[30] Kamu Gimana, Sayang Aku Gak?

1.1K 63 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Fauzan tak pernah percaya akan pertanda dari detak jantung yang abnormal dan rasa cemas berlebihan. Kata orang, sedang ada kejadian buruk terjadi. Tapi, apa benar? Ia sudah menguap untuk yang kesekian kalinya karna acara ini sungguh membosankan. Yah, namanya juga acara orang dewasa, kalau bukan karena perjanjian kecil dengan Ibunya, enggan sekali Fauzan ikut acara ini.

Kalau di pikir-pikir sudah beberapa hari ini hal-hal baik selalu terjadi padanya. Seperti Nata yang sudah kembali ke rumah dan hubungannya yang dulu renggang dengan Ayah dan keluarga Ayahnya juga sudah membaik. Bahkan untuk libur semester ini Fauzan akan liburan ke rumah Ayahnya di Singapura.

Ia sungguh berterimakasih sekali pada Om Adi yang sudah meluangkan waktu pergi ke rumahnya dan menjelaskan segala hal yang tak dimengerti oleh dirinya sendiri pada Ibunya. Kata Om Adi, ini urusan orang dewasa dan ia hanya mangut-mangut saja.

Ngomong-ngomong tentang Nata, sepertinya ia sudah harus memikirkan kejutan kecil untuk cewek itu dan meminta Nata kembali menjadi pacarnya lagi. "Duh jadi kangen Nata." Fauzan bergumam pelan lalu berjalan mendekat ke arah Ibunya. Berbisik dan minta izin kembali ke kamar hotel lebih dulu. Lagipula ini sudah dua jam lebih Fauzan di sini, sesuai janji Ibunya tadi.

Acara pertemuan dengan beberapa pemilik perusahaan yang diselenggarakan oleh perusahaan milik Ibunya di salah satu hotel bintang lima di Thailand, benar-benar membuat Fauzan merutuk kesal. Kalau bukan karna iming-iming dari Ibunya mau menolong acara kejutan kecil untuk Nata ia pasti akan menolak mentah-mentah.

"Membosankan." cetusnya sebal agak pelan sebab ia masih berada di tengah-tengah acara. Setelah mendapat anggukan dari Ibunya, ia langsung melangkah keluar dengan cepat. Agak tergesa menuju lift, menekan tombol lantai 20, dimana kamarnya berada. Sambil melepas dasi yang serasa mencekik lehernya, ia mulai sibuk dengan benda pipih ditangan, mencari kontak yang ia beri nama 'mine' di daftar kontak miliknya, tercetak jelas senyum senang di wajah cowok itu. Segera ia melakukan panggilan.

Untuk panggilan pertama, suara operator wanita yang masuk ke pendengarannya. Begitu pula pada panggilan ke dua. Fauzan berusaha positif thinking, mungkin saja Nata sedang sibuk.

Dan saat pada panggilan ke tiga, akhirnya panggilan tersebut di angkat. Di sebrang sana terdengar suara grasak-grusuk sepertinya Nata sedang berada di tempat ramai. Tapi, di mana? Dengan siapa? Fauzan menggeleng berusaha menghapus pertanyaan-pertanyaan yang hingga di benaknya.

Denting lift berbunyi seraya terbukanya pintu besi itu. Fauzan segera melangkah sambil tetap menempelkan posenl ke telinga. Ia penasaran, Nata sedang berada di mana dan dengan siapa cewek itu pergi. Persetan dengan positif thinking! Hal yang buruk sepertinya benar-benar terjadi. Memaksa ia mempercayai pertanda detak jantung abnormal dan rasa cemas berlebihan yang sudah ia rasa sejak berada di pesta tadi.

"Ahrgh sial!" Fauzan mengumpat kesal, setelah tak mendapati sahutan dari sebrang sana. Sambungan terputus.

Ia tetap diam dengan rahang mengeras. Mulai mengemasi kembali pakaiannya ke dalam tas dengan ponsel tetap menempel di telinga. Sepertinya ia harus pulang sore ini juga. Biarkan saja Ibunya yang cerewet itu akan mengomel panjang lebar karna ia pergi tanpa izin.

Langsung saja ia melangkah cepat keluar kamar, menuju meja resepsionis melakukan check-out lalu memberhentikan taksi dan segera menuju bandara. Bunyi grasak-grusuk tadi sudah mulai hening, meskipun masih terdengar beberapa suara di sebrang sana. Fauzan masih setia menempelkan ponsel di telinga, sampai ia benar-benar mendengar sahutan dari Nata-nya itu.

Sedetik kemudian, kepalan tangan Fauzan mengeras. Dengan paksa ia memutus sambungan telepon sepihak, meskipun si penerima telepon tidak tahu bahwa sedang berlangsung panggilan di ponselnya. Dadanya tiba-tiba sesak padahal dari tadi ia sudah membuka lebar-lebar kaca taksi yang ia tumpangi, tetap saja tak bisa mengurangi rasa sesak itu.

Dengan sedikit bentakan karna tak bisa menahan emosinya, Fauzan menyuruh supir taksi itu mempercepat laju kendaraan menuju bandara. Ia harus cepat-cepat pulang, jangan sampai Nata-nya benar-benar pergi dan menghancurkan harapan yang ia punya sekali lagi. Jangan sampai.

"Krsskk krsskk GKrsskk krsskk Gee sini deh, aku mau es krim... Ututu gemesin banget sih minta di cium... Krssskk krsskk."

Kembali, sahutan suara di sebrang sana dengan suara-suara ribut mendominasi pikiran Fauzan. Gee? Ahrg sial! Bagaimana bisa sehari saja ia meninggalkan Nata, cewek itu sudah di bawa pergi orang lain? Sial! Sial! Sial!

***

Kretak! Bunyi sesuatu yang patah mengisi malam nan dingin. Fauzan terhuyung sebentar dan cepat-cepat menggapai sisi badan mobilnya agar bisa tetap berdiri tegak. Di sana, tiga puluh langkah darinya pemandangan Nata dan Gery sedang berpelukan berlangsung. Fauzan tak tahu apakah ini karma baginya atau apa? Akibat pernah menyakiti Nata dulu, dan sekarang ia lah yang tersakiti.

Rasanya benar-benar sakit. Sungguh. Sangat. Benar-benar tak tertahankan. Dari dulu Fauzan tak pernah bisa menyukai satu pun perempuan selain Nata. Sampai sekarang pun begitu. Dan saat ke dua irisnya menangkap miliknya sedang disentuh oleh orang lain, rasanya ia ingin mati saja sekarang. Apalagi ia bisa melihat bagaimana ekspresi Nata saat itu. Dan ia tak ingin mengakuinya bahwa Nata sangat menyukai Gery.

"Percuma gue cepet-cepet pulang," gumamnya pelan seraya terkekeh kecil, menertawai dirinya sendiri.

"Zee?" Ia berpikir suara yang baru saja masuk ke pendengarannya hanyalah ilusi karna pikirannya terus menerus memikirkan Nata.

"Zee? Kamu udah pulang." Fauzan menggeleng sepertinya ia sudah gila sekarang dan merasa Nata menyentuh lengan kanannya.

"Zee! Zee! Kamu kenapa?" Fauzan mengerjap beberapa kali sampai matanya benar-benar menangkap presensi Nata yang sedang melihat bingung ke arahnya.

Refleks ia mundur selangkah, mengusap wajahnya kasar dan menetralisir napasnya yang tiba-tiba terengah. "Iya, aku udah pulang. Kamu kenapa keluar?" Bahkan ia baru sadar sudah berada tepat di depan pagar berwarna biru cerah rumah Nata.

"Eum itu, aku mau mampir bentar ke minimarket depan." Fauzan tahu Nata berbohong, tapi ia hanya tersenyum seraya mengusap lembut puncak kepala Nata. "Yaudah aku temenin, ya." Ia segera meraih jemari Nata dan mengaitkan dengan miliknya.

Meskipun rasanya sesak, tapi hatinya berdesir hangat saat Nata memeluk lengan dan bersandar di bahunya.

"Ta, aku sayang kamu." Ia bisa merasakan Nata mengangguk.

"Sayang banget. Kamu gimana? Sayang aku gak?" Suaranya seperti tercekik dan rasanya benar-benar tak nyaman. Tapi, entah kenapa ia ingin sekali Nata mengangguk untuk kali ini saja.

***

Mumpung lagi revisi, jadi aku sekalian promosi di sini bentar yaa😊,hehe.

semoga suka ya❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

semoga suka ya❤

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang