[24] Kabur Lagi

1.5K 95 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Fauzan bergegas membawa Nata pergi. Melintasi semak belukar nan gelap yang entah berujung di mana. Dengan posisi Nata meringkuk, membenamkan kepalanya di dada bidang cowok itu. Sempat sesekali terbatuk dan mengeluh hidung dan matanya perih karna asap.

Fauzan hanya mampu terus berjalan tak tahu arah menenangkan Nata yang semakin sering terbatuk dan mengeluh dadanya sakit. Ia hanya bisa berkata. "Sabar ya, kita udah selamat. Gak ada yang bisa ngejar kita. Kamu tahan dulu."

Berkali-kali ia mengutuk dalam hati bagaimana bisa semak yang ia tempuh belum juga berujung. Nata bergerak gelisah, memukul-mukul dadanya pelan berharap rasa sesak itu segera hilang. "Sabar ya." Dan Fauzan hanya mampu berucap dua kata itu saja.

Lampu penerangan mulai tampak, yang awalnya hanya setitik bahkan Fauzan pikir itu hanya ilusinya saja, sekarang sudah tampak bulat sempurna, menggantung di sisi jalan dengan tiang penopang berjarak cukup jauh dari lampu satu dengan yang lainnya. Jalanan mulai beraspal dengan penerangan minim, sebab ada beberapa lampu yang mati, mungkin rusak atau bolanya pecah dan juga jaraknya yang lumayan jauh. Fauzan mulai melihat ke sekelilingnya. Memikirkan daerah apa ini dan di mana. Kerlip lampu di ujung jalan menjadi tempat singgah Fauzan. Ia berhenti sebentar dan mendudukkan Nata di atas bangku kayu di depan beranda sebuah rumah, barangkali.

"Fauzan?" Seorang pria paruh baya menyambutnya di ambang pintu. Meneliti Fauzan dari atas sampai bawah, melihat penampilan cowok itu yang berantakan. Dengan kening berkerut apakah benar ia memiliki keponakan seperti ini? Tapi wajahnya mirip dengan anak dari Adiknya, meskipun sudah beberapa tahun tak bertemu. Fauzan pun tak kalah bingung. Ia mengorek memori di otaknya, apakah ia pernah bertemu atau kenal dengan orang ini? Kenapa orang ini bisa mengetahui namanya?

"Fauzan, kan?" tanya pria itu lagi. Fauzan akhirnya mengangguk ragu setelah tak mampu mengorek memorinya di saat Nata semakin gelisah di sisinya.

"Iya, bapak siapa, ya?" Ia benar-benar menyerah, yang ia pikir hanya ingin membawa Nata ke Rumah Sakit atau Puskesmas terdekat sebab cewek itu sudah mengerang pelan, mengeluh kerongkongannya perih. "Ya ampun, ini Om nak. Om Adi. Adik Ayah mu." Terus terang Fauzan lupa dengan Omnya satu ini. Setelah ke dua orang tuanya bercerai saat ia masih kecil dan hak asuh atas dirinya dimenangkan ibunya, ia tak pernah bertemu dengan Ayahnya maupun salah satu saudara Ayahnya sendiri.

"Om Adi." Ia mengulang nama itu dan mengorek sedikit memori tentang pria yang mengaku sebagai Omnya itu. Selintas nemori itu ada namun ingatan anak kecil apalah daya, hanya seputar bianglala di pasar malam dan gulali yang dibelikan Om Adi. Tapi, apa benar yang tersimpan di memorinya itu ialah pria ini? Om Adi? Persetan! Yang penting Nata harus segera pulih. Segera ia bertanya mengehentikan nostalgia dengan memori yang tak seberapa itu. "Om tau puskesmas dekat sini, gak?" Om Adi akhirnya sadar melihat perempuan yang tampak mengerang pelan disisi Fauzan.

Setelah sekian lama tak bertemu keponakannya, tentu saja ia bahagia. Tapi, itu sekarang tidak penting. Perempuan yang terlihat menahan sakit di sisi keponakannya tampak butuh pertolongan. Segera ia memanggil anak buahnya, menyiapkan mobil dan langsung pergi ke puskesmas terdekat.

Selama perjalanan, Fauzan menceritakan kejadian ia dan Nata kenapa bisa seperti ini. Raut wajah Om Adi tentu saja terkejut namun Fauzan tak peduli, ia lalu bercerita tentang kehidupannya, kemudian bertanya kenapa Om Adi membuka usaha malam seperti itu. Tempat yang awalnya Fauzan kira rumah tadi adalah sebuah tempat hiburan malam yang disulap seperti rumah biasa, ia menyadari setelah melihat beberapa anak buah Om Adi yang membawanya dan Nata ke pusekesmas berpenampilan seperti preman dan suara musik keras yang terdengar saat pintu rumah itu terbuka sebentar, ia bisa melihat gadis-gadis berpakaian seksi di sana.

Namun, sebelum mendengar apa jawaban dari Om Adi, ia kembali bercerita tentang ayah dan ibunya yang sudah lama pisah dan tentang beberapa kenangan masa kecil Fauzan bersama Om Adi yang masih bisa di ingatnya. Ia terlalu banyak menyimpan tanya selama ini, untungnya Om Adi mengerti dan hanya diam mendengarkan sampai Fauzan selesai bercerita.

Kehadiran Om Adi membuat segalanya lebih mudah, perawat di puskesmas itu semuanya mengenal baik Om Adi. Sebagai wali pasien, Om Adi pandai merekayasa identitas mereka berdua, dari nama, tanggal lahir dan asal muasal. "Zan, nanti pagi. Kamu langsung aja ke rumah Om ya, sampai situasinya kembali membaik kalian baru bisa pulang. Om jamin kalian aman." Fauzan mengangguk dan beeterimakasih banyak pada Omnya itu sedangkan Nata sudah terlelap setelah mendapat perawatan.

Sekarang, ia harus memikirkan bagaimana caranya melindungi Nata, mungkin ia harus pindah dan tinggal bersama Omnya bersama Nata untuk beberapa waktu. Tapi, bagaimana dengan Genta? Tentu ia harus memikirkan perasaan cowok itu. Kakak laki-lakinya Nata. Bisa-bisa ia di anggap penculik anak orang. Bahaya!

Mungkin setelah Nata sadar dan nanti pagi-pagi sekali ia harus pergi ke rumah Om Adi. Membawa Nata serta, tak mungkin tinggal lebih lama di sini. Akan terlalu mencurigakan. Apalagi alasan yang di buat Omnya tadi, menyelamatkan kucing dari gedung yang terbakar? Terdengar mulia memang, bahkan beberapa perawat sempat berdecak kagum.

Tentu, itu tidak mungkin menjadi alasan untuk ia dan Nata berdiam lebih lama di sini. Bisa jadi besok pagi orang-orang suruhan Ayah Gery mencari Nata dan membawa cewek itu lagi.

Masih sekitar tiga jam lagi sebelum subuh. Ia harus tetap terjaga menunggu Nata sadar dan segera membawa cewek itu ke rumah Om Adi. Hanya itu rencana paling aman untuk saat ini.

***

"Gimana? Udah enakan? Ayo, kita harus pergi." Nata baru saja terbangun dan sedang asik menarik otot-ototnya yang kaku. Keadaannya sekarang sudah mulai membaik, meskipun beberapa bekas tali di lengannya belum memudar. Nata berdecak malas, bagaimana bisa Fauzan menyuruhnya segera pergi setelah kejadian yang melelahkan tadi malam. Ia bahkan masih bisa merasakan tali yang membelit tubuhnya saking kuatnya tali itu. Membayangkannya kembali isi perut Nata terasa di remas. Hal yang tidak menyenangkan!

"Tangan kamu gimana?" Nata meraih tangan Fauzan, membolak-balik tangan cowok itu. Masih ada bekas gurat merah dan luka yang belum kering tapi, lumayan lah dari pada kemarin. "Udah gak papa, kok." Fauzan berkata cepat, sesekali melirik pintu ruangan takut-takut ada yang masuk dan tiba-tiba membawa Nata kembali.

Nata tampak asik memakan sarapannya, tadi sebelum ia bangun seorang perawat datang membawakan mereka sarapan. Ia mengacuhkan Fauzan yang sudah seperti cacing kepanasan sembari mengunyah makanan. Fauzan berdiri lalu mengintip pada kaca di atas kenop pintu lalu duduk lagi dan kembali berdiri sampai-sampai Nata harus berdiri di depan cowok itu untuk menghentikannya.

"A," ucapnya dan menyuruh Fauzan mengikuti sambil memasukkan sesendok nasi goreng ke mulut cowok itu. Fauzan harus cepat-cepat mengunyah karna Nata semakin brutal menyuapinya. "Tadi minta cepet, kan! Nih cepet telen." Dan dengan terpaksa Fauzan menurutinya. Untung sayang, pikir cowok itu.

Setelah piring kosong, Fauzan langsung meneguk habis air di dalam gelas sampai perawat yang datang untuk memeriksa infus Nata terkikik geli melihatnya. Nata mulai merapikan tempat tidurnya, dan juga menyuruh cowok itu merapikan tempat tidurnya juga setelah perawat menutup pintu. Lalu ia menengok ke jendela ang terbuka, melihat ke luar hanya terdapat beberapa pohon dan tanaman bunga lagipula ini masih pagi, tidak banyak orang berada di taman samping puskesmas ini.

Nata memberi kode pada Fauzan untuk mendekat, lalu menyuruh cowok itu menggendongnya sampai mencapai jendela dan kemudian mereka berdua saling mengangguk, mengerti apa isi pikiran masing-masing.

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang