[35] Roti Isi Daging

1.2K 81 0
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya😊

***

"Buat Gery, ya?"

Seketika Nata menghentikan gerakan pisaunya mengupas bumbu-bumbu di atas talenan untuk memasak dendeng sapi. Resep keluarga neneknya yang berdarah minang asli pasti akan sukses kali ini, meskipun sudah lama ia tak memasak makanan pedas sebab Genta tak suka makanan pedas. Tapi, sedikit banyak ia masih mengingat bumbu-bumbu dan resep cara pembuatannya.

"Buat Gery, ya?"

Nada lirih Fauzan kembali melintas di benaknya. Saat di minimarket siang tadi, Fauzan menemaninya belanja dan dengan santainya ia berkata ingin memasak dendeng sapi untuk Gery di depan cowok itu. Tanpa ragu kalimat itu mengalir lancar bak perosotan di taman kanak-kanak yang licin bekas air hujan.

Ia jadi merasa bersalah, sangat malah. Apalagi saat melihat ekspresi Fauzan yang di paksa tersenyum dan malah menawarkan ingin membantu Nata memasak. Cowok itu benar-benar terluka, sepertinya. Karnanya kah? Ah, iya. Kan dirinya sendiri dengan gamblang berbicara seperti itu tanpa tahu perasaan Fauzan sedikit pun. Bodoh! Bodoh sekali.

Bagaimana caranya ia meminta maaf nanti? Kalau di ingat-ingat sudah lama sekali ia tak memasakkan makanan untuk Fauzan. Cowok itu pasti akan merasa sedih saat ia berucap seperti itu tadi. Atau ia buatkan juga cowok itu makanan? Ah, sepertinya ide yang bagus. Tapi, bukan dendeng sapi. Sebab Nata tahu betul Fauzan tak suka pedas.

"Gimana kalau roti isi daging?" Nata menimbang sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan berseru menyamangati dirinya sendiri dan mulai kembali sibuk memotong dan mencampur berbagai bumbu.

***

Cuaca yang bagus dan tepat sekali ia keluar sore ini. Sudah lama ia tidak mengendarai sepeda motornya. Ia jadi rindu arena balap lagi, kalau nanti ia kembali trek-trekkan apa Genta akan mengijinkan? Sudah lama juga ia tak mendapat amplop coklat berisi uang lagi.

Sepertinya nanti malam ia akan mencoba kembali, mengingat cuaca cerah sore ini dan tidak ada penampakan awan mendung, pasti nanti malam juga cerah. Cuaca yang pas untuk memacu kecepatan sepeda motornya lagi.

"Bi Narti, Zeenya ada?" Bi Narti segera menghentikan aliran air di selangnya untuk menyiram tanaman. Asisten rumah tangga Fauzan itu tergopoh-gopoh mendekati Nata, membuka gerbang untuk cewek itu masuk lalu berceloteh dengan nada senang. Sebab rindu akan Nata, yang sudah lama sekali tak pernah main ke rumah Fauzan.

"Aduh Non Nata, Bibi kangen udah lama banget Non gak main lagi ke sini." Bi Narti tersenyum hangat, mempersilahkan Nata masuk ke dalam.

Nata melangkah masuk. "Iya Bi. Bunda gak lagi di rumah ya, Bi?" tanya Nata menanyakan keberadaan Ibu Fauzan setelah mendapati suasana sepi rumah ini. Ia menyodorkan paper bag berisi roti isi daging yang tadi dibuatnya untuk Fauzan pada Bi Narti.

"Ibu lagi di Thailand Non, ngurus anak perusahaan yang baru. Non kangen ya?" Bi Narti terkekeh pelan, berjalan mendekati lemari kaca tempat piring-piring di simpan. Lalu meraih satu dan memindahkan makanan yang dibawa Nata untuk Fauzan ke dalam piring tersebut.

Nata ikut terkekeh. "Iya Bi, Nata kangen Bunda. Kira-kira Bunda pulangnya kapan ya, Bi?"

Bi Narti tampak berpikir sejenak, mengingat-ingat kapan majikannya akan pulang. "Masih lama kayaknya Non. Kemaren Ibu nelepon, katanya masih banyak yang harus diurus, kata Ibu paling cepet bulan depan kalau enggak tiga bulan lagi. Soalnya perusahaan Ibu yang di sana masih baru banget Non." Nata mengangguk, mengamini penjelasan panjang Bi Narti.

Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah, suasana rumah masih sama seperti dulu hanya ada beberapa tambahan penghargaan di lemari kaca pada sudut dinding ruang tamu. Ia jadi kembali mengingat masa-masa dulu, saat masih menjalin hubungan dengan Fauzan. Saat weekend ia sering kesini, menemani Bunda Andin memasak atau mencoba resep-resep baru di internet. Ia juga sering menjahili Fauzan, kadang menambahkan satu cabe rawit ke makanan cowok itu yang membuatnya ternganga kepedasan.

Eh, ia jadi lupa. Tujuan ia ke sini 'kan mengantar makanan untuk Fauzan, ia malah lupa mananyakan keberadaan cowok itu di rumah. "Bi Zee lagi tidur ya?"

Bi Narti mengangguk. "Ia non, mau Bibi bangunin?"

Cepat-cepat Nata menggeleng. "Gak usah Bi, Nata masih ada urusan. Nanti kalau Zee udah bangun, bilangin habisin roti isinya langsung ya Bi." Nata terkekeh setelah menyelipkan sedikit perintah untuk Fauzan nanti. "Yaudah Nata pamit dulu ya Bi. Nanti Nata main lagi kesini." Pamit Nata setelah mendapati anggukan dari Bi Narti dan ucapan terimakasih. Cewek itu segera keluar, dan pergi ke tujuan berikutnya.

***

"Beli apa, ya?" Aroma harum masakan dari tenda-tenda di sisi kirinya tercium menggoda hidung dan turun ke perut mengundang bunyi bergolak lapar minta diberi asupan makanan.

Gery melangkah lambat, meneliti setiap pedagang makanan di sisi kirinya. Trotoar cukup ramai oleh pejalan kaki sore ini dan ia harus sesekali menghindar dari anak-anak kecil yang berlari riang bersama keluarga mereka tanpa tahu akan menabrak pejalan kaki lainnya. Cuaca yang cerah dan hangat yang sangat pas untuk berjalan-jalan di luar.

Taman Kota yang selalu bisa mengundang siapapun untuk duduk-duduk santai atau bermain ayunan di bawah pohon selalu bertambah ramai sejak kehadiran pedagang kaki lima yang berjualan di tempat yang telah disiapkan pemerintah. Selain bersih, makanan di sini juga enak, tak pelak pengunjung selalu ramai apalagi di saat sore cerah seperti ini.

"Bang Genta sukanya apa ya? Ketoprak? Batagor? Siomay? Bakso? Atau martabak telor? kalau salah milih gue malah kena damprat dan parahnya gak direstuin sama Nata, jangan deh, mending pilih-pilih dulu. Tapi semuanya enak malah gue yang ngiler liatnya." Gery bergumam mengabsen satu persatu dagangan para penjual dari ujung ke ujung. Ia jadi semakin bingung di tambah gejolak perutnya yang minta di isi sebab harum aroma masakan sangat menggugah selera.

Sore ini, ia memantapkan hati untuk ke rumah Nata. Bertemu cewek itu sekaligus mencairkan sikap dingin Genta padanya. Kan aneh jika tidak memliki hubungan baik dengan calon kakak ipar sendiri.

Tentang Dina? Sudahlah, ia tak peduli lagi dengan perempuan itu. Ia jahat? Iya, tapi mau bagaimana lagi hatinya sudah terisi penuh segala hal tentang Nata bukan Dina.

Kalau-kalau ia tetap menuruti keinginan Dina untuk pergi jalan-jalan sore ini, hatinya tetap tak akan tenang. Pasti akan dihantui rasa bersalah karna itu sama halnya dengan main di belakang dan membuka pintu untuk orang ke tiga masuk ke dalam hubungannya. Ia bukan jajaran cowok berengsek seperti itu.

Lebih baik seperti ini, ke rumah Nata meskipun reaksi Genta akan dingin padanya. Semoga saja dengan sogokan makanan Genta akan kembali baik padanya, siapa tahu 'kan? Memangnya ada orang menolak di beri makanan? Tak ada! Rezeki kalau ditolak malah mendapatkan dosa. Dan setau Gery, Genta calon kakak iparnya itu banyak mempunyai dosa, meskipun ia sendiri juga seperti itu.

Ini sudah ke dua kalinya ia berkeliling dari ujung ke ujung tenda para penjual makanan. "Ini mas gorengannya." Gery mengangguk dan membayar langsung gorengan yang baru datang. Ia tak tahan, godaan dari gorengan yang ternyata lebih parah daripada godaan game online di ponselnya saat perutnya bergejolak minta di beri asupan.

Selagi menghabiskan gorengan di dalam tenda si penjual. Gery masih bingung harus membeli makanan apa untuk Genta nanti. Atau ia beli semuanya? Biasanya porsi makan lelaki lebih banyak dari pada perempuan. Ide bagus sih. Bisa di coba.

***

Gee or Zee [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang