[48] Gery atau Fauzan?

596 51 5
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

"STOP! GERY! FAUZAN STOP!"

Salah satu hal yang tidak Nata sukai ialah tinju. Tinju, adu jotos, boxing, saling melayangkan kepalan tangan pada bagian tubuh lawan baik itu di dalam ring tinju yang terbagi menjadi beberapa ronde dan menerima sorakan penonton atau pun terjadi secara langsung di hadapannya sekarang yang hanya ada dirinya sebagai penonton di sini, tak ada sorakan ataupun wasit yang akan meniup peluit bila ada pelanggaran. Hanya mereka bertiga dengan backsound ringisan dan umpatan dari ke dua cowok itu.

Ia gerah sekaligus ngeri mendengar setiap gemeretak tulang akibat satu pukulan dari kepalan tangan mereka mengenai tubuh lawan masing-masing. "Please, aku mohon berhenti!" Teriakannya sama sekali tak berpengaruh, Nata jadi panik sendiri. Bagaimana tidak, di depan matanya dua orang yang ia sayangi saling menyakiti satu sama lain.

Mereka tuli. Jelas sekali Nata sudah cukup mengeluarkan suara teriakan agar mereka lekas berhenti. Mereka malah semakin menjadi. Bulir keringat bercucuran dari keningnya, ia meremas kuat jemari tangannya sendiri. Merasa takut setengah mati. Terlalu banyak 'bagaimana jika' di benaknya yang berseliweran tanpa henti. Ia menggeleng kuat, menepis berbagai pikiran negatif yang datang tiba-tiba.

"Fauzan! Gery please, berhenti!"

Kondisi mereka sudah bisa dibilang buruk, sangat buruk malah. Bahkan sekarang Gery sudah tersungkur dengan Fauzan yang masih belum puas melayangkan kepalan tinjunya untuk cowok itu.

Ia mulai terisak, melangkah cepat ke arah mereka berdua lalu berhenti di antara ke duanya. Menahan satu layangan pukulan dari Gery yang sudah melemah. "Udah, aku mohon. Berhenti."

***

"Ahrgg Nat aku."

"Diem lo! Nata pacar gue! Ahrrgg."

Angin sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut Nata lembut. Ia tak peduli seberapa kuat ke dua cowok itu meringis dan merengek agar ia sedikit lebih pelan mengobati luka mereka, Nata tetap tanpa ampun menekan dibagian yang sakit dan membuat mereka semakin meringis kesakitan. Salah sendiri, kenapa tadi menulikan telinga dan tidak mau berhenti berkelahi sampai suaranya menjadi serak seperti ini, rasain!

Nata mendesis kesal, sudah babak belur seperti ini mereka berdua masih saja adu mulut. "Bisa diem gak!" serunya sebal kemudian beranjak bangkit setelah selesai mengobati mereka lalu menatap Fauzan dan Gery yang masih meringis saling menatap sinis satu sama lain.

Ia menarik kursi dan duduk tepat di hadapan ke dua cowok itu. Perlahan rasa kesalnya luruh berganti sendu dan bahkan ia tidak sadar matanya mulai basah. "Maaf. Sekali lagi maaf. Gara-gara aku kalian jadi gini." Gery dan Fauzan tercenung dan tanpa sadar saling melirik satu sama lain dengan ekspresi bingung.

"Kenapa ngomong gitu Ta? Kamu gak salah apa-apa." Fauzan angkat bicara dengan susah payah sebab sudut bibirnya yang masih berkedut nyeri.

Nata menggeleng, ia sudah banjir air mata dan sesegukan sekarang. Dengan bahu bergetar hebat ia mulai berucap. "Enggak, ini salah aku. Salah aku karna gak tegas sama perasaan aku sendiri." Ia semakin terisak, mengibaskan tangan ke depan saat Gery melangkah mendekatinya. "Gak, Gee." Meski ragu, namun Gery menurut kembali duduk di samping Fauzan.

"Kalian tau, kalian itu hal paling berharga yang pernah aku punya. Dan aku dengan bodohnya mainin perasaan kalian kayak gini." Nata menyeka pipinya yang basah dengan punggung tangan. "Maaf, sekali lagi maafin aku."

***

"Jadi gimana, Gery atau Fauzan?" tanya Genta setelah meneriaki Fauzan dan Gery supaya bekerja lebih cepat. Mengerling pada Nata lalu mengedikkan bahu acuh, seakan tidak peduli pada apa yang telah ia lakukan untuk ke dua cowok itu.

"Bang, apaan sih. Mereka bukan tukang cuci motor." Nata menggeleng tak habis pikir ia bersedekap dada dan menatap Genta penuh tanya. Di warung kopi belakang sekolah berjejer sekitar sepuluh motor yang siap dicuci oleh Gery dan Fauzan masing-masing memegang selang air dan ember penuh busa sabun sibuk melumuri motor dengan busa, saling melirik sinis satu sama lain lalu menggerutu.

"Biarin, siapa suruh berantem. Mending gini dek, motor bersih dan banyak faedahnya, daripada mereka berantem terus adu bogem kan gak guna." Genta cengar-cengir sendiri dengan alasan yang ia buat lalu merangkul Nata. "Nah, gimana dek? Gery udah selesai dua motor, Fauzan udah mau yg ke empat. Gercep tuh bocah. Mending sama Fauzan aja deh dek, motor selalu bersih tiap hari." Lalu terkekeh, menaik turunkan ke dua alisnya menggoda Nata.

"Serah abang deh," ucap Nata lalu melangkah menjauh kembali masuk ke lingkungan sekolah seraya memikirkan apa keputusan yang harus ia ambil. Fauzan atau Gery.

Suasana lengang sekolah sebab sudah dari lima belas menit yang lalu bel pulang berbunyi, membuat Nata mulai hanyut dengan pikirannya. Tentang Gery, saat pertama kali ia bertemu cowok itu di tepi lapangan takraw, di bawah pohon rindang di sudut lapangan. Ia jadi senyum-senyum sendiri.

Namun, sekelebat bayangan Fauzan datang. Tiba-tiba sekali, tentang malam itu. Cowok itu datang dengan keadaan babak belur. Ah, lagi-lagi.

Ia jadi lelah sendiri mengingat belum sama sekali harus memilih siapa dan merelakan siapa. Jujur, ia sayang ke duanya. Kalau saja boleh ia memiliki dua cowok itu mungkin ia tak akan tertekan seperti ini. Pemikiran gila macam apa itu? Tuhkan, benar ia mulai kehilangan kewarasannya sedikit demi sedikit.

"Gue harus gimana? Fauzan atau Gery?"

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang