5. Kasus

101 13 4
                                    

Wisesa berjalan dengan langkah yang teramat ringan. Wajahnya terlihat begitu cerah, berbeda dengan raut wajah yang ditunjukkannya akhir-akhir ini. Sang Ketua OSIS bahkan sesekali bersiul ringan. Menunjukkan betapa baik kondisi mood nya hari ini. Pintu ruang OSIS terbuka. Wisesa melangkah masuk. Tersenyum lebar saat mendapati Bara yang tengah berkutat dengan komputer. Mengerjakan berbagai macam hal selayaknya seorang sekertaris. Bara hanya menoleh sekilas saat pintu terbuka, lalu kembali sibuk oleh layar komputer di hadapannya. Sama sekali tidak memedulikan raut wajah ganjil yang diperlihatkan Wisesa pagi itu.

"Kamu kelihatan senang sekali, Sa?" Wisesa menoleh dan tersenyum lebar saat matanya berhadapan langsung dengan mata cemerlang Sunyi.

"Tentu saja Nyi. Kita sudah mendapatkan kekuatan tidak terbantahkan." Jawabnya penuh semangat. Sunyi -Wakil Ketua OSIS- menaikkan sebelah alis. Menatap Wisesa tidak mengerti. Dengan suara penuh semangat Wisesa tentu saja membuat Sunyi dan Bara heran, mengingat sudah hampir dua minggu lamanya Wisesa uring-uringan karena tidak pernah berhasil membujuk Karang –memaksa- untuk bekerja sama dengannya, dan pagi itu entah bagaimana kondisi Wisesa berubah sangat cepat.

"Kamu berhasil membujuk Karang?" Tanya Sunyi mulai penasaran.

Wisesa menggeleng keras. Tersenyum lebar. "Tidak. Karang susah sekali ditaklukkan." Jawabnya ringan meski dalam hati ia masih sangat enggan menyebutkan nama si Ketua Ketertiban asrama putri tersebut.

"Lalu?" Nada suara Sunyi terdengar penuh keheranan. Pasalnya, yang membuat Wisesa nyaris stress beberapa saat ini adalah masalah Karang yang tidak mau diajak bekerja sama. Dan perbedaan Wisesa hari ini, ia kira ada hubungannya dengan Karang, tapi ternyata bukan.

"Lebih dari itu. Badai akhirnya mengakui kalau dia masuk kepengurusan OSIS." Jawab Wisesa bersemangat.

Seketika bolpoin yang digunakan Sunyi untuk mengoreksi beberapa proposal, terjatuh dari genggamannya, menggelinding di lantai. Gadis itu mengerjapkan mata tidak percaya. Bagaimana mengatakannya? Sunyi merasa senang sekaligus... ngeri? Ayolah. Siapa pun di Perguruan Swargaloka tahu orang seperti apa Badai dan bagaimana sepak terjang si Ketua Asrama itu. Dan mendapati kabar jika satu monster Perguruan Swargaloka akan menjadi bagian dari pengurus OSIS membuat Sunyi merasa... ngeri... Di satu pihak OSIS memang akan mendapatkan kekuatan penuh saat berhasil membawa Badai menjadi salah seorang pengurus. Terlebih hampir semua siswa di Perguruan Swargaloka takluk pada Badai. Tanpa Badai melakukan apa pun hampir tidak ada yang berani menentangnya. Apalagi jika Badai sudah bertindak. Itu... benar-benar mimpi buruk. Tapi., dengan menjadikan Badai sebagai bagian dari OSIS tentu saja seperti memegang pisau bermata dua. Di satu sisi bisa melindungi dan di sisi lainnya bisa ikut menikam balik. Badai itu selalu bertingkah seenaknya. Main hajar seenaknya tanpa peduli. Badai tidak suka banyak bicara tapi tatapan mata Badai seolah bisa membunuh siapa pun yang hendak menentangnya. Badai itu... mengerikan. Sunyi menelan ludah susah payah. Entah mengapa hari ini Sunyi seperti meragukan kewarasan otak Wisesa yang biasanya selalu bisa berpikir jernih dan memutuskan perkara dengan sangat cepat. Gadis remaja itu mulai menolehkan kepalanya. Menatap Bara yang juga memerhatikan Wisesa. Matanya menatap Bara penuh permohonan.

"Secepat itu dia menyetujuinya?" Bara bertanya, sangsi.

Wisesa terdiam beberapa saat. Seolah kembali memutar kejadian yang dialaminya di asrama kemarin sore. Lalu sebuah senyum lagi-lagi merekah di wajah Wisesa. Remaja itu mengangguk pelan. "Ya. Dengan sedikit bantuan Samudra." Jawabnya tenang.

Bara mengembuskan napas pelan. Mengangguk kecil sebelum akhirnya kembali menekuni layar komputer di hadapannya. Mengabaikan tatapan penuh permohonan Sunyi. Sementara Sunyi masih diam dengan perasaan ngeri. Sungguhan. Karang jelas berkali lipat lebih baik daripada Badai. Karang tidak pernah bertindak seenaknya. Karang juga tidak pernah benar-benar menyakiti seorang siswi secara fisik. Sedangkan Badai, tidak peduli siapa pun, jika seseorang mengganggunya maka dia tidak segan-segan melakukan kekerasan pada pelakunya.

"Sa, kamu tidak bisa mengajak Karang saja, alih-alih memasukkan Badai?!" Erang si Wakil Ketua, frustasi. Sunyi tidak bisa membayangkan akan sering bertemu dengan Badai. Sungguhan. Meski hanya berpapasan, Sunyi rasanya mau tenggelam saja. Dia tidak tahan dengan tatapan dingin dan aura mencekam yang seolah menguar dari dalam diri Badai.

"Sudah kubilang," Wisesa menjeda ucapannya. "Karang susah ditaklukkan." Lanjutnya datar. Penuh penekanan.  Dan detik itu juga ruangan OSIS berisik oleh erangan frustasi Sunyi.

.

.

.

Karang lagi-lagi menelungkupkan wajahnya di atas meja. Ia ngantuk sekali. Karang bahkan tidak ingat kapan bel berbunyi saat kelas sudah sepi. Dengan malas gadis remaja itu memasukkan buku ke dalam tas. Mencangkolkannya di satu bahu lalu berjalan malas. Dia memang selalu menjadi siswa kelas yang keluar paling akhir. Karang hanya akan keluar setelah semua teman-teman sekelasnya pergi. Malas berurusan dengan mereka. Dengan wajah menahan kantuk luar biasa, Karang berjalan menuju perpustakaan sekolah. Salah satu fasilitas sekolah yang akan tetap buka setelah jam sekolah berakhir. Dia ingin menumpang tidur. Langkah Karang terhenti saat melihat dua orang yang bertindak mencurigakan. Mata gadis itu memincing saat melihat interaksi dua orang tersebut. Lalu, matanya membola dengan sempurna saat melihat apa yang diberikan satu siswa pada siswi yang ada di hadapannya. Melangkah gusar. Karang berjalan mendekati dua orang tersebut. Merampas bungkusan di tangan si siswa yang akan ia serahkan. Kedua orang itu mendelik marah saat kegiatan mereka tiba-tiba diganggu, namun bungkam tanpa suara saat melihat siapa orang yang mengganggu kegiatan mereka. Elena -nama yang tertulis di seragam si siswi- menelan ludah susah payah saat melihat raut wajah keruh Karang. Sementara Ginanjar -nama si siswa-menahan napas susah payah saat Karang justru menatapnya dengan tatapan membunuh.

"Ka-kau tidak bisa menghajarku... ini di sekolah!" Meski dengan terbata, Ginanjar membuka suaranya. Dia masih saja bersikap arogan.

Karang tersenyum miring. Sebelah tangannya mengambil ponsel dari saku celana seragam, menghubungi seseorang. "Aku memang tidak akan menghajarmu," Karang berkata datar. Gadis itu jauh lebih pendek daripada Ginanjar, namun Karang tidak pernah takut. Mendongakkan kepala, Karang mencengkeram dasi sekolah yang masih dikenakan Ginanjar hingga siswa itu menunduk dengan terpaksa. Tarikan di dasinya teramat keras. "Tapi, kau akan sangat berterima kasih padaku karena yang datang kemari Wisesa, bukan Karaya." Sambungnya dengan senyum miring yang memberikan kengerian luar biasa. Tak beberapa lama kemudian, Wisesa datang tergesa. Berjalan dengan diikuti satu sosok yang bahkan membuat Ginanjar memilih bumi menelannya detik itu juga.
"Dan kau, Len," Karang menatap siswi yang sudah gemetaran di hadapannya. "Kupastikan kita bertemu lagi di asrama setelah ini." Katanya dingin.

Karang melemparkan bungkus rokok tepat ke arah Wisesa saat remaja itu sampai. Mengabaikan kehadiran sosok lain yang berjalan di belakang Wisesa. "Aku tidak punya kewenangan di sini. Tapi, Sa, akan jadi tanggung jawabku kalau sampai bungkus rokok sialan itu masuk ke dalam asrama putri." Suara itu terdengar tanpa intonasi. Wisesa diam setelah berhasil menangkap sebungkus rokok yang dilemparkan Karang begitu saja padanya.
"Aku minta rapat Pengurus siswa Swargaloka setelah ini!" Ucap Karang tak terbantahkan. Gadis itu menutup mulutnya dengan cepat saat lagi-lagi ia menguap.Ya ampun! Dia masih ngantuk rupanya. "Aku ngantuk. Kau urus sisanya. Ah. Jangan biarkan Karaya yang mengurus Elena. Dia bagianku." Kata Karang sebelum akhirnya berbalik pergi. Wisesa menatap shock kepergian Karang. Rapat Pengurus Siswa. Seharusnya dia memang melakukannya lebih cepat sebelum Karang sendiri yang memergoki 'transaksi' rokok di dalam sekolah.

"Rasanya aku ingin sedikit berolahraga." Suara tanpa intonasi itu membuat Ginanjar dan Elena berjengit ngeri.Wisesa mendesah kasar. Menatap Badai yang sudah bersuara. Remaja itu bahkan tidak menyela saat Karang bicara. Badai hanya diam. Tidak mengatakan apa pun. Membiarkan Karang menyelesaikan ucapannya. Dan Karang juga terlihat tidak peduli akan keberadaan Badai di sana. Padahal jelas-jelas Badai ada di belakangnya.

"Kalian ikut kami ke ruangan OSIS sebelum Pak Airlangga yang mengambil alih." Suara penuh ancaman Wisesa segera membuat dua tersangka itu mengangguk keras. Tidak mau berurusan dengan guru.
.

.

.

AsmarandanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang