[18] Disekap Berdua

1.1K 86 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Nata mengerang pelan, sekujur badannya pegal. Perlahan ia membuka kelopak matanya. Benda yang ia lihat pertama kali adalah bingkai pintu lalu kardus bertumpuk di ujung kanannya, kayu-kayu bekas perabotan rusak di sisi kirinya. Tempat ini kotor di lihat dari lantai keramik yang sudah menguning dan sampah bekas makanan yang berserakan. Sekali lagi Nata mengerang, sakit di kepalanya membuat ia harus memicingkan mata sebentar.

"Ahrgg!!" Lagi ia mengerang, bukan! Bukan Nata.

"Lo udah bangun?" suara serak khas terdengar dari belakang Nata. Ada pergerakan di belakang punggungnya, saat Nata hendak menoleh kebelakang yang ia lihat hanya rambut hitam orang itu yang bisa dipastikan kalau orang tersebut adalah laki-laki. "Lo siapa?" tanya Nata ragu. Ia agak menjaga jarak dari orang di balik punggungnya. Tapi itu sia-sia saja ikatan di tubuhnya menyatu dengan orang di belakangnya.

"Lo gak kenal gue lagi? Lo udah sadar kan?"

Nata mengernyit dengan ragu ia berucap. "Lo Fauzan?"

Fauzan mengangguk dan Nata merasakan dibalik punggungnya. "Iya, ini gue, gimana kepala lo? Masih sakit?"

"Iya." Keluh Nata memicingkan mata saat rasa sakit itu kembali menyergap. "Lo gimana?"

Fauzan menggelengkan kepala awalnya ingin berujar baik-baik saja karna ia ingin terlihat kuat di depan Sany namun, keadaan tak mendukungnya ia meringis sebentar ketika bibirnya berkedut nyeri. "Kemarin mereka mau bawa lo setelah di semprot pake chlorophyll spray, gue tadi baca dari stiker di botol dekat kaki lo." Nata melihat ke ujung kakinya, tergeletak sebotol chlorophyll spray yang disebut Fauzan barusan sudah kosong.

"Gue udah hadang mereka, tapi gimana ya. Gue semalem udah semaput ya jadi gini. Sorry, ya Nat. Andai aja gue...-"

"Stop Zan! Udah. Thanks lo udah mau nyelametin gue sampe lo malah tambah babak belur gini. Dan akhirnya lo ikut di sekap sama gue di sini. Tapi, gue lega karna gue gak sendiri. Gue gak tau bakal gimana kalo cuman gue sendiri di sini," ucap Nata dan sesekali terbatuk karna debu di sekitarnya, jujur saja kalau ia merasa lega karna ia bersama Fauzan disini, ia juga tak bisa membayangkan bagaimana kalau ia sendirian di sini.

"Mereka kenapa nyekap kita?" tanya Nata setelah hening beberapa saat. Ruangan ini benar-benar menyeramkan, tak ada cahaya yang masuk. Sepertinya tertutup pohon yang terlihat dari jendela kecil yang hampir menyentuh langit-langit di sisi kiri. Ada siluet deduanan di sana.

"Yang gue denger mereka di suruh sama Hans Farganda. Tapi, mungkin aja gue salah denger." Hening sejenak, Fauzan tampak meringis menahan sakit. Sekujur tubuhnya benar-benar penuh luka. Lebih parah dari yang semalam. "Tapi lo tenang aja, gue bakal bantu lo keluar."

"Terus lo? Gak, kita bakal bebas sama-sama Zan. Jangan ngomong gitu, lo mau gue puasa ngomong sama lo?" Fauzan menggeleng. "Mana bisa gue puasa ngomong sama lo, Ta," rengek Fauzan.

"Makanya jangan ngomong gitu!" sentak Nata kesal. "Sekarang yang harus kita pikirin, gimana caranya kita keluar?" Nata mulai mengedarkan pandangannya, mana tau ada celah tak terduga di ruangan ini. Pandangannya terhenti melihat ke jendela kecil di atas pintu, seperti pengganti ventilasi ada sesuatu yang tergantung di sana. Warna nya silver, berkilau saat terkena cahaya matahari yang berhasil lewat diantara pohon-pohon yang ada di luar. Tunggu, itu ternyata kunci.

"Zan, itu kuncinya Zan," bisik Nata pelan, takut kalau-kalau ada orang di luar yang mendengarnya. "Mana?" tanya Fauzan menoleh ke arah Nata.

"Di atas pintu, yah gimana dong," jawab Nata lesu. Ia baru ingat bahwa mereka masih terikat.

"Zan di deket lo ada benda tajam, gak?"

"Buat apaan? Lo mau bunuh diri?"

"Ye gak lah pe'a! Lo selama pacaran sama Mutia IQ lo turun kayaknya, ya buat buka ini tali!" sentak Nata kesal.

"Makanya kita pacaran lagi, biar IQ gue bisa naik," sahut Fauzan sembari terkekeh.

"Kampret! Gak usah bahas itu sekarang! Lo cari ada gak benda tajem deket lo? Di deket gue gak ada nih."

"Iya bentar." Fauzan mulai menajamkan penglihatannya, sinar matahari yang sempat masuk perlahan mulai menghilang. Sepertinya malam akan datang. "Ta, lo ikutin gue ya. Kalo gue maju lo mundur. Di ujung sana ada gunting. Mereka kayaknya baru nyekap orang, masa gunting aja di tinggal," ujar Fauzan memberi intruksi.

Mereka mulai melakukannya, Fauzan perlahan maju dan Nata mundur. Mereka hampir sampai dekat gunting itu tiba-tiba...

Ceklek!

"Ini orangnya bos," ucap suara berat yang membuka pintu. Ia adalah salah satu dari dua orang berbadan besar yang membawa Nata dan Fauzan ke tempat ini. Fauzan berdecak malas, ia meraih gunting dengan ujung jarinya dan menyembunyikannya diantara mereka berdua agar tak terlihat, padahal sebentar lagi rencana kabur mereka berhasil.

Bau menyengat yang khas membuat Nata mendongak. Dilihatnya seseorang berjas rapi dengan sepatu kulit coklat nan mengkilap masuk dan berhenti tepat dua langkah dari Nata. Sepertinya orang itu yang di panggil bos oleh orang berbadan besar tadi.

Orang itu berjongkok tepat di hadapan Nata. "Jadi, kamu yang bernama Nata Gielz? Yang dekat dengan anak saya?" Orang itu manggut-manggut sebentar. "Perkenalkan saya Hans Farganda, ayah dari Gery Hans. Kamu pasti pernah mendengar nama saya, kan?" tanya orang itu, ia meneliti Nata dari atas ke bawah. "Selera anak saya bagus juga," ujarnya seraya mengangguk.

"Maksud anda apa?" balas Nata menatap sinis orang itu. Hans menyeringai.

"Kita buat kesepakatan yang menguntungkan. Kamu boleh bersama anak saya asalkan kamu suruh dia menuruti segala keinginan saya, gimana?"

Kening Nata berkerut tak mengerti. "Keinginan anda maksudnya?"

Hans menghela napas jengah. "Menjadi penerus bisnis saya, gimana?"

Nata tersenyum miring. "Bisnis kotor anda itu? Gak! Saya gak mau dan gak akan pernah mau!"

"Cih! Tau apa kamu soal bisnis saya?" Hans mencengkram kuat dagu Nata kemudian dihempasnya kasar.

"Saya sudah memberi penawaran, siap-siap saja akankah kamu dan pahlawan di belakang mu itu bisa keluar dari sini atau malah membusuk selamanya di sini." Itulah kalimat terakhir yang di dengar Nata sebelum pintu itu kembali tertutup dengan bunyi gemerincing kunci yang di putar.

"Bangsat!" umpat Fauzan. "Ta, lo harus yakin. Kita bisa keluar dari sini." Nata mengangguk pelan. Setidaknya ia masih punya Fauzan di sini. Di ruangan kecil, kotor, dan penuh barang-barang tak berguna ini. Ketakutan yang sempat merasuk dalam dirinya hilang seketika saat di rasa hangatnya punggung Fauzan.

"Zee, thanks. Kita pasti bisa keluar!" seru Nata menyemangati dirinya. Fauzan tersenyum, setelah sekian lama Nata kembali menyebut 'kita' meskipun arti kata itu telah berubah.

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang