula... sejak pertemuan mereka malam itu, Karang memang tidak pernah memanggil namanya. Sama seperti Badai yang juga belum sekali pun memanggil Karang dengan menyebutkan nama gadis itu.

"Ini jadi semakin menarik." Gumamnya pelan sambil memamerkan sebuah senyum yang teramat samar. "Berterima Kasihlah pada bocah tadi., setidaknya aku tidak jadi mematahkan tulang belulangmu." Kata Badai dingin sambil menyoroti mata bengkak -akibat tinjunya- si siswa. Badai mendesah kasar. Mengeluarkan sebungkus rokok yang baru saja ia sita lalu menginjaknya dengan kasar hingga rokok di dalamnya hancur tak berbentuk.

.

.

.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang