[41] Di Lampu Merah Sore Itu

1.2K 84 7
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Suatu hal yang paling Nata benci adalah menunggu. Meskipun memang hal lumrah bagi semua orang juga benci menunggu dan Nata adalah salah satu dari mereka.

Mendesah gusar, ia bolak-balik melirik jam tangan lalu dinding kaca pembatas kafe meneliti satu-satu kendaraan yang masuk, siapa tahu Gery datang. Namun, nihil. Kembali ia menghela napas, meneguk latte dalam cangkir yang tersisa setengah. "Lima belas menit lagi gak datang, gue pulang," gumamnya memajukan bibir dengan wajah terlipat masam.

Dan sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda kehadiran Gery. Ia rasa ingin menangis sekarang juga, apa maksudnya ini? Jelas sekali cowok itu mengirim pesan padanya untuk bertemu di sini tepat jam 4 sore. Tapi apa? Sudah jam 5 lewat sepuluh menit cowok itu tak tampak batang hidungnya.

Dua kali ia meneguk habis latte yang ia pesan. Mengecek ponsel untuk yang kesekian kalinya di mana terpampang jelas pesan masuk dari Gery jam 2 tadi siang. Wah, cowok ini benar-benar menyebalkan. Sudah membuat janji tapi tak ditepati.

Menopang dagu dengan netra menerawang jauh menembus dinding kaca kafe, melihat lampu lalu lintas yang berubah dari warna hijau menjadi kuning. Hitungan detik warna merah pun akan timbul dan seperti yang ia lakukan sejak pertama kali tiba di kafe ini adalah menghitung jumlah kendaraan yang menunggu lampu hijau menyala. Menerka berapa orang dan sedang apa gerangan di dalam mesin kotak beroda empat itu. Meneliti dengan betul setiap pejalan kaki yang menyeberang di atas zebra cross dan juga mengetuk jari di meja dengan pikiran penuh oleh Gery yang juga belum datang. Apa cowok itu lupa? Ketiduran? Atau apa?

Kalau saja benar cowok itu ketiduran atau lupa, siap-siap saja cubitan panas akan mendarat. Tapi, entah kenapa perasaannya menjadi tak enak kalau memikirkan alasan kenapa Gery tak jadi datang. Dalam benak ia memohon semoga apa yang ia pikir ini hanyalah omong kosong belaka.

Lima menit sudah berlalu. Dengan berbagai perasaan campur aduk Nata beranjak bangkit, meninggalkan bangku kosong yang menemaninya sejak satu jam lebih lalu. Mendorong pintu kafe tanpa minat, berjalan lesu menuju tempat parkir di mana motornya berada. Berbalik dengan pandangan menerawang ke seluruh penjuru pelataran parkir sekali lagi. Kalau-kalau Gery datang sambil berlari dan memohon maaf padanya. Namun, sekali lagi Nata ditepis hebat oleh ekspektasinya sendiri.

Mendesah kesal dengan rasa kecewa yang entah kenapa lebih banyak dari biasanya. Memasang helm lalu mulai menyalakan mesin motornya. Melaju pelan lalu berhenti saat lampu merah menyala, tak ada niatan sedikitpun menghitung jumlah kendaraan atau menerka berapa orang dan sedang apa gerangan di dalam mesin kotak beroda empat itu lagi, ia lebih memilih menunduk merapikan kemeja yang ia kenakan lalu menatap lurus kembali ke depan.

Sungguh, ingin sekali ia melempar sesuatu pada pengendara mobil di sebelahnya yang menyalakan musik keras-keras seraya bernyanyi. Apa mereka tak punya uang untuk pergi karaoeke? Memekakkan telinga saja. Sial, menyebalkan sekali.

Dari siluet kaca belakang mobil di depannya, Nata bisa melihat interaksi si pengendara mobil yang ternyata sepasang remaja. Dilihat dari segimanapun mereka tampak serasi, oh sial sekali ia jadi rindu Gery.

Detik penunjuk waktu di samping lampu merah yang menyala masih di angka 27. Entah iseng atau apa, Nata tak bisa melepaskan pandangannya dari si pengendara mobil yang ternyata sepasang remaja tadi. Saat si perempuan membuka setengah kaca mobil bagian kiri, Nata bisa melihat dengan jelas sisi kiri wajah gadis itu. Dan untuk hari ini, ia berharap kalau semuanya hanya mimpi. Suara bising klakson mobil dan motor seakan hilang di telan waktu saat itu juga. Dengan pandangan terpaku seakan tak percaya dan ingin sekali ia menolak untuk percaya akan apa yang sudah di tangkap ke dua netranya.

Nata mendesah berat dengan pelupuk mata yang sudah basah siap meluncurkan sungai kecil di ke dua pipinya, mencoba menarik napas dan tiba-tiba saja ia lupa bagaimana cara bernapas. Sesak sekali, sungguh. Seakan dicekik dan ditusuk di sisi yang sama, benar-benar menyakitkan.

Dengan tawa canggung ia ikut menekan klakson motornya seperti beberapa pengendara lain padahal ia tahu betul itu hanya sia-sia berharap lampu hijau menyala secepatnya.

Bisa disimpulkan bagi Nata bahwa hari ini adalah hari sialnya. Dan benar sekali, si pengendara yang duduk di balik kemudi menoleh ke arahnya, mendapati dirinya yang menatap nanar sejak tadi. Bisa Nata tangkap gerak bibir kaku dan keterkejutan luar biasa dari ekspresi wajah orang itu.

"Brengsek!" Akhirnya umpatan yang sejak tadi ia tahan meluncur keluar begitu saja seraya bunyi debum pelan pintu mobil menusuk pendengarannya dan ia semakin gila menekan klakson saat sosok itu berjalan ke arahnya.

Sial! Sial! Sial! Benak Nata merutuk setengah mati pada lampu lalu lintas yang juga belum berubah warna. "Ah ayolah!" tanpa ia sadari ke dua pipinya sudah basah.

"N-nat mma-maafin akuu." Seribu kali sial yang Nata rasa sekarang menimpanya bertubi-tubi tanpa ampun. Ia tepis kuat tangan si pemilik suara yang menyentuhnya dengan bergetar.

"Gee udah." Tepat di detik ke dua setelah Nata berucap, lampu hijau menyala. Dengan tenaga yang tersisa ia menggas motornya, melesat cepat menulikan telinga dari suara teriakan Gery di belakang sana.

Hanya satu nama yang melesat di pikirannya sekarang. Fauzan. Ia menepi sejenak setelah di rasa jauh dari jangkauan Gery, masih terasa sesak ia memaksa mengeluarkan suara saat panggilannya di angkat setelah nada sambungan ketiga terdengar. "Halo Zee, kamu di mana?"

***

Deru suara motor memelan mendekat ke arahnya, Nata menoleh ke asal suara mendapati Fauzan dengan ekspresi khawatir dan tanpa bisa dicegah air matanya kembali mengalir.

Isakannya teredam meskipun bertambah kuat saat Fauzan menariknya ke dalam dekapan hangat. Tanpa aba-aba Nata melingkarkan lengan di pinggang cowok itu dan mencengkram kuat belakang kemeja yang dikenakan Fauzan, masih dengan isakan yang belum juga surut.

"Sakit Zee," ucapnya terbata mengusap kasar bekas air mata di ke dua pipinya. Mengadu kepayahan dengan sisa tenaga yang ada. Kalaupun saja ia masih di sana, duduk diam di balik dinding kaca kafe menunggu kehadiran Gery pasti ia tak akan melihat segalanya. Melihat bagaimana Gery tertawa dengan gadis itu, dengan Dina yang beberapa hari lalu hadir menjadi mimpi buruk yang terlalu nyata di hidupnya. Dan ia menyesal akan itu.

Jelas sekali, mereka tampak serasi. Tertawa dan menyanyi bersama seakan hidup tak ada beban sama sekali. Dan ia malah merutuki diri sendiri lagi, kenapa hadir di kehidupan mereka. Yang jelas-jelas dulunya hanya ada Dina dan Gery, bukan Nata dan Gery.

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang