[45] Balkon Kamar

1K 75 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Lorong putih nan lengang seakan membuat gema dari helaan napas yang sejak tadi Gery lakukan berkali-kali. Bosan, benar ia bosan sekarang. Berlama-lama di rumah sakit bukanlah suatu hal yang menyenangkan. Kalau bukan karna rasa bersalahnya yang telah membuat Dina di rawat di sini, sudah sedari tadi ia beranjak pergi.

Sekali lagi ia melirik ke ujung lorong, siapa tahu Tante Elma sudah datang. Namun, Mamanya Dina tak menunjukkan sosoknya. Ia kembali melakukan hal yang disebut kurang kerjaan oleh sebagian orang yaitu menghitung garis-garis batas keramik satu dengan lainnya setelah tak mendapati kehadiran Tante Elma di sana.

Ia mendesah, menyandarkan punggung di sandaran kursi tepat di samping pintu ruang rawat Dina. Tak ada yang bisa ia lakukan di sini, hanya bisa diam menunggu. Membosankan. Kini sudah tengah malam, bagaimana caranya ia ke rumah Nata nanti. Jam segini bukanlah jam bertamu, bisa-bisa ia ditendang Bang Genta karna mengganggu. Lagipula, apa Nata masih menunggunya? Harapnya sih begitu, semoga saja.

Ia meringis sebab tadi mengeluh karna bosan menunggu Tante Elma, sedangkan Nata sejak tadi pasti menunggunya. Tanpa kepastian pula. Andai batrai ponselnya penuh, sejak tadi ia memberi kabar atau setidaknya menanyakan apakah cewek itu masih menunggunya atau tidak. Namun, apalah daya. Batrai ponselnya sekarat, dan ia sengaja mematikannya untuk menghemat. Mana tahu Nata sudah terlelap saat ia tiba di rumah cewek itu, kan ia bisa menghubunginya nanti.

Kondisi Dina saat ini sudah membaik kalau kalian ingin tahu. Gadis itu hanya terpeleset di kamar mandi sebab matanya buram karna di penuhi air mata, itu yang Gery dengar dari Dina sendiri saat gadis itu sadar. Karenanya ia merasa bersalah dan harus duduk sendiri menunggu Tante Elma yang sejak tadi pulang hendak mengambil beberapa pakaian untuk Dina dan sampai sekarang belum juga datang.

Ia kembali mengingat perkataan Dina tepat saat Tante Elma pamit pulang. Ia rasa merinding untuk itu, sebab baru kali ini ia melihat Dina sedingin itu dengan ekspresi paling datar.

"Gee kamu itu cowok paling brengsek yang aku kenal. Cuma dua tahun Gee, dua tahun dan kamu secepat itu berpaling. Kamu pikir aku di sana ngapain Gee? Aku berusaha buat jadi yang terbaik untuk kamu dan saat aku kembali kamu malah pergi. Bilang ke aku semuanya udah gak sama lagi. Bener-bener brengsek." Gery pikir gadis itu sedang terisak seperti beberapa waktu lalu yang selalu tersedu saat menyinggung hal-hal seperti ini. Tapi, tidak. Tidak ada suara serak sebab menangis atau napas tersendat. Nada suara Dina menusuk dengan kesan dingin yang Gery rasa.

Gadis yang duduk bersandar di headboard ruang rawatnya hanya menatap lurus ke pintu dengan ekspresi dingin yang bisa Gery lihat dari samping di mana ia duduk sekarang. Gadis itu kembali membuka bibir melanjutkan kalimatnya. "Setelah aku ketemu sama Nata, aku bisa ngerti kenapa kamu suka dia. Aku tau, aku pergi emang bukan maunya aku, tapi aku emang salah karna sekalipun aku gak bilang ke kamu. Aku ikut Om kamu secara sukarela. Aku bukannya diculik atau apalah itu yang ada di pikiran kamu."

Gery mengerjap beberapa kali karna terkejut. Tentu, yang ia tahu Dina diculik dan dibawa pergi oleh Om Frans, tapi apa kata gadis itu barusan? Pergi secara sukarela? Yang benar saja?

"Oke, kamu pikir mungkin ini semua kebohongan. Tapi setengahnya emang bener aku dibawa paksa sama anak buahnya Om Frans. Dia gak nyekap aku sama kayak yang dirasain Nata. Aku tau semuanya." Gery semakin dibuat bingung oleh gadis itu, ia menggeleng heran dengan ekspresi sepenuhnya terkejut.

Seakan mengerti Dina menoleh menatap lurus Gery, seolah mengatakan apa yang ia ucap benar adanya. "Gak sekarang Gee. Nanti di saat yang tepat kamu bakal tau semuanya. Semua yang gak kamu pahami. Dan akhirnya nanti hanya aku yang pantas buat kamu."

Gery rasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, menelan saliva sendiri sangat menyakitkan. Bila benar apa yang di katakan Dina, pasti ada suatu hal yang besar di belakangnya. Yang tidak ia ketahui sama sekali. Kalau dipikir kembali, alasan Om Frans menyekap Nata saat itu juga masih membuatnya bingung. Tidak jelas sama sekali dan ia hanya acuh karna Nata sudah ada di dekatnya, masih terjangkau pandangannya dan cewek itu baik-baik saja jadi ia tak berpikir ke sana menanyakan apa alasan sebenarnya Omnya melakukan hal itu.

"Aku ngerti alasan kamu suka dia dan relain semua hati kamu buat dia. Tapi, kamu inget apa yang aku bilang tadi?" Ragu Gery tetap mengangguk. Meskipun ia tidak mengerti, tapi ia masih ingat kalimat yang tadi Dina ucapkan.

"Kamu bisa pergi Gee, aku gak bakal ganggu kamu. Tapi, kalau suatu saat nanti kamu udah tau semuanya, aku gak yakin bisa ngelepas kamu lagi."

***

"Keluar gih, aku di balkon kamar kamu."

Ia sedikit merapikan penampilannya, menyisir rambut ke belakang. Tiba-tiba ia jadi gugup sendiri, menepuk-nepuk celana dari debu setelah berhasil sampai di balkon kamar Nata.

"Loh Gery?"

Setelahnya ia refleks mundur ke belakang, terkejut karna Nata tiba-tiba keluar membuka pintu balkon. Ia terkekeh kecil, melihat cewek itu. Lucu sekali, menggesek ke dua matanya pelan seraya menguap. Perlahan ia melangkah mendekat, ragu-ragu ia meraih tangan Nata menarik gadis itu sedikit lebih dekat dengannya.

"Nat," panggilnya pelan, meraih sejumput rambut cewek itu yang di mainkan angin lalu meletakkan di belakang telinga. Dengan lembut ia mengusap tulang pipi Nata, menatap lurus ke dua iris cewek itu dalam yang tampak sayu sebab terbangun karna ulahnya.

"Maaf ya aku ngebangunin kamu." Ia mendesah merasa bersalah.

Nata menggeleng pelan. "Gak papa kok, aku juga gak tidur tadi." Kemudian menguap dan melangkah pelan mendekati Gery lalu memeluk cowok itu sembari memejamkan ke dua mata. Ia sangat mengantuk dan rasanya ia inginn tidur sekarang.

Seakan tidak terjadi apa-apa dengan mereka berdua, Nata menggeram pelan semakin mengeratkan pelukannya. Tentu saja Gery bingung, tadi siang cewek itu tampak enggan bertemu dengannya bahkan menghindar tiap kali berpapasan di koridor sekolah dan ia harus mengelilingi penjuru sekolah bersama teman-temannya untuk bertemu cewek itu yang malah tak berujung baik.

Tapi, sekarang sungguh berbalik. Cewek itu tampak nyaman dalam rengkuhannya bahkan mulai mendengkur kalau saja ia tidak menepuk pelan puncak kepala cewek itu dan berujar. "Eh, jangan tidur dulu sayang. Aku mau ngomong." Mungkin Nata sudah masuk ke dalam dunia mimpi.

Nata menggeliat, agak menjauhkan badannya tapi masih dalam jarak yang cukup dekat. "Aku udah denger, kamu kan udah bilang di pesan suara. Aku ngantuk banget nungguin kamu tau. Kamu abis darimana sih? Lama banget." Ia mengerucutkan bibirnya, mencubit gemas perut cowok itu melampiaskan rasa kesal.

"Aw! Maaf. Aku ada urusan tadi. Maaf yah udah bangunin kamu. Jadi aku gak perlu jelasin lagi?"

Nata sontak menggeleng. "Harus! Enak aja enggak. Tapi, bukan sekarang. Besok aja. Aku udah ngantuk banget. Awas kalau kamu ubah setiap kata yang harus kamu jelasin ke aku. Awas aja!" Ia mendelik menatap Gery serius penuh penekanan. "Udah sana gih, pulang! Aku mau tidur."

Malam ini, Gery merasa suatu hal yang baik akan hubungannya dengan Nata akan membaik. Meskipun perkataan Dina, benar-benar melecut keberaniannya. Setidaknya, ia merasa lebih baik sebab Nata sudah tidak menghindarinya lagi.

"Oh jadi lo yang bawa tangga ini kesini? Seneng ya lo abis ketemu adek gue." Gery segera menoleh, menemukan Genta berkacak pinggang dari pintu balkon kamar Nata menatapnya siap-siap melancarkan serangan perang.

"Ampun Bang!"

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang