34. Makan Siang.

71 8 2
                                    

Minggu pagi di asrama terasa lebih hening dari biasanya. Tidak heran sih mengingat sebagian besar murid Swargaloka pulang saat hari Jum'at sore dan kembali pada Senin pagi sebelum bel masuk berbunyi, hingga yang tersisa hanya para murid yang berasal dari daerah jauh dan tidak memungkinkan mereka untuk pulang dengan waktu sesingkat itu. Dan lain halnya dengan pengurus asrama baik pengurus asrama putra maupun asrama putri. Mereka terpaksa tinggal di asrama untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi seminggu lalu. Mencari celah yang memungkinkan terjadinya penggunaan narkoba di kalangan murid Swargaloka. Berbeda halnya dengan pengurus OSIS yang mana tugas mereka mengontrol seluruh murid Swargaloka, pengurus OSIS -Ketua, Wakil dan bagian ketertiban- keluar asrama Minggu itu. Mengurusi rehabilitasi untuk kelima siswa yang terbukti memakai narkoba.

Sementara para pengurus asrama sibuk oleh berbagai macam laporan yang harus mereka susun mengenai kasus minggu lalu, Karang tengah bersedekap menatap kalender di dinding kamarnya. Dia melupakan satu hal. Dan kala satu hal itu terlintas cepat di kepalanya, Karang bergegas mengganti kaus sesikutnya dengan sebuah kemeja berlengan pendek sebelum akhirnya mengambil cepat topi buat menutupi kepala. Karang sedang malas diperhatikan dan merasa dilihat saat dia berjalan. Tas selempang sedang sudah tergantung di pundaknya. Dia tidak perlu izin kepada pengurus asrama putri untuk keluar mengingat Karang hanya bisa mendapatkan izin dari wali asramanya saja, selain itu saat hari libur mereka bebas keluar asrama dan harus kembali sebelum jam malam tiba. Kecuali mereka membuat surat menginap pada pengurus asrama atau pada wali asrama -berlaku untuk murid Swargaloka yang berasal dari daerah jauh- bergerak cepat. Karang dengan cepat melewati gerbang Swargaloka. 

Menghela napas lega kala mendapati bus sekolah yang masih belum berangkat. Tak banyak siswa di dalam bus. Mungkin hanya satu dua. Dan Karang memilih duduk di kursi samping jendela. mengangguk aopan kala sopir bus yang sudah ia kenal menyapanya.

Hingga bus berhenti dan remaja itu turun dengan cepat di halte kota. Berjalan dengan langkah lebar, Karang segera memasuki toko buku.  Buku baru dari penulis favoritnya sudah rilis sejak seminggu lalu dan tidak akan pernah menyia-nyiakan uang yang sudah ditabungnya. Tentu saja. Dia akan membeli buku itu. Mata si gadis tanpa sadar menatap sebuah buku dari rak sebrang tempat ia mengambil buku, mata mengerjap, tanpa sadar tangannya bergerak mengambil buku tersebut. Napasnya seolah terhenti.

Mengenal Berbagai Gangguan Mental. Sebuah buku Pisikologi. Gumamnya dalam hati. Buku pisikologi yang entah kenapa bisa sampai nyasar ke tempat rak buku fiksi. Tapi tak ayal tangannya menggenggam erat buku tersebut. Napas ia hela perlahan. Tangan kembali membalik si buku untuk melihat harga dari bukunya. Pada akhirnya napas keras ia embuskan. Terlalu mahal. Uang dalam dompetnya tidak cukup untuk membeli dua buku itu secara bersamaan. Mata menatap ragu dua buku di tangan. Rasanya... Karang kesal untuk alasan yang tidak jelas. Ah andai saja dia mengajak Samudra atau Sangkala mungkin kondisinya tidak akan seperti itu mengingat Samudra merupakan tipe yang nyaris detail dan penuh persiapan. Samudra selalu sengaja membawa uang lebih saat keluar rumah dengan alasan untuk berjaga-jaga, selain itu Samudra juga nyaris tidak pernah lupa membawa kartu debit ke mana pun dia pergi. Berbeda dengan Karang yang selalu simpel. Karang hanya akan membawa uang secukupnya. Kartu debit remaja itu bahkan sengaja ia titipkan pada Samudra mengingat dia selalu lupa menyimpan kartu tersebut, ah dalam beberapa kondisi Karang juga pernah melupakan dompetnya saat pergi keluar. Karang mengerjap. Tunggu dulu. Tunggu dulu. Dia meringis kala menyadari satu hal yang kembali membuatnya meruntuki diri. Dia lupa mengabari Samudra akan meninggalkan asrama hari ini. Tangan itu bergerak cepat membuka tas selempangnya. Mencari sebuah benda persegi--- dan sialnya benda itu juga tidak ada dalam tasnya. Karang sungguhan tidak bisa berkutik sekarang. Sambil meringis dan meruntuki kecerobohannya yang lain, Karang berjalan menuju kasir dengan satu buku. Menyerahkan bukunya pada petugas kasir. Sang petugas segera menyebutkan nominal yang harus ia bayar sementara Karang mencari sesuatu dalam tas selempangnya. Kening berkerut kala tak mendapati benda yang ia cari. Sebelah alis sang petugas kasir terangkat tinggi kala melihat gelagat remaja di hadapannya. Karang meringis. Bagus sekali. Dia melupakan dompetnya.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang