[37] Bukan Mimpi, Kan?

1.2K 89 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

Aroma harum masakan menggelitiki indera penciumannya saat ia baru mencapai ruang tengah, membuat ia semakin lapar padahal tadi sore ia sudah menghabiskan beberapa potong roti isi daging buatan Nata yang dijual dekat komplek perumahannya. Bergegas ia melangkah masuk ke dapur dan berpapasan dengan Bi Natri yang melangkah berlawanan arah menuju pintu depan, sepertinya hendak belanja ke supermarket untuk memasak makan malam.

Fauzan terlihat bingung. "Ini wangi masakan dari dapur, terus kenapa Bibi kayak mau pergi? Loh bukan Bibi yang masak?" Bi Narti kontan menggeleng dengan senyum penuh arti tersemat di bibirnya. "Bukan Den, Aden liat sendiri aja di dapur. Bibi pergi dulu, ya Den." Fauzan semakin heran setelah mengajukan beberapa pertanyaan lagi untuk siapa yang menciptakan aroma harum dari arah dapur rumahnya dan hanya mendapat tanggapan lagi dan lagi dengan gelengan dari Bi Narti.

"Bukan Bunda, kan?" ia bermonolog sendiri seraya melangkah dengan hati-hati menuju dapur. Sepuluh langkah mencapai dapur, suara gesekan spatula dengan wajan mulai terdengar diikuti aroma harum yang tercium kuat. Siapa yang memasak makanan seharum ini? Mungkin Ibunya pulang dan memberi kejutan, sebab sudah tiga bulan lebih Ibunya disibukkan dengan berbagai urusan mengenai cabang perusahaannya yang baru di buka di Thailand itu.

Lima langkah lagi, Fauzan sudah berdiri di sisi meja makan. Kini semuanya sudah jelas, siapa yang menciptakan aroma harum masakan di dapur rumahnya. Beberapa kali ia mengucek mata dan menajamkan penglihatan. Takut-takut ia hanya halu dan sosok yang sedang menyajikan makanan di piring itu bukan lah dia yang ia lihat sekarang.

Oke, sepertinya Fauzan benar-benar salah lihat. Cowok itu membalikkan badan dan menghitung satu sampai lima sebelum berbalik lagi.

Satu,

Dua,

Tiga,

"Zee," sapa orang itu sebelum Fauzan selesai menghitung sampai lima. Fauzan dibuat merinding dan mulai mengusap tengkuk belakangnya. Itu bukan hantu, kan? Bagaimana hantu tau nama panggilan itu? Biasanya Nata yang memanggilnya begitu, tapi itu bukan Nata, kan? Masa, iya? Ah, benar. Ini mungkin efek lelahnya sebab lima kali berturut-turut kalah bermain game online bersama teman-temannya tadi siang. Iya, karna itu dan dengan kurang ajarnya ia membayangkan Nata sedang memasak di dapurnya lalu mendengar sapaan cewek itu pula. Wah, ia benar-benar sudah gila sekarang.

Fauzan bergeming tetap melanjutkan hitungannya tanpa memperdulikan Nata yang sedang cemberut dan bersedekap dada di balik punggungnya. Ia masih tidak percaya akan kehadiran Nata di dapur rumahnya lagi. Ingat, lagi! Ia saja lupa kapan terakhir Nata memasak di dapur rumahnya dan tadi sore adalah makanan buatan Nata yang pertama untuknya setelah hubungan mereka berdua berakhir. Roti isi daging.

Empat,

Lima,

"Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh." Lanjut Nata semakin membuat Fauzan terpaku di tempat. Ini benar Nata, kan? Pikirnya begitu.

Setelah jeda beberapa detik, ia berbalik. Mengucek beberapa kali matanya sebelum membelalak lebar. Meneliti dari puncak kepala sampai ujung kaki, memastikan itu benar-benar Nata. Dan kemudian menepuk-nepuk ke dua pipinya, bahwa ini bukan lah mimpi. Bukan mimpi, Nata kembali memasak di dapur rumahnya. Ini nyata sungguh!

Ekspresi Fauzan benar-benar minta ingin ditampar, namun Nata hanya tergelak lepas lantas menunjuk-nunjuk wajah cowok itu. "Kampret! Ekspresi lo bego banget Zee."

Fauzan bungkam, merapatkan bibirnya yang tadi terbuka dengan ekspresi bego seperti kata Nata. Apa yang ia rasa sekarang bukan lah hal yang patut di tertawakan memang. Ia cukup kesal akan Nata yang masih menertawakannya. Ingin sekali ia membekap mulut Nata supaya cewek itu berhenti tertawa. Ide bagus, apa ia harus membekap mulut Nata dengan bibirnya? Wah, amazing. Ide yang sangat-sangat bagus, tapi Fauzan tak akan melakukan itu meskipun ia ingin sekali melakukannya lagi, seperti dulu.

Melangkah cepat dengan backsound suara gelak tawa Nata yang belum usai. Ia menarik cewek itu ke dalam pelukannya, mengeratkan rengkuhan di tubuh mungil Nata. Membisikkan berkali-kali kalimat. "Bukan mimpi, kan? Bukan mimpi, kan?"

Dan Fauzan sangat bersyukur setelah mengalami kekalahan lima kali berturut-turut bermain game online bersama teman-temannya tadi. Untuk kali ini ia bersyukur akan kekalahan itu, sebab kehadiran Nata di rumahnya lebih indah daripada memenangkan permainan game online. Apalagi setelah Nata membenarkan dan memberi tanggapan akan kalimatnya tadi dengan gelengan. "Bukan, ini aku Zee. Nata."

***

"Nata mana?" Dengan napas tak teratur sehabis berlari setelah turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumahnya Gery bertanya seperti orang kesetanan. Ia tak peduli sama sekali akan kehadiran Dina di ruang makan rumahnya yang sedang terisak dengan Mamanya yang berusaha menenangkan gadis itu.

"Nata mana, Ma? Tadi dia kesini, kan?" Mamanya hanya diam. Bangkit berdiri lalu menepuk pundak Gery sekali.

"Gery, Mama memang gak berhak nentuin siapa yang jadi pacar kamu. Mama hargai keputusan kamu memilih Nata dan meninggalkan Dina. Tapi, lihat sekarang." Mamanya melirik ke arah Dina yang masih terisak. "Kamu harus selesain masalah kamu sama Dina. Harus. Sebelum kamu menjelaskan semuanya sama Nata. Mama tau kamu belum ceritain apa-apa tentang Dina ke Nata, kan?" Gery menggeleng pelan.

Mamanya menghela. "Yaudah sana, baik-baik ya. Kalau bisa secepatnya, Mama udah gak sabar makan dendeng sapi buatan Nata." Mamanya mengedipkan sebelah mata sebelum berlalu pergi dari ruang makan.

Dendeng sapi? Ia bisa melihat kotak tupperware di atas meja makan. Dari sana ia bisa merasakan harum dendeng sapi tersebut. Pantas saja mamanya tidak sabar, pasti wanita itu rela mati-matian membujuk Dina supaya tidak menangis dan dengan kata-kata halus mengusir gadis itu pulang supaya bisa menyantap dendeng sapi buatan Nata.

Ia jadi lapar. Meneguk saliva susah payah, menahan godaan dendeng sapi lalu meraih kotak tupperware tersebut dan menyimpannya di dalam lemari dapur. Setidaknya ia bisa fokus menyelesaikan masalahnya dengan Dina tanpa harus diganggu oleh harum dendeng sapi.

"Jadi itu alasan kamu ninggalin aku?" Gery tersentak kaget, baru saja ia duduk, Dina langsung melayangkan pertanyaan. Gadis itu sudah berhenti terisak, dengan mata sebab dan merah, Dina menatap sayu ke arah Gery.

Ia merutuk pelan. Dina benar-benar menangis, sungguh, ia tak tega. Ingin sekali memeluk Dina dan menenangkan gadis itu supaya berhenti menangis seperti dulu. Tapi, masa-masa itu sudah lewat. Jauh tertinggal di belakangnya.

Ia hanya berdeham canggung sembari menatap lekat manik mata cewek itu. "Aku udah bilang kan. Kita udah selesai. Gak ada lagi kisah kita berdua, sekarang cuma ada kisah kamu sendiri dan kisah aku sendiri. Maaf, aku emang jahat. Sekali lagi maaf. Gak ada kita lagi Din, gak ada." Gery menggeleng pelan, dan cepat-cepat mengalihkan pandangan setelah mendengar gadis itu kembali terisak.

"Kamu jahat Ge. Kamu jahat! Aku benci kamu!! Benci!" Gadis itu berteriak histeris di sela-sela isakannya. "Aku pergi juga bukan karna maunya aku Ge, itu juga karna Om kamu. Om Frans yang udah nyulik aku. Terus kenapa setelah aku kembali kamu malah kayak gini? Kenapa? Aku salah apa Ge?"

Ia tertohok, Dina benar ia memang jahat. Yang bisa Gery lakukan hanya diam, membiarkan Dina berteriak dan menyumpah serapahi dirinya. Ia sudah seperti lelaki brengsek sekarang.

"Perasaan gak bisa di paksa, Din. Kamu tau itu, kan? Aku udah bilang di antara kita udah gak ada apa-apa lagi. Semuanya udah beda gak lagi sama. Oke." Biarlah untuk kali ini Gery dicap sebagai lelaki brengsek. Sudah terlanjur juga, kan? Kenapa tidak sekalian saja? Pikirnya begitu. "Terus aku harus gimana? Maksain hati aku buat kamu lagi? Terus Nata? Aku gak mungkin ninggalin dia!"

Dina hanya bisa melongo. Tak percaya bagaimana bisa cowok itu melontarkan kata tanpa memikirkan perasaannya? Ia bungkam. Hatinya sudah tak terbentuk lagi sekarang. Percuma saja ia menunggu selama dua tahun dan berharap semuanya akan kembali seperti semula. Tapi apa? Yang ia dapat hanya lah kata-kata yang menohok, menusuk, mencabik-cabik hatinya.

Andai saja ini mimpi. Ingin sekali ia melakukan hal apapun supaya bisa terbangun dan menemukan Gery kembali memeluknya seperti dulu. Tapi, harapnya menguap. Menguap habis bersamaan dengan namanya di benak cowok itu. Ia sudah tak ada artinya lagi bagi Gery.

Ini mimpi buruk bagi Dina. Benar-benar mimpi yang paling buruk di hidupnya. Dan sialnya lagi ini semua nyata. Bukan hanya sekedar mimpi yang ketika bangun peluh membanjiri kening seperti mimpi-mimpi buruk lainnya. Ya, ini nyata. Mimpi buruk di kehidupan nyatanya.

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang